Rincian HAM
Eddy Suranta
Sekarang ini era pemerintahan demokrasi mulai tumbuh subur. Kepedulian terhadap hak-hak manusiawi pun berkembang. Ditengah situasi seperti ini perlulah meletakkan dasar yang kokoh dan otentik bagi hak-hak azasi itu. Karena itu, kita perlu memperhatikan hak-hak berikut yang menjadi bentuk aktual HAM dalam kehidupan sehari-hari.
1) Hak atas kehidupan. Hak atas kehidupan adalah hak untuk hidup layak sebagai manusia yang bermartabat. Hak atas kehidupan ini juga menyangkut hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya sejak pertama kali ia dikandung. Lalu berkaitan dengan ini adalah hak untuk bertumbuh dalam keluarga dan lingkungan yang mendukung kepribadian anak tersebut.
2) Hak untuk mengembangkan akal budi dan kebebasan akal budi. Hak kebebasan berpikir sangat rentan di negara yang beraliran sosialis-komunis. Kebebasan berpikir dan berpendapat merupakan hal hakiki dalam diri manusia.
3) Hak untuk bekerja. Kerja bukanlah hal yang buruk sebagaimana paham pada abad pertengahan. Dalam kerja manusia mengaktualisasikan dirinya. Dengan kerja manusia mengekspresikan diri. Tentu saja hak untuk bekerja adalah hak untuk bekerja tanpa ada unsur paksaan.
4) Hak untuk bebas membangun keluarga dan mendidik anak. Kebebasan membangun keluarga dan mendidik anak seringkali dihubungkan dengan perempuan. Memang kaum perempuan sering menjadi korban kawin paksa. Di sini unsur kawin paksa harus disingkirkan dalam membangun sebuah keluarga. Mereka sebagai ibu seringkali sulit mendapat haknya mendidik anak.
5) Hak untuk mendapat penghargaan,
6) Hak mendapat pendidikan
7) Hak untuk beribadah kepada Allah
8) Hak memilih corak hidup yang menarik baginya termasuk dalam memilih pasangan hidup bagi mereka yang berkeluarga
9) Hak untuk memanfaatkan kebudayaan. Untuk bisa memanfaatkan kebudayaan, ia berhak mendapat pendidikan yang baik.
Jumat, 25 April 2008
Jumat, 18 April 2008
kebijakan Raffles
Kebijaksanaan Raffles.
Eddy Suranta
1. Dalam bidang Politik (pemerintahan)
membagi Jawa menjadi 16 keresidenan
membuat sisitem pengadilan berdasarkan pengadilan Inggris
menghapus rodi dan perbudakan
2. Dalam bidang pengetahuan
Raffles sangat tertarik pada sejarah, seni, dan kebudayaan Jawa. Raffles menjadi salah satu peletak dasar pengetahuan di Indonesia. Penyelidikannya dikumpulkan dalam bukunya History of Java.
3. Dalam bidang keuangan pemerintah Inggris
untuk menambah keuangan pemerintah Inggris Rafflesmengadkan peraturan Landrente. Ia menjual tanah kepada swasta atau pribadi khususnya orang-orang Inggris. Ia juga memegang monopolo penjualan garam.
4. Dalam bidang perekonomian
Raffles menciptakan sistem ekonomi yang bebas tanpa ada unsur paksaan. Ia dipengaruhi oleh cit-cita revolusi Perancis dengan semboyannya, kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kebijaksanaannya dalam bidang ekonomi adalah:
Rakyatdiberi kebebasan penuh untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak mereka tanam.
Peranan Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka dijadikan gagian dari pemerintahan kolonial Inggris.
Pemerintah kolonial adalah pemilik tanah maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik pemerintah. Petani diwajibkan membayar sewa tanah atau pajak atas pemakaian tanah. Seawa tanah inilah yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Inggris di bawah Raffles.
Untuk menilai pelaksanaan sistem sewa tanah ini ada tiga aspek penting yang dijalankanya itu:
1. penyelengaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar pemerintahan modern (barat).
Kekuasaan raja-raja atau para Bupatidikurangi dan diganti oleh pegawai Eropa
2. Pelaksanaan pemungutan sewa tanah
Sistem ini gagal karena keterangan yang dapat dipercaya untuk penetapan pajak tidak ada.
3. Promosi penanaman tanaman perdagangan untuk ekspor
Hal ini gagal karena petani tidak berpengalaman dalam menjual hasil tanaman mereka di pasar bebas. Mereka sering ditipu oleh kepala desa.
Eddy Suranta
1. Dalam bidang Politik (pemerintahan)
membagi Jawa menjadi 16 keresidenan
membuat sisitem pengadilan berdasarkan pengadilan Inggris
menghapus rodi dan perbudakan
2. Dalam bidang pengetahuan
Raffles sangat tertarik pada sejarah, seni, dan kebudayaan Jawa. Raffles menjadi salah satu peletak dasar pengetahuan di Indonesia. Penyelidikannya dikumpulkan dalam bukunya History of Java.
3. Dalam bidang keuangan pemerintah Inggris
untuk menambah keuangan pemerintah Inggris Rafflesmengadkan peraturan Landrente. Ia menjual tanah kepada swasta atau pribadi khususnya orang-orang Inggris. Ia juga memegang monopolo penjualan garam.
4. Dalam bidang perekonomian
Raffles menciptakan sistem ekonomi yang bebas tanpa ada unsur paksaan. Ia dipengaruhi oleh cit-cita revolusi Perancis dengan semboyannya, kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kebijaksanaannya dalam bidang ekonomi adalah:
Rakyatdiberi kebebasan penuh untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak mereka tanam.
Peranan Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka dijadikan gagian dari pemerintahan kolonial Inggris.
Pemerintah kolonial adalah pemilik tanah maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik pemerintah. Petani diwajibkan membayar sewa tanah atau pajak atas pemakaian tanah. Seawa tanah inilah yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Inggris di bawah Raffles.
Untuk menilai pelaksanaan sistem sewa tanah ini ada tiga aspek penting yang dijalankanya itu:
1. penyelengaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar pemerintahan modern (barat).
Kekuasaan raja-raja atau para Bupatidikurangi dan diganti oleh pegawai Eropa
2. Pelaksanaan pemungutan sewa tanah
Sistem ini gagal karena keterangan yang dapat dipercaya untuk penetapan pajak tidak ada.
3. Promosi penanaman tanaman perdagangan untuk ekspor
Hal ini gagal karena petani tidak berpengalaman dalam menjual hasil tanaman mereka di pasar bebas. Mereka sering ditipu oleh kepala desa.
Jumat, 04 April 2008
catatan kritis atas film
Catatan Kritis Atas Film
AUSCHWITZ, NAZI DAN SOLUSI TERAKHIR
Pembunuhan Gila-gilaan – Pembebasan dan Balas Dendam
“Ini kewajiban perangku, aku melakukan tugas perangku seperti aku diharuskan menebang banyak pohon. Lalu aku membawa gergajiku dan menebang banyak pohon.”
Demikian kata-kata cuplikan dari film dokumenter seputar kamp Auschwitz. Kata-kata tersebut diungkapkan oleh Letnan Kolonel Rudolf Hoss SS, mantan komandan Auschwitz tanpa perasaan, tanpa merasa bersalah.
Dua Film dokumenter ini mengisahkan peristiwa pembantaian jutaan orang Yahudi, kelompok gipsi dan orang Polandia oleh Nazi. Setelah peristiwa pembantaian dan usai perang dunia II, kelompok Yahudi melakukan balas dendam terhadap para anggota SS, pasukan yang melakukan pembantaian tersebut.
Tokoh-tokoh penting dalam peristiwa Auschitz sama sekali tidak merasa bersalah. Sebut saja nama Adolf Eichmann, Heinrich Himmler dan Rudolf Hoss yang menganggap perbuatan mereka melakukan pembunuhan terhadap orang Yahudi sebagai kewajiban yang memang harus dilaksanakan, suatu tugas mulia dari negara.
Demikian juga kelompok Yahudi yang melakukan tindakan balas dendam. Mereka sama sekali tidak merasa bersalah melakukan balas dendam. Justeru bila mereka diam maka mereka merasa bersalah. Maka, Brigade Yahudi, satuan tentara Inggris yang dibentuk tahun 1944, yang membentuk satuan Moshe Tavor melakukan pengejaran terhadap anggota SS. Mereka melakukan pengadilan sendiri dan tidak jarang pengadilan yang berakhir di ujung senjata.
Persoalan kemanusiaan sangat aktual. Apakah perbuatan mereka itu dapat dibenarkan secara moral/etika. Bagaimana etika melihat persoalan tersebut?
Positivisme Hukum
Menurut positivisme hukum, suatu tindakan baik atau jahat ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Positivisme hukum berarti baik itu dijalankan karena diperintahkan oleh hukum, sementara buruk dihindari karena dilarang oleh hukum. Kebenaran dan kesalahan tindakan manusia semata-mata didasarkan pada hukum yang diletakkan, digariskan, diberlakukan. Jika hukum itu sama dengan kebaikan, maka melakukan hukum berarti melakukan kebaikan. Sebaliknya, tidak melakukan hukum berarti melakukan kejahatan dan harus diberi sanksi atau hukuman. Cara berpikir positivisme ini menjadi persoalan yang krusial dalam peristiwa pembantaian jutaan manusia oleh Nazi di Auschwitz.
Dalam peristiwa Auschwitz ada jutaan manusia yang dibunuh. Namun, tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembunuhan gila-gilaan itu sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan sama sekali tidak salah. Mereka bahkan merasa diri telah melakukan sesuatu yang benar, yang baik sesuai dengan hukum yang berlaku. Bisa dikatakan mereka adalah warganegara yang setia, taat, dan loyal pada hukum, pemerintah, dan negara. Namun persoalannya, hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Nazi bukanlah hukum yang adil; hukum yang jelas-jelas tidak bisa dibenarkan, yang mengharuskan membunuh manusia. Membunuh manusia yang secara moral jelas-jelas merupakan perbuatan buruk, menjadi baik karena itu diperintahkan oleh hukum. Positivisme hukum dalam peristiwa Auscwitz benar-benar menggoncang etika.
Hukum Rimba
Pembantaian jutaan orang Yahudi dalam peristiwa Auschwitz menimbulkan kebencian yang mendalam dalam diri orang-orang Yahudi terhadap Nazi atau orang-orang Jerman. Orang-orang Yahudi yang masih selamat tidak sedikit pun merasa bersalah ketika melakukan balas dendam dengan membunuh orang-orang Jerman. Menurut mereka, apa yang mereka lakukan itu belum setimpal dengan apa yang dilakukan orang-orang Jerman terhadap keluarga mereka. Hukum rimba, di mana nyawa harus diganti dengan nyawa, yang dipakai oleh orang-orang Yahudi membuat mereka tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Membunuh orang-orang Jerman bagi mereka adalah baik. Dalam hal ini pun orang-orang Yahudi menjadi tidak etis, tidak bermoral.
Hasrat balas dendam seringkali membuat orang menjadi tidak bermoral. Orang tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Bisa dikatakan hati nurani seseorang menjadi mandeg, bahkan mati. Dalam hal ini segala eksplorasi pengetahuan yang dilakukan manusia menjadi tidak ada gunanya. Pendidikan moral, agama, dan etika menjadi tidak berarti karena gagal total mengantarkan orang untuk menjadi baik. Padahal apa yang baik seharusnya dilakukan, dan apa yang buruk seharusnya dihindari. Membunuh manusia secara in se jelas bukan merupakan perbuatan baik. Karena itu, membunuh untuk balas dendam sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.
Hilangnya “Pribadi” Manusia
Manusia sebagai pribadi akan kehilangan kemanusiaanya ketika ia/mereka dianggap sebagai kumpulan manusia saja. Manusia kehilangan pribadinya (persona) ketika ia/mereka dianggapsebagai massa. Manusia menjadi buram, tidak jelas dan kehilangan bentuk.
Di dalam peristiwa Auschwitz, manusia benar-benar kehilangan pribadi. Manusia dianggap hanya sebagai massa, hanya angka-angka: lima ratus ribu, sejuta,dua juta. Lebih memprihatinkan lagi,ketika angka-angka manusia ini dianggap sebagai kotoran yang harus disingkirkan maka hilanglah bilai pribadi manusia.
Sejuta manusia Yahudi (juga gipsi dan orang Polandia) dianggap angka mati. Tak heran bila pemimpin Nazi tidak merasa gentar berhadapan dengan mereka. Bahkan dengan gampang memberi keputusan mengirim mereka ke Auschwitz, tempat yang dijadikan ladang pembantian bagi manusia-manusia ini. Di Auschwitz, manusia sebagai pribadi musnah dalam hitungan angka-angka.
Manusia sebagai pribadi tetaplah manusia yang utuh. Peristiwa Auschwitz memberi pelajaran dan peringatan bagi manusia setiap zaman sesudahnya untuk memperhatikan nilai-nilai manusia dan kemanusiaannya. Bila penghargaan terhadap manusia sebagai pribadi tidak ada maka hilanglah nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada manusia itu. Manusia adalah pribadi yang harus diperhatikan. Manusia itu in se sama meskipun ras, kulit atau budaya yang membungkusnya berbeda.
Eddy Suranta Sembiring
Anton Nius
Yulianus Jumarto
Robert Lodok Kelore
Suitbertus Marsanto
AUSCHWITZ, NAZI DAN SOLUSI TERAKHIR
Pembunuhan Gila-gilaan – Pembebasan dan Balas Dendam
“Ini kewajiban perangku, aku melakukan tugas perangku seperti aku diharuskan menebang banyak pohon. Lalu aku membawa gergajiku dan menebang banyak pohon.”
Demikian kata-kata cuplikan dari film dokumenter seputar kamp Auschwitz. Kata-kata tersebut diungkapkan oleh Letnan Kolonel Rudolf Hoss SS, mantan komandan Auschwitz tanpa perasaan, tanpa merasa bersalah.
Dua Film dokumenter ini mengisahkan peristiwa pembantaian jutaan orang Yahudi, kelompok gipsi dan orang Polandia oleh Nazi. Setelah peristiwa pembantaian dan usai perang dunia II, kelompok Yahudi melakukan balas dendam terhadap para anggota SS, pasukan yang melakukan pembantaian tersebut.
Tokoh-tokoh penting dalam peristiwa Auschitz sama sekali tidak merasa bersalah. Sebut saja nama Adolf Eichmann, Heinrich Himmler dan Rudolf Hoss yang menganggap perbuatan mereka melakukan pembunuhan terhadap orang Yahudi sebagai kewajiban yang memang harus dilaksanakan, suatu tugas mulia dari negara.
Demikian juga kelompok Yahudi yang melakukan tindakan balas dendam. Mereka sama sekali tidak merasa bersalah melakukan balas dendam. Justeru bila mereka diam maka mereka merasa bersalah. Maka, Brigade Yahudi, satuan tentara Inggris yang dibentuk tahun 1944, yang membentuk satuan Moshe Tavor melakukan pengejaran terhadap anggota SS. Mereka melakukan pengadilan sendiri dan tidak jarang pengadilan yang berakhir di ujung senjata.
Persoalan kemanusiaan sangat aktual. Apakah perbuatan mereka itu dapat dibenarkan secara moral/etika. Bagaimana etika melihat persoalan tersebut?
Positivisme Hukum
Menurut positivisme hukum, suatu tindakan baik atau jahat ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Positivisme hukum berarti baik itu dijalankan karena diperintahkan oleh hukum, sementara buruk dihindari karena dilarang oleh hukum. Kebenaran dan kesalahan tindakan manusia semata-mata didasarkan pada hukum yang diletakkan, digariskan, diberlakukan. Jika hukum itu sama dengan kebaikan, maka melakukan hukum berarti melakukan kebaikan. Sebaliknya, tidak melakukan hukum berarti melakukan kejahatan dan harus diberi sanksi atau hukuman. Cara berpikir positivisme ini menjadi persoalan yang krusial dalam peristiwa pembantaian jutaan manusia oleh Nazi di Auschwitz.
Dalam peristiwa Auschwitz ada jutaan manusia yang dibunuh. Namun, tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembunuhan gila-gilaan itu sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan sama sekali tidak salah. Mereka bahkan merasa diri telah melakukan sesuatu yang benar, yang baik sesuai dengan hukum yang berlaku. Bisa dikatakan mereka adalah warganegara yang setia, taat, dan loyal pada hukum, pemerintah, dan negara. Namun persoalannya, hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Nazi bukanlah hukum yang adil; hukum yang jelas-jelas tidak bisa dibenarkan, yang mengharuskan membunuh manusia. Membunuh manusia yang secara moral jelas-jelas merupakan perbuatan buruk, menjadi baik karena itu diperintahkan oleh hukum. Positivisme hukum dalam peristiwa Auscwitz benar-benar menggoncang etika.
Hukum Rimba
Pembantaian jutaan orang Yahudi dalam peristiwa Auschwitz menimbulkan kebencian yang mendalam dalam diri orang-orang Yahudi terhadap Nazi atau orang-orang Jerman. Orang-orang Yahudi yang masih selamat tidak sedikit pun merasa bersalah ketika melakukan balas dendam dengan membunuh orang-orang Jerman. Menurut mereka, apa yang mereka lakukan itu belum setimpal dengan apa yang dilakukan orang-orang Jerman terhadap keluarga mereka. Hukum rimba, di mana nyawa harus diganti dengan nyawa, yang dipakai oleh orang-orang Yahudi membuat mereka tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Membunuh orang-orang Jerman bagi mereka adalah baik. Dalam hal ini pun orang-orang Yahudi menjadi tidak etis, tidak bermoral.
Hasrat balas dendam seringkali membuat orang menjadi tidak bermoral. Orang tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Bisa dikatakan hati nurani seseorang menjadi mandeg, bahkan mati. Dalam hal ini segala eksplorasi pengetahuan yang dilakukan manusia menjadi tidak ada gunanya. Pendidikan moral, agama, dan etika menjadi tidak berarti karena gagal total mengantarkan orang untuk menjadi baik. Padahal apa yang baik seharusnya dilakukan, dan apa yang buruk seharusnya dihindari. Membunuh manusia secara in se jelas bukan merupakan perbuatan baik. Karena itu, membunuh untuk balas dendam sama sekali tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.
Hilangnya “Pribadi” Manusia
Manusia sebagai pribadi akan kehilangan kemanusiaanya ketika ia/mereka dianggap sebagai kumpulan manusia saja. Manusia kehilangan pribadinya (persona) ketika ia/mereka dianggapsebagai massa. Manusia menjadi buram, tidak jelas dan kehilangan bentuk.
Di dalam peristiwa Auschwitz, manusia benar-benar kehilangan pribadi. Manusia dianggap hanya sebagai massa, hanya angka-angka: lima ratus ribu, sejuta,dua juta. Lebih memprihatinkan lagi,ketika angka-angka manusia ini dianggap sebagai kotoran yang harus disingkirkan maka hilanglah bilai pribadi manusia.
Sejuta manusia Yahudi (juga gipsi dan orang Polandia) dianggap angka mati. Tak heran bila pemimpin Nazi tidak merasa gentar berhadapan dengan mereka. Bahkan dengan gampang memberi keputusan mengirim mereka ke Auschwitz, tempat yang dijadikan ladang pembantian bagi manusia-manusia ini. Di Auschwitz, manusia sebagai pribadi musnah dalam hitungan angka-angka.
Manusia sebagai pribadi tetaplah manusia yang utuh. Peristiwa Auschwitz memberi pelajaran dan peringatan bagi manusia setiap zaman sesudahnya untuk memperhatikan nilai-nilai manusia dan kemanusiaannya. Bila penghargaan terhadap manusia sebagai pribadi tidak ada maka hilanglah nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada manusia itu. Manusia adalah pribadi yang harus diperhatikan. Manusia itu in se sama meskipun ras, kulit atau budaya yang membungkusnya berbeda.
Eddy Suranta Sembiring
Anton Nius
Yulianus Jumarto
Robert Lodok Kelore
Suitbertus Marsanto
Langganan:
Postingan (Atom)