Rabu, 27 Mei 2009

Jean Paul Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme

Jean Paul Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme

Eddy Suranta

Ajaran sartre tidak bisa lepas dari kontetks zamannya. Awal buku eksitensialisme adalah humanisme merupakan suatu pidaro. Ia menjawab kritikan terhadap eksistensialisme. Kritik tersebut antara lain: pertama, eksistensialisme dianggap pandangan orang yang putus asa lalu manarik diri dari kehidupan sosial; kedua, eksistensialisme dipandang filsafat borjuis karena tidak transformatif sperti marxisme. Tujuan dari tulisan ini adalah, pertama mendefinisikan eksistensialisme dan membedakan antara eksistensialisme ateistik dan eksistensialisme religius (teistik); kedua, menunjukkan bahwa eksistensialisme bukan filsafat orang yang putus asa, menyendiri dan kesepian, tetapi satu jenis humanisme; ketiga, menunjukkan bahwa adalah satu jalan alternatif yang penuh semangat di antara Kekristenan dan marxisme.
Sartre berangkat dari prinsip eksistensi mendahuli esensi. Ia beranjak dari cogito ergo sum. Dari prinsip ini, ia menunjukkan bahwa esensi manusia adalah kebebasannya. Tidak ada esensi seperti digambarkan tradisi agama atau filsafat. Bagi sartre, tidak ada human nature, tidak ada sifat universal. Karena esensi universal tidak ada maka manusia tidak dibebani oleh natropologi esensialis.
Ketika manusia ingin menjadi manusia yang baik, ia sebenarnya mengalami alienasi karena asumsi antropologi yang disusun itu asing bagi manusia. Sartre juga mengatakan bahwa manusia itu adalah apa yang ia produksi setiap hari. Manusia tahu hakikat dirinya ketika ia sudah mati.
Masa depan manusia tergantung dirinya, kebebasan diberikan padanya. Ia tidak dibebani asumsi antropologi. Manusia itu adalah kebebasan. Kebebasan itu bukan karakter manusia di samping karakter lain. Kebebasan itu adalah manusia itu sendiri. Ketika manusia menjatuhkan pilihan, manusia selalu memilih yang terbaik. Ketika ia memilih yang lebih baik bagi dirinya, itu berarti lebih baik bagi manusia. Dari sinilah titik tolak tanggung jawab sosial.
Bagaimana ia merespon celaan bahwa eksistensialisme adalah bentuk pesimisme? Dengan mengetakan bahwa identitas manusia itu adalah apa yang ia produksi. Manusia adalah kebebasan. Tuduhan bahwa eksistensialisme itu pesimisme tidak beralasan, justeru manusia itu orang yang optimis. Masa depan manusia tergantung pada apa yang ia buat. Ini juga bukan sifat orang determinisme karena masa depannya tergantung pada tangannya. Tuduhan bahwa ia mempromosikan sikap pesimis justeru gagal.
Bagaimana ia merespon tuntutan bahwa ia membangun sikap subjektif, jatuh pada diri sendiri? Ketika manusia menyadari dirinya sebagai subjek “ada”, pada saat itu juga ia menyadari eksistensi subjek di luar dirinya. Ketika saya mengatakan “saya berpikir” maka pada saat itu saya menyadari diriku. Pada saat yang sama saya menyadari keberadaan orang lain. Eksistensi itu sifatnya intersubjektifitas, saling mengandaikan. Kalau saya mengklaim saya ada, maka saya juga mengklaim orang lain bahwa ia ada. Sosialitas manusia itu di sini intersbujektifitas.
Bagi sartre—yang tidak percaya human nature—satu-satunya yang universal adalah human condition (kondisi manusia). Manusia itu terlempar ke dalam dunia. Karena terlempar, ia dihukum menjadi bebas. Manusia dikondisikan oleh keterbatasan-keterbatasan. Manusia tahu sebagai budak di dalam masyarakat yang kafir atau menjadi pejabat dalam masyarakat proletarian, tetapi ada satu hal yang selalu mengikat yaitu kebutuhan untuk berada di dalam dunia, keharusan untuk bekerja dan mati. Inilah yang bersifat universal. Yang universal bukan hakekat manusia tetapi kondisi manusia.
Sartre memandang kondisi yang membatasi manusia itu bukan sesuatu yang subjektif atau objektif tetapi sekaligus subjektif dan objektif. Kita bisa menemui kondisi itu di mana-mana. Ini bisa dianggap objektif karena dialami oleh manusia, tetapi juga subjektif karena dialami oleh setiap manusia.

Sabtu, 23 Mei 2009

posmodernisme

POSMODERNISME

Eddy Suranta Sembiring

Istilah Posmodernisme
Posmodernisme akhir-akhir ini menjadi istilah yang merasuki seluruh bidang kehidupan: seni, arsitek, seks, dll. (Bisa disearching di internet berapa entry yang muncul). Pertanyaannya, bagaimana kita memahami posmodernisme?
Catatan pertama. Bambang Sugiharto mengatakan bahwa istilah posmodernisme sangat ambigu dan tidak jelas seperti istilah modernisme. Mengapa istilah posmodernisme tidak jelas? Karena posmodernisme dipakai untuk memfasilitasi aliran filsafat yang tidak ada pengikatnya satu sama lain (bdk. Buku Hardiman: empirisme, rasionalisme, romasntisisme, dsb.). banyak aliran dipayungi modernisme padahal aliran ini tidak berhubungan satu sama lain. Banyak unsur filosofis yang tidak berkaitan. Posmodernisme pun mengalami hal yang sama. Posmodernisme juga memayungi banyak aliran filsafat bahkan seni, arsitek,dsb.
Catatan kedua, dari etimologi. Post dan isme ditambah pada kata modern. Pos bukan dimaksud sebagai indikasi kronologis atau periode setelah modernisme, melainkan memiliki arti bermacam-macam. Pertama, ada yang mengatakan kata pos di depan modernisme menandakan suatu kritk atas modernisme, teapi pengkritik ini pun masih hidup dalam ranah modernisme: mengambil jarak terhadap premis modernisme. Kedua, ada juga yang mengatakan bahwa kata pos di depan modernisme merupakan indikasi bahwa modernisme mencapai tahap yang matang. Kata isme juga membingungkan karena isme dipakai untuk kata tunggal padahal posmodernisme dipakai untuk memayungi premis-premis filsafat modern. Kata isme juga tidak begitu jelas. Menurut Bambang, isme adalah kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi modern.
Lalu apa itu posmodernisme? Pemikiran-pemikiran filosofis dan segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Karena posmodernisme adalah kritik atas modern maka para filsuf tidak mau disebut filsuf posmodernisme. Mereka tidak mau disebut membawa aliran baru filsafat. Habermasa, Foucoult dan Derrida tidak mau disebut kaum posmodernis.

Konteks Posmodernisme: Metanarasi
Istilah posmodernisme digunakan pertama kali dalam bidang seni, lalu sejarah (lihat, Bambang). Dalam dunia filsafat, istilah ini dikibarkan oleh Francois Lyotard lewat bukunya, The Postmodern Condition: a Report on Knowledge. Dunia modern (filsafat modern) itu melegitimasi pengetahuan-pengetahuan manusia dengan metanarasi (narasi besar), developmentalisme, dan rasionalitas. Narasi besar adalah suatu desain yang komprehensif yang menjurus pada totalitarianisme dan menekankan konformitas yang menguasai segala bentuk pengetahuan, misalnya agama.
Contoh pertama, agama. Agama pernah menjadi suatu bentuk/gerakan yang mengusai manusia. Contoh, apa itu pengetahuan yang benar? Bagaimana etika? Agama menjadi referensi pengetahuan dan etika. Agama menjadi semacam rumah, di mana dinamika manusiadipengaruhi agama. Lalu ada semacam prinsip-prinsip universal, menuntun manusia menyatu pada arus besar. Gejala sosial, pembaruan yang tidak sesuai dengan agama dianggap alienasi dan menyimpang. Agama ini juga didukung pemikiran modern.
Contoh kedua, nasionalisme. Nasionalisme di Indonesia pernah menjadi metanarasi. Pengetahuan. Politik, ekonomi, dan budaya harus merujuk pada nasionalisme. Bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan nasionalisme dianggap menyimpang. Contoh ketiga, rasionalitas. Semua yang tidak rasional tidak punya kebenaran. Inilah yang disebut metanarasi.
Menurut Lyotard, metanarasi ini menyembunyikan realitas-realitas yang tidak mampu direpresentasikan, misalnya rasionalisme. Tidak semua realitas bisa direpresentasikan rasionalitas. Inilah yang hilang. Tugas filsafat posmodernisme adalah mengais realitas yang tidak mampu direpresentasikan filsafat modern.
Contoh, Heidegger dengan Lebenswelf. Dengan rasinalisme dan empirisme realitas dunia berhasil dibuka. Heidegger dan Husserl menemukan konsep leibenswlf yakni dunia-dunia yang masih perawan, yang belum tersentuh. Dengan konsep ini, kategori filosofis modern hanya abstraksi sehingga apa yang kita pahami sebagai dunia hanya abstraksi. Modernisme yang mengklaim telah menemukan realitas dunia terjebak oleh konsepnya karena mereka tidak memahami kehidupan yang mengalir.




Para posmodernis bergulat terus dengan bahasa. Intelligibilitas dari realitas tidak bisa tuntas hanya melalui rasionalitas, tetapi peran bahasa menjadi sangat penting untuk mengais sudut kehidupan real yang tidak bisa dicakup prinsip empirisme, rasionalisme dan positivisme (modernisme). Derrida, misalnya, membongkar istilah-istilah itu, misalnya agama itu apa? Semua adalah konstruksi sosial, tidak ada nature. Semua adalah pertanyaan bahasa, pertanyaan pemaknaan.
Seorang posmodernis yang konsekuen itu tidak memproduksi sesuatu. Ia seperti anjing yang menggonggong, mengomeli modernisme. Lyotard bahkan mendefinisikan posmodernisme sebagai pre modern dalam arti posmodernisme itu kelahiran kembali gairah-gairah berfilsafat sebelum dipatenkan dalam filsafat modern. Bagi lyotard posmodernisme itu adalah dinamika.

Akibat Modernisme: 6 Unsur
Dengan mendekonstruksi metanarasi posmodernisme mencoba menyingkap apa yang tidak tersentuh metanarasi. Orang jadi terbuka terhadap pluralitas. Realitas itu bisa ditangkap secara berbeda. Mengapa penolakan terhadap metanarasi begitu luas? Situasi apa yang mendominasi modernisme? Ada 6 unsur yang dikembangbiakkan modernitas.
1. Pandangan dualistik yang membagi kenyataan menjadi dua: subjek-objek. Alam diobjektivasi.
2. Pandangan modern yang objektivistis dan positivistis. Tidak hanya dunia, tetapi manusia juga dijadikan objek. Manusia dan masyarakat dijadikan mesin.
3. Kecenderungan modern menjadikan ilmu positif dan empiris sebagai kebenaran tertinggi, sedangkan dimensi moral, religiositas dipinggirkan.
4. Lahirnya materialisme. Segala sesuatu direduksi menjadi materi. Materialisme tidak hanya ontologis tetapi juga praktis. Materialisme praktis karena dalam pikiran yang penting adalah materi maka dalam hidup orang hanya mengejar materi.
5. Militerisme. Karena masyarakat sudah tidak berpijak pada nilai-nilai tetapi pada materi maka bagaimana mengikat masyarakat itu? Jawabnya adalah militerisme.
6. Tribalisme. Kamp Auschwitz adalah tempat kemenangan modernitas tetapi juga akhir modernitas. Modernitas tidak mampu menjawab persoalan lalu terjadi pembantaian.

Puncak (mahkota) modernitas adalah dehumanisasi (pembunuhan manusia atas manusia). Umumnya ada 2 aliran posmodernisme yaitu dekonstruksi dan konstruksi (revisionis). Aliran dekonstruksi ingin membongkatr kembali bangunan filsafat.

Kamis, 12 Maret 2009

Jean Paul Sartre

Jean paul Sartre (1905-1980)

Eddy Suranta

1. Pengantar
Jean Paul Sartre, seorang eksistensialis, mengalami masa kecil yang tidak bahagia. Ia memiliki minat dalam bidang sastra dan melihat sastra sebagai agama baru yang menggantikan kekristenan. Ia bercita-cita menjadi sastrawan besar (misunderstood). Sartre dilahirkan di lingkungan agama (Katolik) tapi kelaurganya skeptis. Mereka suka memisahkan diri dari institsi komuniter. Karena itu sastra dianggap sebagai agama baru karena sastra tidak terikat pada institusi.

2. Kesadaran
kesadaran itu bersifat intensional (seiring dengan fenomenolog), menurut kodratnya terarah pada dunia. Menurut Sartre, kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. ketika kesadaran kita yang intensional hadir, di situ juga kesadaran akan diri muncul. Ketika saya menyadari ada buku, pada saat itu juga saya menyadari diri saya.

kesadaran itu adalah kesadaran diri (self consciousness). Kesadaran (akan) diri tidak sama dengan pengalaman tentang diri; mengambil diri sebagai objek pengenalan. kesadaran diri itu muncul ketika kesadaran diri terarah pada sesuatu; Pada saat itulah kesadaran itu hadir. Cogito bukanlah pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirisecara nontematis.

Senin, 02 Maret 2009

Pemikiran Fichte tentang Aku-murni dan Tiga Proposisi Dasar Filsafat

Pemikiran Fichte tentang Aku-murni dan Tiga Proposisi Dasar Filsafat

Eddy Suranta

Pertama-tama Fichte menyebut asas dasariah Filsafat adalah “inteligensi pada dirinya sendiri” yang disebutnya “Aku” atau “Ego”. Yang dimaksudkan oleh Fichte tentang Aku-murni itu adalah suatu “Aku-murni” yang melampaui “aku empiris” seorang ndividu. Yang dimaksud Aku-murni tak lain daripada kesadaran pada dirinya sendiri. Bagaimana memahami ini? Suatu ketika, Fichte menunjukkan adanya Aku-murni ini kepada para mahasiswanya. Katanya, “saudara-saudara, pikirkanlah dinding itu.” Lanjutnya, “pikirkanlah dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding itu.” Dan seterusnya. Dari proses refleksi terus menerus ini, kita lalu akan menemukan adanya sesuatu yang tetap, yaitu sesuatu yang melakukan refleksi atau objektifasi itu. Itulah aku murni! Aku murni inilah asas dasariah filsafat.

Aku murni itu, menurut Fichte, bukanlah sebuah substansi atau sebuah entitas yang melampaui kesadaran, melainkan sebuah kegiatan di dalam kesadaran. Kegiatan ini menjadi dasar seluruh kesadaran diri. Karena itu, menurut Fichte, Aku murni tak bisa dijadikan objek kesadaran, sebab dialah yang memungkinkan objektivasi itu. Dengan kata lain, Aku murni ini adalah suatu”Aku transenfental”. Aku transendental ini bukan sebuah mistik yang penuh rahasia, melainkan kenyataan yang bisa kita ketahui lewat kegiatan refleksi. Aku murni itu, oleh Fichte, pada akhirnya disamakan dengan perbuatan atau kegiatan itu sendiri. Intelegensi pada gilirannya berbuat. Karena intelegensi disamakan dengan :berbuat”, idealisme Fichte dapat disebut “idealisme praktis”.

Tiga proposisi dasar Filsafat sebagai berikut:
Pertama, Fichte membedakan antara kegiatan spontan Aku murni dan refleksi filsuf atas Aku murni itu. Keduanya adalah kesadaran, tetapi kita toh bisa membedakannya. Yang pertama adalah kesadaran yang belum disadari,maka bukan kesadaran “bagi dirinya”. Yang terakhir adalah kesadaran “bagin dirinya”, sebab sudah disadari oleh filsuf lewat intuisi intelektualnya. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa di dalam intuisi intelektual, Aku murni itu menyatakan atau menempatkan dirinya sendiri. Dalam rumusan Fichte “aku murni menempatkan dirinya sendiri”. Ini menjadi proposisi pertama atau tesis idealismenya. Selanjutnya, menempatkan diri disamakan dengan berada. Dengan kata lain, dalam intuisi intelekltual, Aku murni itu mengafirmasi diri.
Kedua, Fichte menjelaskan bahwa kesadaran baru bisa muncul kalau ada sesuatu yang bukan kesadaran. Dengan kata lain, Aku murni baru bisa disadari falam intusi intelektual kalau Aku murni itu dipertentangkan dengan suatu non-Aku, dan Non-Aku ini harus diadakan sendiri olehg Aku murni itu (kalu tidak idealisme ditinggalkan). Karena itu proposisi dasar kedua dari idealisme berbunyi: Aku murni menempatkan suatu non-Aku yang bertentangan dengannya.
Ketiga, Fichte menjelaskan bahwa non-Aku itu sama tak terbatasnya dengan Aku murni. Kalau demikian, tentu keduanya masing-masing akan saling meniadakan, sehingga kesadaran menjadi mustahil. Lalu bagaimana bisa dijelaskan bahwa dalam kenyataan kesadaran itu ternyata ada? Menurut Fichte, kesadaran muncul kalau Aku murni yang yang absolut itu dan non-Aku saling membatasi. Artinya, keduanya harus bisa dibagi-bagi menjadi aku terbatas dan non-Aku terbatas. Aku terbatas dan non-Aku terbatas ini saling berlawanan untuk menghasilkan kesadaran, dan perlawanan ini dihasilkan oleh Aku murni atau Aku absolut itu sendiri. Karena itu, proposisi dasar ketiga berbunyi: Aku murni menempatkan di dalam dirinya suatu ego terbatas yang berlawanan dengan non-ego terbatas. Dengan rumusan ini, Fichte dapat menjelaskan kemungkinan pengalaman kita menurut asas-asas idealisme. “Pohon” yang kita lihat itu “asing” itu bukan objek pada dirinya, melainkan hasil kegiatan Aku murni yang mengadakan ego terbatas (kesadaran terbatas kita tentang pohon) dalam perlawanannya dengan non-ego terbatas (pohon atau alam).

Pemikiran Filosofis J.J. Rousseau tentang Kebudayaan dan Pendidikan

Pemikiran Filosofis J.J. Rousseau tentang Kebudayaan dan Pendidikan

Eddy Suranta

Rosseau berpendapat bahwa pikiran yang tampil dalam kebudayaan, yaitu: seni, sastra, ilmu hanyalah bunga-bunga yang membuat manusia mencintai situasi perbudakannya. Dengan pendapat ini Rosseau mau menyingkapkan artifisial dari kebudayaan. Segala bentuk tata krama hanyalah selubung untuk tingkah laku yang sia-sia yang mencegah persahabatan sejati dan mebuat kita tidak lagi percaya kepada sesama kita. Segala bentuk seni dan ilmu pengetahuan lahir dari kejahatan-kejahatan kita, maka cenderung pada kejahatan. Astronomi lahir dari takhayul; geometri lahir ketamakan; fisika dari kemalasan, seni debat dari ambisi, etika dari kesombongan. Kritik Rosseau ini membalikkan keyakinan pencerahan. Bagi pencerahan kemajuan teknis sebagai kemerosotan moral. Jadi, sekiranya dia hidup pada zaman kita ini, tanpa keraguan sedikitpun dia akan mengecam ilmu dan teknologi sebagai perangsang militerisme.

Ide tentang sifat artifisial kebudayaan yang membusukkan amnusia itu dilandasi oleh sebuah pengandaian tertentu yang sangat dipuja-puja oleh Rosseau, yaitu “kodrat asali manusia”. Berbeda dari Hobbes, dia menegaskan bahwa dalam keadaan asali manusia hidup damai dan tak dihalangi oleh konvensi-konvensi yangs esat. Dia membayangkan waktu itu manusia mengembara keluar masuk rimba, tanpa industri, tanpa bahasa, tanpa rumah, tanpa keinginan untuk menyakiti makhluk-makhluk lain, dan berkedudukan sama di antara mereka. Perbedaan manusia dan hewan baginya tidak terletak pada rasionya, melainkan pada kemapuan kehendaknya yang mengatasai sifat otomatis, sebab bersifat rohani.

Seperti Hobbes, Rosseau juga membahas bagaimana terjadinya masyarakat secara perlahan-lahan. Masyarakat terjadi dengan ditetapkan hak milik pribadi. Milik pribadi inilah yang menjadi biang keladi ketidaksamaan sosial dan lenyapnya kesederhanaan asali manusia. Miliku dan milikmu adalah dasar masyarakat. Dengan lahirnya masyarakat, menurut Rosseau, munculah perang dan kejahatan-kejahatan. Ketidaksamaan sosial menyebabkan manjusia kehilangan kebebasann alamiahnya. Di sini yang dipersoalkan adalah ketidaksamaan moral dan politis, bukan ketidaksaman alamiah, sebab baginya alam tak bisa dipersalahkan dalam memberi bakat yang berbeda-beda, sedangkan kebudayaan dengan sengaja membuat manusia menderita karena ketidaksamaan ini. Kalaupun kebudayaan menciptakan kesaman, misalnya kesamaan di antara para budak dalam rejim despotis, menurut Rosseau, kesamaan ini adalah hasil korupsi keadaan asali, maka menghasilkan penderitaan belaka.

Selanjutnya, Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang dilaksanakan secara ototritatif, dengan disiplin ketat dan nyaris mekanis, menuntut kepatuhan luar biasa dari siswa. Tujuan akahirnya dalah penyeragaman tingkah laku dan informasi. Pendidikan macam itu tidak disetujui Rosseau. Dalam bukunya Emile, ou L’Education, Rosseau memperahankan kembali tessisnya bahwa manusia itu menurut kofratanya baik, tetapi lalu dibusukkan oleh kebudayaan. Salah satu elemen kebudayaan yang bertanggungjawab atas korupsi moral manusia adalah pendidikan, maka pendidikan harus ditransformasikan. Dia berpendapat bahwa daya dorong alamiah dalam diri manusia adalah cinta diri, yang juga menjadi sumber segala hasrat alamiah lainnya. Cinta diri tidak sama dengan egoisme, sebab egoisme hanya bisa ada dalam masyarakat dan bukan dalam keadaan asali. Cinta diri bersifat primitif dan sesuai dengan tatanan alam, amak baik adanya. Denga asumsi ini lalu dia menyarankan bahwa dalam pendidikan sebaiknya naluri-naluri alamiah dan rasa cinta diri anak dibiarakan berkembang bebas bukannya dibendung. Segala disiplin, khotbah, intelektualisme harus disingkirkan. Semua ini hanya menghambat perkembangan dan menanamkan prasangka ke dalam diri anak. Mendasari saran ini adalah anggapan Rosseau bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik. Katanya, segalanya baik, ketika keluar dari tangan sang Pencipta; segalanya memburuk di tangan manusia. Lagi-lagi yang dikritik di sini adalah institusi-institusi kultural yang cenderung membusukkan kodrat manusia.

Dengan mengikuti gagasan-gagsan Rosseau di atas kita menemukan sebuah gerak balik dari pencerahan. Sebagai optimisme terhadap kemajuan kebudayaan, Rosseau justru mengambil sikap pesimis atasnya. Di dalam hal ini, pemikiran Rosseau memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah filsafat modern, sebab untuk pertama kalinya sejak kemajuan ilmiah terjadi di Barat, dilontarkan sebuah kritik bukan atas dogmatisme religius dan metafisika tradisional, melainkan atas apa yang diyakini sebagai kemajuan.

Rabu, 25 Februari 2009

kritik David Hume atas Substansi dan kesadaran diri

kritik David Hume atas Substansi dan kesadaran diri

Eddy Suranta

David hume berpendapat bahwa di dalam rasioanlisme diyakini adanya subtansi material di luar kita. John Locke meskipun mulaimempersoalkan pendekatan rasionalistis, tetap mengandaikan adanya substansi dengan membedakan persepsi dan objek. Hume tidak setuju dengan Locke itu. Katanya yang bisa diketahui pikiran hanyalah persepsi, bukanlah objek. Kita tahu bagaimana kaitan antara persepsi dan objek-objek di luar diri kita. Bukti untuk hal itu juga tidak ditemukan secara empiris.

Selanjutnya Hume nberusaha menjelaskan bagaiman kita berpikir bahwa subansi itu ada. Menurutnya, pikiran mengamati ciri-ciri yang senatiasa ada bersama-sama. Imajinasi lalu membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dan pikiran pun mendapat kesan seolah-olah subtansi itu ada. Misalnya, kita menangkap ciri-ciri hitam, kasar, berat, padat yang selalu ada bersama-sama, sehingga pikiran menyimpulkan bahwa “batu” yang memiliki ciri-ciri tetap macam itu ada. Menurut Hume, kesatuan ciri yang kemudian disebut substansi itu hanyalah fiksi saja, khayal. Substansi hanyalah kumpulan persepsi belaka. Kalau objek di luar kita disangsikan adanya, bagaimana dengan kesadaran diri atau “aku”? Di dalam menjawab ini Hume mengambil sikap yang paling skeptis. Berkeley yang tidak percaya akan adanya objek luar masih percaya adanya substansi rohani adalah aku. Akan teapi, Hume juga mempersoalkan adanya substansi rohani itu. Menurutnya, kita ini selalu menerima kesan, idea, dan persepsi, seperti: panas, dingin, berat, senang, sedih, nikmat, dst-- sampai kita mendapat kesan bahwa ada suatu kesatuan ciri yang senantiasa ada bersama-sama dan kita sebut “diriku”. Semua ini, menurut Hume, hanyalah kumpulan persepsi saja. Jikalau persepsi-persepsi itu disingkirkan, kita segera kehilangan “diriku”. Misalnya sewaktu tidur, katanya “diriku” itu tidak ada. Yang paling pasti adalah setelah mati, sebab dengan kematian segala persepsi betul-betul dihancurkan dan dilenyapkan, sehingga membuat “diriku” ini non-entitas (bukan kenyataan).

Pemikiran politik Thomas Hobbes

Pemikiran politik Thomas Hobbes

Eddy Suranta

Pemikiran politik Thomas Hobbes kiranya dapat kita lihat dari pemikirannya tentang negara. Bagaimana Thomas Hobbes memandang Negara itu? Berdasarkan konsepnya tentang kodrat egoistis dan anti-sosial dari manusia, Thomas Hobbes mengemukakan ajarannya tentang negara dalam Leviathan. Kalu manusia pada dasarnya egois, bagiman kehidupan masyarakat itu menjadi mungkin di antara makhluk-makhluk yang keji, bengis, dan buas ini? Hobbes menjawab bahwa karena pemeliharaan diri m,enajdi kepentingan asasi setiap individu, saling menerkam menjadi tidak rasional, sebab berlawanan dengan kepentingan asasi itu. Karena itu, Hobbes membayangkan keadaan asali, saat manusia-manusia mengadakan kontrak social, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Akan tetapi, karena perjanjian macam ini rapuh, mereka menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah lembaga yang disebut negara. Katanya, perjanjian tanpa pedang adalah omongan saja, dan tak ada kekuatan yang mengamankan manusia. Karena itu, manusia butuh negara yang memonopoli penggunaan kekerasan. Negara ini hanya memiliki hak atas ratyak untuk memaksakan norma-norma dan ketertibannya, dan tidak memiliki kewajiban, maka bersifat absolut. Dengan istilah “Leviathan” dilukiskan negara seperti monster raksasa purbakala yang hidup di lautan. Namun, dalam gambar sampul buku itu dilukiskan bukan sebagai monster purba ala Kitab Suci, melainkan sebagai manusia raksasa yang terdiri atas banyak manusia-manusia kecil. Ini mengingatkan kita akan manusia besar dalam buku Plato.

Apakah peranan agama dalam kehdiupasn social? Hobbes berpendapat bahwa agama turut berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau takhayul. Agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi memperbesar rasa takut itu untuk mernciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini, agama ortodoks, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah ajaran bidaah adalah sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki. Bersama Machiavelli, dia setuju bahwa agama dapat dipakai sebagai instrumen politik.

Ajaran sosial Hobbes tentang absolutisme negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak tas ratyaknya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bias dilakuakan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolute agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori absolutisme Hobbes itu. Banyak negara mengembar-ngemborkan demokrasi dan menolak absolutisme, tapi dalam kenyataan dan prakteknya diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.

Pemikiran Leibniz tentang monadologi dan sumbangannya sistem monadologi

Pemikiran Leibniz tentang monadologi dan sumbangannya sistem monadologi

Eddy Suranta

Leibniz berpendapat ada banyak substansi. Substansi itu disebut monad (monos=satu; monad=satu unit). Ada yang terkecil dlam matematika yang disebut titik. Dalam fisiak yang terkecil itu atom. Dalam metafisika yang terkecil itu adalah monad. Kata terkecil hendaknya tidak dipahami sebagai ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan, maka monad itu bukan benda. Monad-monad bukanlah kenyataan jasmaniah, melainkan kenytaaaan mental,yangterdiir daripersepsi fan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebgai forces primitives daya puraba yang tidak material, melinkan spiritual. Dengan kata lain, yang ia maksud sebagai monad adalah kesadaran diri tertutup, sejajar dengan cogito tertutup Decartes. Dalam sebuah pernyataannya ynag kemudian termasyur, dia mengatakan sebagai berikut: Monad-monad tak memiliki jendela tempat tempat sesuatu biss keluar atu masuk. Karena itu, setiap monad memiliki sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya. Di antara monad-monad tak ada interaksi, sebab masing-masing memrupakan kenyataan mental yang sudah cukup diri. Monad adalah sebuah system tertutup yang cukup diri. Setiap monad tak lain daripada cermin hidup alam semesta.

Penjelasan Leibniz bahwa monad-monad sudah cukup diri menimbulkan persoalan. Bagaimana aku mengetahui kenyataan di luar diriku? Jawaban Leibniz adalah sebagai berikut. Setiap monad memiliki sifat-sifat yang jumlahnya tak terhingga, sebab setiap monad mencerminkan seluruh alam semesta dari sudut pandangnya. Dengan kata lain, setiap monad mencerminkan semua monad lainnya. Misalnya, saat aku menyadari selembar daun jatuh di depanku, kesadaranku itu merupakan sebuah keadaan dari monad yang mencerminkan keadaan monad-monad lain yang bersama-sama mengidentifikasikan “daun”, sedemikian rupa sehingga dari sudut pandang kesadaranku yang kacau, daun itu kusadari dalam keadaan “jatuh”.

Kalau dunia dan kesadaran adalah monad-monad yang terisolasi satu sama lain, bagaiman menjelaskan gejala adanya ketertaturan dan hubungan timbal balik. Leibniz menjawab adanya Allah pada saat penciptaan mengadakan keselarasan yang ditetapkan sebelumnya di antara monad-monad. Jadi, meskipun monad-monad memiliki momentumnya sendiri-sendiri, mereka toh cocok satu sama lain,s ehingga menimbulkan ilusi bahewa mereka berinteraksi satu sama lain. Misalnya, air yang ditetapkan di atas api menjadi panas bukan karena api, melainkan monad air, api danpanas bersesuaian satu sama lain. Allah, si tukang arloji itu, telah menetapkan bahwa peristiwa yang terjadi pada monad lain. Jadi, hubungan timbal balik di antara monad-monad hanya kelihatannya ada. Lalu apakah Allah itu? Dalam pemikiran Leibniz Allah juga monad, tetapi bukan sembarang monad, melainkan monad purba yang merupakan aktivitas murni, actus purus.

Sumbangan sistem monadologi adalah penghargaan terhadap bagian-bagian alam semesta ini di mana bagian-bagian ini mempunyai keterkaitan satu sama lain, terutama dalam menciptakan suatu keadaan terhadap realitas alam semesta ini.

Pemikiran Rene Descartes tentang “Cogito Ergo Sum” dan argumentasi pembuktian adanya Tuhan

Pemikiran Rene Descartes tentang “Cogito Ergo Sum” dan argumentasi pembuktian adanya Tuhan

Eddy Suranta

Untuk sampai pada pernyataan Descartes tentang Cogito Ergo Sum, kita harus melewati proses pemikiran Descartes tentang keraguan sebagai titik tolak menemukan titik kepastian. Dia mulai dengan keraguan. Menurut Descartes, sekurang-kurangnya aku ragu bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat meragukan segala sesuatu, kita semakin mengada. Justru keraguann inilah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita ragu, kita akan merasa makin pasti bahwa kita nayat-nyata ada. Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa meragukan itu adalah berpikir. Maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan; “aku berpikir, maka aku ada”.

Yang ditemukan dengan metode keraguan adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah. Cogito itu tidak ditemukan dengan reduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Kedua metode tradisional ini bisa dipakai untuk membenarkan wahyu, padahal yang disebut wahyu itu bisa disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan ketidakpastian. Cogito ditemukan dirinya sendiri., tidak melaui Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka, dst. Kesangsian Descartes sedemikian radikal, tetapi kesangsian ini hanya sebuah metode yang ditemukan baru, dia sebetulnya tertap memiliki minat metafisik. Keraguan ini bersifat metodis dan bukan sebuah skeptisisme seperti dalam pemikiran Hume.

Lebih lanjut Descartes memberikan argumentasi tentang pembutkian adanya Tuhan. Setelah menemukan cogito, yakni subjektivitas, pikiran atau kesadaran melaui kesangsian metodis. Descartes lalu menyebut pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dia mneyebutnya “res cogitans”. Dalam kenyataan, aku ini bukan hanya pikiran, tetapi juga sesuatu yang bisa di raba dan dlihat. Kejasmianku ini bisa saja merupkan kesan yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa kejasmian juga merupakan sebuah ide bawaan. Descartes menyebutnya keluasan atau res extensa. Akhirnya dia juga berpendapat bahwa aku juga memiliki ide tentang sempurna. Lalu, dia mengatakan bahwa bahwa Allah juga merupkaan ide bawaan. Di sinilah ia membuktikan tentang adanya Allah. Tentang keluasan atau kejasmanian, dia berpendapat mustahil Allah yang maha benar itu menipu kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu, materi adalah juga suatu substansi. Akhirnya, Allah sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada. Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah sejalan dengan Anselmus dan Thomas. Lebih dari itu, ia sebetulnya mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.

Pemikiran Francis Bacon tentang idola-idola dan tunjukkan relevansinya

Pemikiran Francis Bacon tentang idola-idola dan tunjukkan relevansinya

Eddy Suranta

Salah satu gagasan yang termasyur dari Francis Bacon dalam Novum Organum adalah konsep Idola. Konsep ini dikemudian hari dianggap sebagai cikal bakal konsep “ideologi” dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “idola” adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola ini merasuki juga pemikiran kita sehingga menghambat manusia berpikir kritis dan maju karena manusia terkekang pada idola/mitos. Manusia tidak bisa berpikir tentang perubahan.

Ada 4 macam idola.
Pertama: Idola Tribus=Bangsa, adalah semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga orang tak sanggup memandang alam secara objektif. Perkecualian-perkecualian dianggap ajaib, mukjizat atau disingkirkan, tidak dipelajari. Idola macam ini menawan pikiran banyak orang banyak (tribus), menjadi semacam prasangka kolektif.
Kedua: Prasangka Individual atau Idola Cave. Dimaksudkan di sini bahwa pengalaman-pengalaman dan minat-minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia objektif dikaburkan.
Ketiga: Idola Fora (Forum=Pasar) adalah yang paling berbahaya. Yang diacu di sini adalah pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji.
Keempat: idola theatra=panggung. Dengan konsep ini, Bacon mmeperlihatkan sistem-sistem filsafat tradisional adalah kenyataan subjektif para filsufnya. Sistem-sistem ini dipentaskan, lalu tamat, seperti sebuah teater

Relevansinya bahwa dari Idola ini, kita menyaksikan bagaimana Bacon mau membersihkan pengetahuan kita dari macam-macam prasangka yang menghambat kemajuan. Usaha macam ini jelas sejalan dengan cita-cita Renaisance, yakni: tak lain dari objektivisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan tentang objek di luar diri pengamat itu dapa dicapai semaksimal mungkin. Idola bagaikan debu yang mengotori mata untuk melihat objek pada dirinya, maka harus dibersihkan. Organon baru itu dia anggap ampuh untuk membersihkan peralatan observasi kita.

kisi-kisi filsafat islam

KISI-KISI FILSAFAT ISLAM-UAS 2008

1. Jelaskan Masa keemasan Filsafat Islam
• Jaman keemasan filsafat Islam tampak dari para ahli pikir Islam yang memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama terhadap alam dunia dengan bertitik tolak dari daya akal manusia.
• Pada jaman Bani Umayyah, perhatian lebih tertuju kepada kebudayaan Arab sehingga pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Kemudian, pada masa Bani Abbasiah, pengaruh kebudayaan Yunani mulai tampak karena yang bekerja di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia.
• Perhatian terhadap filsafat pada jaman khalifah Al Ma’amun cukup meningkat di mana dia mengirimkan utusan ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian di bawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk menunjuang penterjemahan ini, Al Ma’mun mendirikan Bait al Hakim di Bagdad yang dipimpin oleh Hudain ibn Ishak, yaitu seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah. Selain belajar bahasa Arab dan Yunani, dia juga menguasai bahasa Syria yang pada zaman itu merupakan salah satu bahasa ilmiah.
• Sebagian besar karya-karya Aristoteles dan Plato serta buku-buku Neo Platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Motif penterjemahan ini adalah, mencari ilmu dalam berbagai bidang ilmu Yunani, seperti bidang kedokteran demi kesehatan para khalifah dan rakyatnya dan demi kepentingan ilmu astronomi dan astrologi. Oleh karena filsafat memiliki hubungan yang erat dengan semua ilmu ini, maka filsafat ditempatkan pada urutan pertama.. Selain itu, penterjemahan ini dimaksudkan sebagai polemik dan apologi bagi penganut agama lain seperti Kristen, Budha, dll sebab sejak semula orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang yang secara intelektual memiliki pendidikan yang cukup tinggi.
• Alasan lain adalah: Pertama: kecenderungan al Ma’mun kepada pikiran atau aliran Mu’tazila yang mendorongnya untuk membela dan menguatkan pendiriannya dalam persoalan al Qur’an dengan alasan-alasan rasional. Kedua: karena persoalan al Qur’an sebagai Kalimatullah menyangkut salah satu sifat Tuhan sehingga timbul dugaan atau keyakinan pada diri Al Ma’mun bahwa dalam filsafat ketuhanan Yunani, ada hal-hal yang bisa memberikan keuatan untuk berdebat melawan lawannya karena filsafat berbicara tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Ketiga: kecenderungan Al Ma’mun terhadap kebebasan berpikir seluas-luasnya dan itikad baiknya terhadap filosof-filosof, yaitu sebagai manusia pilihan di mana orang banyak harus mengambil pikiran-pikirannya. Keempat: Al Ma’mun menghendaki adanya terjemahan-terjemahan baru, seperti matematika, astronomi dan lain sebagainya.

2. Al Kindi: riwayat hidup singkat, jasanya dalam filsafat islam dan mengapa kemudian Al Kindi disingkirkan .
Riwayat Hidup:
Al Kindi adalah satu-satunya orang Arab asli di antara para filsuf, sehingga ia diberi gelar Al Faylasuf Al Kindi. Ia lahir pada tahun 185 H / 9 M sekitar satu dasawarsa sebelum Khalifah al Rasyid meninggal. Al Kindi berasal dari kabilah Kindah yang bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Ia berasal dari keluarga Ishag al Sabbah yang menjadi gubernur Kufah selama kekalifan Abbasiyah al Mahdi dan al Rasyid.
Jasa Al Kindi dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
 Al Kindi merupakan filsuf Islam pertama yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu filsafat. Karena perhatiannya pada ilmu-ilmu filsafat dan pengetahuan.selain itu, Al Kindi juga menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan bahasa Syiria. Al Kindi mempelajari bahasa Yunani tetapi ia menguasai bahasa Syiria sehingga ia menterjemahkan beberapa karya filsuf. Ia juga memperbaiki beberapa terjemahan bahasa Arab seperti Enneades karangan Plotinus yang diterjemahkan oleh al Himsi.
 Beberapa sejarawan Arab memandang Al Kindi sebagai salah satu penterjemah yang ulung. Ia menterjemahkan banyak buku filsafat, kemudian menjelaskan berbagai masalah, menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Al Kindi menterjemahkan 260 buku Yunani dan menujukkan keahliannya dalam bidang ilmu falak, ilmu pasti, kimia, dan astrologi. Ia juga menguasai bidang kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantik, menguasai ilmu ukur, aljabar dan lain sebagainya. Pengetahuan yang luas ini menghantar Al Kindi pada tataran seorang filsuf yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai disiplin ilmu.
Mengapa Al Kindi disingkirkan?
Penolakan terhadap Al Kindi dalam kalangan Islam:
 Kejayaan Al Kindi sebagai seorang filsuf pada zaman Al Mutaawa menjadi sasaran kritik dan fitnah dari mereka yang merasa irihati sampai ia dijatuhi hukuman mati oleh Mutawakkil dan perpustakaannya yang terkenal,yaitu Al Kindiyah disita dan kemudian dijadikan milik Al Mutawakkil. Al Kindi sendiri berhaluan Mu’tazilah, tetapi ketika gerakan ini dilarang, Al Kindi juga ikut terlibat dan hal ini menjadi kesempatan bagi musuh-musuhnya untuk menjatuhkan Al Kindi. Al Kindi di dera di depan umum, dipecat dan perpustakaannya di sita.

3. Jelaskan pengaruh Aristoteles dan Plato dalam filsafat Al Kindi
• Pengaruh Aristoteles dalam Filsafat Al Kindi berkaitan dengan pembagian filsafat pada teori dan amalan atau praktek. Sedangkan Plato berkaitan dengan definisi, karena sebelum Al Kindi, Plato mengemukakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan dan mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan.
• Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai kebenaran, mengatur dan mengagungkan kekuatan akal budi dan hati. Apabila hal ini dapat dicapai oleh seseorang, maka ia akan menerima pengetahuan dan dengan pengetahuan ini ia sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan ialah ilmu hisap (aritmetika), handasan (geometri), falak (astronomi), dan jadal (ilmu debat). Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Maka sesuai dengan hal itu, Al Kindi dalam salah satu risalahnya mengatakan bahwa perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan.


4. Jelaskan Metafisika Al-Kindi
Metafisika Al Kindi dilandaskan pada empat pertanyaan pokok yang diajukan untuk memperlihatkan hakekat Tuhan dalam persoalan mengenai eka dan aneka. Bahwa keanekaan yang ada dalam dunia ini tak dapat dipahami terpisah dari deretan dari sebab musabab yang akhirnya dijabarkan dari sebab terakhir yang eka, yang satu, yang maha nyata dan abadi. Dia adalah yang Esa dan besar.
Pertanyaan pokoknya, yaitu:
1. Dari mana (Min ayna), yang selanjutnya dijawab dengan unsur, yakni materi, eksistensi atau penciptaan.
2. Apa (Mada) , yang dijawab dengan forma atau genus.
3. Di mana (Ayna), yang dijawab dengan sebab perbedaan spesifik (partikularis). Mempertanyakan tempat penciptaan.
4. Mengapa (Limada), yang dijawab dengan taman atau tujuan kesempurnaan.
Dari keempat pertanyaan pokok ini Al Kindi menjelaskan tentang asal usul penciptaan dan tentang eksistensi materi dunia ini. Dia mengatakan bahwa dunia, materi dan eksistensinya ini diciptakan dari ketiadaan=creation ex nihilo oleh Allah yang Esa dan besar. Tuhan yang Esa dan Besar ini menjadi sumber dari keanekaragaman eksistensi di dunia ini. Oleh karena itu, persoalan metafisika yang dibicarakan oleh Al Kindi adalah tentang “Filsafat Pertama” dan “Keesaan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Pembicaraan dalam ahal ini meliputi hakekat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Hakekat Tuhan adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujudnya dan tidak ada wujud kecuali dengannya. Untuk membuktikan wujud Tunan, ia menggunakan tiga jalan, yaitu:
1. Baharunya alam
2. keanekan ragaman dalam wujud
3. kerapian alam.
Sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang pada masa Al Kindi, dan dalam hal ini ia mengikuti pendirian golongan Mu’tazila. Di anatara sifat-sifat Tuhan itu ialah keesaan, suatu sifat yang paling khas baginya. Tuan itu satu zat_Nya dan satu dalam hitunagan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “Yang Maha Tahu”, Yang maha Berkuasa” Yang Maha Hidup dan Seterusnya. Al Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa “ia bukan benda , bukan form, tidak mempunyai kuantitas, tidak mempunyai kualitas, tidak berhubungan dengan yang lain. Misalnya sebagai ayah atau sebagai anak; tidak biasa diberi sifat yang ada dalam pikiran, bukan genus, bukan aksidens, tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya maka Tuan adalah keesaan belaka, tidak ada lain keculai keesaan belaka. Karenanya Tuhan bersifat Azali, yaitu Zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah ada, atau pada permulaannya ada, melinkan Zat yang ada dan wujudnya tidak tergantung dari ada sebab yang menyebabkan Dia ada, maka ia bukan “subjek atau predikat”
Kesimpulan ialah Tuhan adalah sebab pertama di mana wujudNya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan tetapi bukan disempurnakan.

5. Jelaskan Etika Al-Kindi
Al Kindi berpendapat bahwa filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksaanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles) melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi dia digoda oleh hawa nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan. Manusia harus menjauhan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Sokrates dipuji sebagai contoh zahid (asket). Al Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Dalam etikanya ia mengutamaan kaidah Stoa dan Sokrates.

12. Jelaskan Kenabian dan Al Qur’an menurut Al Kindi?
Al Kindi menjelaskan teori kenabian lewat dua kemungkinan memperoleh ilmu, yakni Ilmu Ilahi dan Ilmu Insani. Ilmu Ilahi adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada para Nabi_Nya. Inilah derajat pengetahuan yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh manusia. Seorang nabi dapat mencapai tingkatan itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan melalui jalan intiusi (wahyu) serta melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.
Ilmu insan adalah filsafat dan ilmu-ilmu lain yang bias dipelajari oleh semua manusia. Di antara kedua jenis ilmu tersebut terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian filsafat dan ilmu-ilmu wajib sejalan dengan wahyu.

Mengenai Al Qu’ran, Al Kindi sedependapat dengan kaum Mu’tazila. Bahwa Qu’rann itu tidak abadi bersama Allah. Namun demikian, kebenaran Al Qu’ran masih jauh lebih baik untuk diyakini jika dibandingkan dengan kebenaran-kebenaran hasil refleksi filosofis.

6. Al Farabi: riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat kenegaraan menurut Al Farabi (bentuk, pejabat, tujuan dan jenis negara)
Riwayat Hidup
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu al Nashr Muhamad bin Muhamad bin Tharchan. Sebutan Al Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat dia dilahirkan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang Iran dan ibunya wanita Turkistan. Kemudian ia menjadi perwira Turkestan, karena itu Al Farabi dikatkan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan keturnan Iran.

Filsafat kenegaraan
Al Farabi membentangkan filsafat negara terutama dala, Al-Syat al Madaniyah dan kitab al-mabadi’ara al-madinat al-fadilah (pendapat-pendapat asasi dari penduduk utama. Kedua buku tersebut membicarakan akhlak dan tatanegara. Menurut dia manusia adalah makhluk sosial dan tak dapat berkembang secara moril kecuali dalam ikatan negara. Karena itu Al Farabi tidak menyusun seuatu etika tersendiri. Sumber filsafat negaranya berasal dari karya Plato: Politeia dan Nomoi (undang-undang).

Bentuk Negara
Ia mencita-citakan berdirinya sebuah negara sempurna (al madinat al-fhatilat). Yang dimaksud dengan negara sempuirna adalah suatu pemerintahan otokrasi dengan seorang raja (malik atau Rais Awal) yang berkuasa mutlak dalam mengatur negara. Hubungan antar dunia dengan Tuhan hendaknya menjadi teladan atau model panutan bagi hubungan masyarakat dengan raja. Di dalam negara yang terpenting harus dipilah sari antara warga yang paling sempurna, karena sebuah negara yang sesat (dalal) sama dengan orang sakit.

Pejabat Negara
Al Farabi membedakan tiga golongan pejabat negara, yaitu:
1. pemimpin pada tingakt teratas. Pada puncak kekuasaan terdapat raja (malik) atau Ra’is Awal. Ia adalah filsuf, yang merenungkan kebenaran abadi, menerima pengetahuan benar langsung dari penyinaran aqal fa’al. Berdasarkan ini, dia memerintah secara absolut, tidak usah berunding dengan bawahan yang hanya menyambut perintahnya.
2. pemimpin pada tingkat menengah. Pada tingkat menengah terdapat petugas-petugas yang dikontrol oleh penguasa di atasnya, teapi berhak memerintah bawahannya.
3. pemimpin pada tingkat terbawah. Mereka yang menempati tinkat terbawah wajib melaksanakan perintah, tidak berhak memberi perintah. Bawahan tidak diharapkan memberi nasehat atau usul.
Kepala negara harus serba sempurna secara moril, intelektual dan fisisk. Ia harus mencintai kebenaran dan keadilan, berani mengambil keputusan yang tepat, tak tergoda oleh emas,perak dan milik duniawi. Ia juga harus berbakat menjadi panglima perang. Ia harus memiliki hubungan jiwa secara erat dengan aqal falal.

Jenis Negara
Af Farabi berpendapat tidak semua negara dapat mewujudkan cita-cita negara sempurna. Negara-negara yang tidak baik itu ada beberapa macam di antaranya:
1. negara Imoril (faqiq) yaitu negara yang pernah mengenal kebenaran mengenai Tuhan, akhirat dan kebahagiaan sejati tetapi tidak sesuai dengannya.
2. Negara menyeleweng (mubaddah) di sini orang merubah cita-cita asli.
3. negara sesat (dallah) di sini kepala dan rakyat tidak mengetahui kebenaran, hanya mempunyai nabi palsu yang mencari kepentingan sendiri.
4. negara massa (madina al-jamayyah), di sini setiap warga negara bebas dan bisa berbuat sesuka hatinya. Semua penduduk sama rasa sama rata. Rakyat memutuskan, apa yang dikerjakan oleh pemimpin mereka. Dalam negara semacam ini rakyat tidak perlu menati undang-undang. Negara semacam ini pasti menjurus anarkis.




7. Jelaskan “teori emanasi” menurut Al Farabi
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang muklim (alam makhluk) dari zat wajibul wujud (zat yang mesti ada, Tuhan). Teori emansi ini juga disebut dengan “teori urut-uruta wujud.
Menurut Al-Farabi Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan) sehingga tidak bisa dikatakan hakikat yang sebenarnya.
Al-Farabi telah menguraikannya secara ilmiah di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu ke luar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadinya ilmunya menjadi sebab bagi wujud yang diketahuinya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian, keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (mkhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan.
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu esa. Karena itu yang keluar daripadaNya juga satu wujud saja, sebab emanasi tadi timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Tuhan itu terbilang maka zat Tuhan pun terbilang pula. Dasar adanya emanasi adalah karena pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal tersebut terdapat kekuatan-kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam sendiri apabila kita memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau terwujdnya. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama (al aql-al-awwal).
a. Dari Akal Pertama timbul Akal Kedua, yang memantulkan falak aqsa
b. Dari Akal Kedua timbul Akal Ketiga yang memantulkan bintang tetap
c. Dari Akal Ketiga timbul Akal Keempat dan planet saturnus (zuhl)
d. Dari Akal Keempat timbul Akal Kelima dan Yupiter (Mushtari)
e. Dari Akal Kelima timbul Akal Keenam dan planet Mars (marish)
f. Dari Akal Keenam timbul Akal Ketujuh dan matahari (Shams)
g. Dari Akal Ketujuh timbul Akal Kedelapan dan palnet Venus (Zuhrah)
h. Dari Akal Kedelapan timbul Akal Kesembilan dan planet Mercurius (Utharid)
i. Dari Akal Kesembilan timbul Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar)
j. Dari Akal Kesepuluh, sesuai dengan dua seginyanya yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mungkin maka keluarlah empat unsur dengan perrantaan benda-benda langit.
Jumlah sepuluh disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan di mana unutk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet dari ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujh. Kemudia Al Farabi menambah dua lagi yaitu benda langit yang terjauh (al falak al aqsa) dan bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) yang diambil dari Ptolomeus, yang hidup pada pertengahan abad kedua masehi.
Masing-masing akal bersifat sempurna dalam jenisnya, berkehidupan dan selalu bi’l-fi’l (in actu) sedang bintang-bintang dan planet digerakkan akal yang karena tergabung dengan materi, tidak sempurna dan berpotensi.


8. Ibn Sina: Riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat Ibn Sina dalam bukunya “Hayy ibn Yaqdhan”
Cerita Hayy Ibn Yaqdhan
Cerita tersebut berawal dari seorang anak (oleh Ibn Thufail diberi nama Hayy ibn Yaqzhan), yang dilahirkan secara spontan atau dalam versi lain merupakan hasil hubungan gelap antara seorang pangeran dan kekasihnya, yang kemudian dibuang kesebuah pulau yang tak berpenghuni dan terpencil tanpa pemeliharaan. Di pulau tersebut, Hayy hidup dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya dan sudi untuk menyusuinya sampai Hayy bisa mempertahankan diri dari serangan binatang buas yang hidup disekitar situ. Hayy dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Di masa hidupnya, Hayy selalu berpikir, memperhatikan, mengamati serta merenungkan segala yang ada disekitarnya. Dia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya.
Kehidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu (pakaian alami) dan masing-masing mempunyai alat pertahanan untuk melindungi diri, sedang ia sendiri telanjang dan tidak bersenjata. Lalu ditirunya, diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat, serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri.
Pada suatu hari, terlihat oleh Hayy api yang membakar hutan di pulau tersebut. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya api itu terus menerus. Dengan api tersebut dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya kelezatan burung itu. Dia mulai berburu hewan untuk dimakan. Dipeliharanya anjing untuk menemaninya berburu. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari yang berikutnya.
Dengan kekuatan akalnya, Hayy sudah mampu mengenal kebutuhan-kebutuhan hidupnya, mulai dari menutup dirinya, memiliki alat pertahanan, cara memakai api, membangun tempat berteduh dan lain-lain.
Hari berikutnya, tiba-tiba saja, rusa yang mengasuhnya sejak kecil sudah mati. Kenapa mati? Diapun heran dan ini menimbulkan 1000 pertanyaan bagi Hayy, sebab belum pernah dia mendapati ataupun melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuh. Hayy lalu memikirkan, mengapa ada peristiwa kematian itu. Ibn Thufail yang juga ahli anatomi, menguraikan bagaimana anak itu (Hayy) membedah tubuh rusa itu, mencari-cari apa yang membuatnya tak bernyawa, padahal tubuh tersebut masih utuh, masih lengkap. Diapun merenung, dan akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya itu. Lalu diapun bertanya-tanya, siapakah yang berkuasa di luar badannya itu?
Sementara itu, di pulau lain, yang tak jauh dari pulau yang didiami oleh Hayy, terdapat masyarakat yang mendapat atau telah menerima seruan Nabi. Di antara pemukanya adalah Asal dan Salaman. Dalam menjalankan syari’at Nabi, mereka berbeda pendekatan. Asal lebih tertarik kepada aspek bathin syari’at dan cenderung mentakwilkan secara filosofis dan sufistik, sedangkan Salaman memahami syari’at secara lahiriyah dan tekstual, dan itu didukung oleh masyarakat banyak di pulau itu. Karena adanya perbedaan pendekatan tersebut, merekapun berpisah.
Asal lalu pergi ke pulau lain untuk beruzlah (menyendiri). Tetapi pulau yang di datanginya itu ternyata tempat tinggal Hayy. Setelah keduanya bertemu dan berkomunikasi, Hayy pun dilajarinya bahasa dan merekapun saling berbagi pengalaman. Asal menceritakan kebenaran-kebenaran yang ia peroleh dari wahyu, Sedangkan Hayy menceritakan penemuan akalnya sendiri. Akhirnya, kedua orang tersebut dapat saling menerima penjelasan-penjelasan itu dan memperkuat ajaran agama. Lalu keduanya sepakat untuk pergi ke pulau yang di diami oleh Salaman untuk mengajarkan rahasia kehidupan sejati kepada penduduknya.
Kedatangan Hayy dan Asal mula-mula mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Namun, ketika mereka mendakwahkan keyakinan suci mereka, penduduk menolaknya dan menganggapnya sesat, karena telah mapan dengan pemahaman zahir nash wahyu. Dengan berat hati merekapun kembali lagi ke pulau yang dulu dihuni oleh Hayy. Disana keduanya melanjutkan kontemplasi terhadap Tuhan dengan cara masing-masing sampai datang kematian menjemput mereka.


Filsafat Ibn Sina
Dari ringkasan isi cerita tersebut dan penggunaan rumusan-rumusan di baliknya, sebenarnya ada beberapa hal menarik, yang dicoba ingin disampaikan oleh Ibn Thufail dan juga ini dapat kita sebut sebagai gambaran umum tentang filsafatnya.
1. Pertama, bahwa filsafat (akal) dapat berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang sudah maju.
2. Dengan filsafat, manusia juga mampu untuk sampai kepada Tuhan. Walaupun begitu jalan yang ditempuh agama sebenarnya lebih praktis dan ekonomis untuk menuntun secara langsung keselamatan manusia dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai untuk makrifat akan Allah. Namun untuk amal kehidupan manusia sendiri, filsafat itu terlalu ideal dan teoritis.
3. Agama pada asasnya sesuai dengan alam pikiran atau melalui jalan filsafat. Dengan akalnya (filsafat), manusia juga akan dapat menyelami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan agama.
Cerita ini mampu memecahkan problem yang ditimbulkan oleh pertentangan antara filsafat dan agama, akal dan iman, serta mencoba menyesuaikan antara kedua pertentangan tersebut, sekaligus –– seperti halnya Hayy –– menyadari bahwa kebenaran memiliki dua wajah, yakni internal dan eksternal.