Rabu, 25 Februari 2009

kisi-kisi filsafat islam

KISI-KISI FILSAFAT ISLAM-UAS 2008

1. Jelaskan Masa keemasan Filsafat Islam
• Jaman keemasan filsafat Islam tampak dari para ahli pikir Islam yang memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama terhadap alam dunia dengan bertitik tolak dari daya akal manusia.
• Pada jaman Bani Umayyah, perhatian lebih tertuju kepada kebudayaan Arab sehingga pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Kemudian, pada masa Bani Abbasiah, pengaruh kebudayaan Yunani mulai tampak karena yang bekerja di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia.
• Perhatian terhadap filsafat pada jaman khalifah Al Ma’amun cukup meningkat di mana dia mengirimkan utusan ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian di bawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk menunjuang penterjemahan ini, Al Ma’mun mendirikan Bait al Hakim di Bagdad yang dipimpin oleh Hudain ibn Ishak, yaitu seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah. Selain belajar bahasa Arab dan Yunani, dia juga menguasai bahasa Syria yang pada zaman itu merupakan salah satu bahasa ilmiah.
• Sebagian besar karya-karya Aristoteles dan Plato serta buku-buku Neo Platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Motif penterjemahan ini adalah, mencari ilmu dalam berbagai bidang ilmu Yunani, seperti bidang kedokteran demi kesehatan para khalifah dan rakyatnya dan demi kepentingan ilmu astronomi dan astrologi. Oleh karena filsafat memiliki hubungan yang erat dengan semua ilmu ini, maka filsafat ditempatkan pada urutan pertama.. Selain itu, penterjemahan ini dimaksudkan sebagai polemik dan apologi bagi penganut agama lain seperti Kristen, Budha, dll sebab sejak semula orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang yang secara intelektual memiliki pendidikan yang cukup tinggi.
• Alasan lain adalah: Pertama: kecenderungan al Ma’mun kepada pikiran atau aliran Mu’tazila yang mendorongnya untuk membela dan menguatkan pendiriannya dalam persoalan al Qur’an dengan alasan-alasan rasional. Kedua: karena persoalan al Qur’an sebagai Kalimatullah menyangkut salah satu sifat Tuhan sehingga timbul dugaan atau keyakinan pada diri Al Ma’mun bahwa dalam filsafat ketuhanan Yunani, ada hal-hal yang bisa memberikan keuatan untuk berdebat melawan lawannya karena filsafat berbicara tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Ketiga: kecenderungan Al Ma’mun terhadap kebebasan berpikir seluas-luasnya dan itikad baiknya terhadap filosof-filosof, yaitu sebagai manusia pilihan di mana orang banyak harus mengambil pikiran-pikirannya. Keempat: Al Ma’mun menghendaki adanya terjemahan-terjemahan baru, seperti matematika, astronomi dan lain sebagainya.

2. Al Kindi: riwayat hidup singkat, jasanya dalam filsafat islam dan mengapa kemudian Al Kindi disingkirkan .
Riwayat Hidup:
Al Kindi adalah satu-satunya orang Arab asli di antara para filsuf, sehingga ia diberi gelar Al Faylasuf Al Kindi. Ia lahir pada tahun 185 H / 9 M sekitar satu dasawarsa sebelum Khalifah al Rasyid meninggal. Al Kindi berasal dari kabilah Kindah yang bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Ia berasal dari keluarga Ishag al Sabbah yang menjadi gubernur Kufah selama kekalifan Abbasiyah al Mahdi dan al Rasyid.
Jasa Al Kindi dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
 Al Kindi merupakan filsuf Islam pertama yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu filsafat. Karena perhatiannya pada ilmu-ilmu filsafat dan pengetahuan.selain itu, Al Kindi juga menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan bahasa Syiria. Al Kindi mempelajari bahasa Yunani tetapi ia menguasai bahasa Syiria sehingga ia menterjemahkan beberapa karya filsuf. Ia juga memperbaiki beberapa terjemahan bahasa Arab seperti Enneades karangan Plotinus yang diterjemahkan oleh al Himsi.
 Beberapa sejarawan Arab memandang Al Kindi sebagai salah satu penterjemah yang ulung. Ia menterjemahkan banyak buku filsafat, kemudian menjelaskan berbagai masalah, menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Al Kindi menterjemahkan 260 buku Yunani dan menujukkan keahliannya dalam bidang ilmu falak, ilmu pasti, kimia, dan astrologi. Ia juga menguasai bidang kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantik, menguasai ilmu ukur, aljabar dan lain sebagainya. Pengetahuan yang luas ini menghantar Al Kindi pada tataran seorang filsuf yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai disiplin ilmu.
Mengapa Al Kindi disingkirkan?
Penolakan terhadap Al Kindi dalam kalangan Islam:
 Kejayaan Al Kindi sebagai seorang filsuf pada zaman Al Mutaawa menjadi sasaran kritik dan fitnah dari mereka yang merasa irihati sampai ia dijatuhi hukuman mati oleh Mutawakkil dan perpustakaannya yang terkenal,yaitu Al Kindiyah disita dan kemudian dijadikan milik Al Mutawakkil. Al Kindi sendiri berhaluan Mu’tazilah, tetapi ketika gerakan ini dilarang, Al Kindi juga ikut terlibat dan hal ini menjadi kesempatan bagi musuh-musuhnya untuk menjatuhkan Al Kindi. Al Kindi di dera di depan umum, dipecat dan perpustakaannya di sita.

3. Jelaskan pengaruh Aristoteles dan Plato dalam filsafat Al Kindi
• Pengaruh Aristoteles dalam Filsafat Al Kindi berkaitan dengan pembagian filsafat pada teori dan amalan atau praktek. Sedangkan Plato berkaitan dengan definisi, karena sebelum Al Kindi, Plato mengemukakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan dan mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan.
• Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai kebenaran, mengatur dan mengagungkan kekuatan akal budi dan hati. Apabila hal ini dapat dicapai oleh seseorang, maka ia akan menerima pengetahuan dan dengan pengetahuan ini ia sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan ialah ilmu hisap (aritmetika), handasan (geometri), falak (astronomi), dan jadal (ilmu debat). Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Maka sesuai dengan hal itu, Al Kindi dalam salah satu risalahnya mengatakan bahwa perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan.


4. Jelaskan Metafisika Al-Kindi
Metafisika Al Kindi dilandaskan pada empat pertanyaan pokok yang diajukan untuk memperlihatkan hakekat Tuhan dalam persoalan mengenai eka dan aneka. Bahwa keanekaan yang ada dalam dunia ini tak dapat dipahami terpisah dari deretan dari sebab musabab yang akhirnya dijabarkan dari sebab terakhir yang eka, yang satu, yang maha nyata dan abadi. Dia adalah yang Esa dan besar.
Pertanyaan pokoknya, yaitu:
1. Dari mana (Min ayna), yang selanjutnya dijawab dengan unsur, yakni materi, eksistensi atau penciptaan.
2. Apa (Mada) , yang dijawab dengan forma atau genus.
3. Di mana (Ayna), yang dijawab dengan sebab perbedaan spesifik (partikularis). Mempertanyakan tempat penciptaan.
4. Mengapa (Limada), yang dijawab dengan taman atau tujuan kesempurnaan.
Dari keempat pertanyaan pokok ini Al Kindi menjelaskan tentang asal usul penciptaan dan tentang eksistensi materi dunia ini. Dia mengatakan bahwa dunia, materi dan eksistensinya ini diciptakan dari ketiadaan=creation ex nihilo oleh Allah yang Esa dan besar. Tuhan yang Esa dan Besar ini menjadi sumber dari keanekaragaman eksistensi di dunia ini. Oleh karena itu, persoalan metafisika yang dibicarakan oleh Al Kindi adalah tentang “Filsafat Pertama” dan “Keesaan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Pembicaraan dalam ahal ini meliputi hakekat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Hakekat Tuhan adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujudnya dan tidak ada wujud kecuali dengannya. Untuk membuktikan wujud Tunan, ia menggunakan tiga jalan, yaitu:
1. Baharunya alam
2. keanekan ragaman dalam wujud
3. kerapian alam.
Sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang pada masa Al Kindi, dan dalam hal ini ia mengikuti pendirian golongan Mu’tazila. Di anatara sifat-sifat Tuhan itu ialah keesaan, suatu sifat yang paling khas baginya. Tuan itu satu zat_Nya dan satu dalam hitunagan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “Yang Maha Tahu”, Yang maha Berkuasa” Yang Maha Hidup dan Seterusnya. Al Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa “ia bukan benda , bukan form, tidak mempunyai kuantitas, tidak mempunyai kualitas, tidak berhubungan dengan yang lain. Misalnya sebagai ayah atau sebagai anak; tidak biasa diberi sifat yang ada dalam pikiran, bukan genus, bukan aksidens, tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya maka Tuan adalah keesaan belaka, tidak ada lain keculai keesaan belaka. Karenanya Tuhan bersifat Azali, yaitu Zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah ada, atau pada permulaannya ada, melinkan Zat yang ada dan wujudnya tidak tergantung dari ada sebab yang menyebabkan Dia ada, maka ia bukan “subjek atau predikat”
Kesimpulan ialah Tuhan adalah sebab pertama di mana wujudNya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan tetapi bukan disempurnakan.

5. Jelaskan Etika Al-Kindi
Al Kindi berpendapat bahwa filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksaanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles) melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi dia digoda oleh hawa nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan. Manusia harus menjauhan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Sokrates dipuji sebagai contoh zahid (asket). Al Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Dalam etikanya ia mengutamaan kaidah Stoa dan Sokrates.

12. Jelaskan Kenabian dan Al Qur’an menurut Al Kindi?
Al Kindi menjelaskan teori kenabian lewat dua kemungkinan memperoleh ilmu, yakni Ilmu Ilahi dan Ilmu Insani. Ilmu Ilahi adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada para Nabi_Nya. Inilah derajat pengetahuan yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh manusia. Seorang nabi dapat mencapai tingkatan itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan melalui jalan intiusi (wahyu) serta melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.
Ilmu insan adalah filsafat dan ilmu-ilmu lain yang bias dipelajari oleh semua manusia. Di antara kedua jenis ilmu tersebut terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian filsafat dan ilmu-ilmu wajib sejalan dengan wahyu.

Mengenai Al Qu’ran, Al Kindi sedependapat dengan kaum Mu’tazila. Bahwa Qu’rann itu tidak abadi bersama Allah. Namun demikian, kebenaran Al Qu’ran masih jauh lebih baik untuk diyakini jika dibandingkan dengan kebenaran-kebenaran hasil refleksi filosofis.

6. Al Farabi: riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat kenegaraan menurut Al Farabi (bentuk, pejabat, tujuan dan jenis negara)
Riwayat Hidup
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu al Nashr Muhamad bin Muhamad bin Tharchan. Sebutan Al Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat dia dilahirkan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang Iran dan ibunya wanita Turkistan. Kemudian ia menjadi perwira Turkestan, karena itu Al Farabi dikatkan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan keturnan Iran.

Filsafat kenegaraan
Al Farabi membentangkan filsafat negara terutama dala, Al-Syat al Madaniyah dan kitab al-mabadi’ara al-madinat al-fadilah (pendapat-pendapat asasi dari penduduk utama. Kedua buku tersebut membicarakan akhlak dan tatanegara. Menurut dia manusia adalah makhluk sosial dan tak dapat berkembang secara moril kecuali dalam ikatan negara. Karena itu Al Farabi tidak menyusun seuatu etika tersendiri. Sumber filsafat negaranya berasal dari karya Plato: Politeia dan Nomoi (undang-undang).

Bentuk Negara
Ia mencita-citakan berdirinya sebuah negara sempurna (al madinat al-fhatilat). Yang dimaksud dengan negara sempuirna adalah suatu pemerintahan otokrasi dengan seorang raja (malik atau Rais Awal) yang berkuasa mutlak dalam mengatur negara. Hubungan antar dunia dengan Tuhan hendaknya menjadi teladan atau model panutan bagi hubungan masyarakat dengan raja. Di dalam negara yang terpenting harus dipilah sari antara warga yang paling sempurna, karena sebuah negara yang sesat (dalal) sama dengan orang sakit.

Pejabat Negara
Al Farabi membedakan tiga golongan pejabat negara, yaitu:
1. pemimpin pada tingakt teratas. Pada puncak kekuasaan terdapat raja (malik) atau Ra’is Awal. Ia adalah filsuf, yang merenungkan kebenaran abadi, menerima pengetahuan benar langsung dari penyinaran aqal fa’al. Berdasarkan ini, dia memerintah secara absolut, tidak usah berunding dengan bawahan yang hanya menyambut perintahnya.
2. pemimpin pada tingkat menengah. Pada tingkat menengah terdapat petugas-petugas yang dikontrol oleh penguasa di atasnya, teapi berhak memerintah bawahannya.
3. pemimpin pada tingkat terbawah. Mereka yang menempati tinkat terbawah wajib melaksanakan perintah, tidak berhak memberi perintah. Bawahan tidak diharapkan memberi nasehat atau usul.
Kepala negara harus serba sempurna secara moril, intelektual dan fisisk. Ia harus mencintai kebenaran dan keadilan, berani mengambil keputusan yang tepat, tak tergoda oleh emas,perak dan milik duniawi. Ia juga harus berbakat menjadi panglima perang. Ia harus memiliki hubungan jiwa secara erat dengan aqal falal.

Jenis Negara
Af Farabi berpendapat tidak semua negara dapat mewujudkan cita-cita negara sempurna. Negara-negara yang tidak baik itu ada beberapa macam di antaranya:
1. negara Imoril (faqiq) yaitu negara yang pernah mengenal kebenaran mengenai Tuhan, akhirat dan kebahagiaan sejati tetapi tidak sesuai dengannya.
2. Negara menyeleweng (mubaddah) di sini orang merubah cita-cita asli.
3. negara sesat (dallah) di sini kepala dan rakyat tidak mengetahui kebenaran, hanya mempunyai nabi palsu yang mencari kepentingan sendiri.
4. negara massa (madina al-jamayyah), di sini setiap warga negara bebas dan bisa berbuat sesuka hatinya. Semua penduduk sama rasa sama rata. Rakyat memutuskan, apa yang dikerjakan oleh pemimpin mereka. Dalam negara semacam ini rakyat tidak perlu menati undang-undang. Negara semacam ini pasti menjurus anarkis.




7. Jelaskan “teori emanasi” menurut Al Farabi
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang muklim (alam makhluk) dari zat wajibul wujud (zat yang mesti ada, Tuhan). Teori emansi ini juga disebut dengan “teori urut-uruta wujud.
Menurut Al-Farabi Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan) sehingga tidak bisa dikatakan hakikat yang sebenarnya.
Al-Farabi telah menguraikannya secara ilmiah di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu ke luar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadinya ilmunya menjadi sebab bagi wujud yang diketahuinya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian, keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (mkhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan.
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu esa. Karena itu yang keluar daripadaNya juga satu wujud saja, sebab emanasi tadi timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Tuhan itu terbilang maka zat Tuhan pun terbilang pula. Dasar adanya emanasi adalah karena pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal tersebut terdapat kekuatan-kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam sendiri apabila kita memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau terwujdnya. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama (al aql-al-awwal).
a. Dari Akal Pertama timbul Akal Kedua, yang memantulkan falak aqsa
b. Dari Akal Kedua timbul Akal Ketiga yang memantulkan bintang tetap
c. Dari Akal Ketiga timbul Akal Keempat dan planet saturnus (zuhl)
d. Dari Akal Keempat timbul Akal Kelima dan Yupiter (Mushtari)
e. Dari Akal Kelima timbul Akal Keenam dan planet Mars (marish)
f. Dari Akal Keenam timbul Akal Ketujuh dan matahari (Shams)
g. Dari Akal Ketujuh timbul Akal Kedelapan dan palnet Venus (Zuhrah)
h. Dari Akal Kedelapan timbul Akal Kesembilan dan planet Mercurius (Utharid)
i. Dari Akal Kesembilan timbul Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar)
j. Dari Akal Kesepuluh, sesuai dengan dua seginyanya yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mungkin maka keluarlah empat unsur dengan perrantaan benda-benda langit.
Jumlah sepuluh disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan di mana unutk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet dari ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujh. Kemudia Al Farabi menambah dua lagi yaitu benda langit yang terjauh (al falak al aqsa) dan bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) yang diambil dari Ptolomeus, yang hidup pada pertengahan abad kedua masehi.
Masing-masing akal bersifat sempurna dalam jenisnya, berkehidupan dan selalu bi’l-fi’l (in actu) sedang bintang-bintang dan planet digerakkan akal yang karena tergabung dengan materi, tidak sempurna dan berpotensi.


8. Ibn Sina: Riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat Ibn Sina dalam bukunya “Hayy ibn Yaqdhan”
Cerita Hayy Ibn Yaqdhan
Cerita tersebut berawal dari seorang anak (oleh Ibn Thufail diberi nama Hayy ibn Yaqzhan), yang dilahirkan secara spontan atau dalam versi lain merupakan hasil hubungan gelap antara seorang pangeran dan kekasihnya, yang kemudian dibuang kesebuah pulau yang tak berpenghuni dan terpencil tanpa pemeliharaan. Di pulau tersebut, Hayy hidup dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya dan sudi untuk menyusuinya sampai Hayy bisa mempertahankan diri dari serangan binatang buas yang hidup disekitar situ. Hayy dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Di masa hidupnya, Hayy selalu berpikir, memperhatikan, mengamati serta merenungkan segala yang ada disekitarnya. Dia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya.
Kehidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu (pakaian alami) dan masing-masing mempunyai alat pertahanan untuk melindungi diri, sedang ia sendiri telanjang dan tidak bersenjata. Lalu ditirunya, diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat, serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri.
Pada suatu hari, terlihat oleh Hayy api yang membakar hutan di pulau tersebut. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya api itu terus menerus. Dengan api tersebut dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya kelezatan burung itu. Dia mulai berburu hewan untuk dimakan. Dipeliharanya anjing untuk menemaninya berburu. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari yang berikutnya.
Dengan kekuatan akalnya, Hayy sudah mampu mengenal kebutuhan-kebutuhan hidupnya, mulai dari menutup dirinya, memiliki alat pertahanan, cara memakai api, membangun tempat berteduh dan lain-lain.
Hari berikutnya, tiba-tiba saja, rusa yang mengasuhnya sejak kecil sudah mati. Kenapa mati? Diapun heran dan ini menimbulkan 1000 pertanyaan bagi Hayy, sebab belum pernah dia mendapati ataupun melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuh. Hayy lalu memikirkan, mengapa ada peristiwa kematian itu. Ibn Thufail yang juga ahli anatomi, menguraikan bagaimana anak itu (Hayy) membedah tubuh rusa itu, mencari-cari apa yang membuatnya tak bernyawa, padahal tubuh tersebut masih utuh, masih lengkap. Diapun merenung, dan akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya itu. Lalu diapun bertanya-tanya, siapakah yang berkuasa di luar badannya itu?
Sementara itu, di pulau lain, yang tak jauh dari pulau yang didiami oleh Hayy, terdapat masyarakat yang mendapat atau telah menerima seruan Nabi. Di antara pemukanya adalah Asal dan Salaman. Dalam menjalankan syari’at Nabi, mereka berbeda pendekatan. Asal lebih tertarik kepada aspek bathin syari’at dan cenderung mentakwilkan secara filosofis dan sufistik, sedangkan Salaman memahami syari’at secara lahiriyah dan tekstual, dan itu didukung oleh masyarakat banyak di pulau itu. Karena adanya perbedaan pendekatan tersebut, merekapun berpisah.
Asal lalu pergi ke pulau lain untuk beruzlah (menyendiri). Tetapi pulau yang di datanginya itu ternyata tempat tinggal Hayy. Setelah keduanya bertemu dan berkomunikasi, Hayy pun dilajarinya bahasa dan merekapun saling berbagi pengalaman. Asal menceritakan kebenaran-kebenaran yang ia peroleh dari wahyu, Sedangkan Hayy menceritakan penemuan akalnya sendiri. Akhirnya, kedua orang tersebut dapat saling menerima penjelasan-penjelasan itu dan memperkuat ajaran agama. Lalu keduanya sepakat untuk pergi ke pulau yang di diami oleh Salaman untuk mengajarkan rahasia kehidupan sejati kepada penduduknya.
Kedatangan Hayy dan Asal mula-mula mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Namun, ketika mereka mendakwahkan keyakinan suci mereka, penduduk menolaknya dan menganggapnya sesat, karena telah mapan dengan pemahaman zahir nash wahyu. Dengan berat hati merekapun kembali lagi ke pulau yang dulu dihuni oleh Hayy. Disana keduanya melanjutkan kontemplasi terhadap Tuhan dengan cara masing-masing sampai datang kematian menjemput mereka.


Filsafat Ibn Sina
Dari ringkasan isi cerita tersebut dan penggunaan rumusan-rumusan di baliknya, sebenarnya ada beberapa hal menarik, yang dicoba ingin disampaikan oleh Ibn Thufail dan juga ini dapat kita sebut sebagai gambaran umum tentang filsafatnya.
1. Pertama, bahwa filsafat (akal) dapat berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang sudah maju.
2. Dengan filsafat, manusia juga mampu untuk sampai kepada Tuhan. Walaupun begitu jalan yang ditempuh agama sebenarnya lebih praktis dan ekonomis untuk menuntun secara langsung keselamatan manusia dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai untuk makrifat akan Allah. Namun untuk amal kehidupan manusia sendiri, filsafat itu terlalu ideal dan teoritis.
3. Agama pada asasnya sesuai dengan alam pikiran atau melalui jalan filsafat. Dengan akalnya (filsafat), manusia juga akan dapat menyelami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan agama.
Cerita ini mampu memecahkan problem yang ditimbulkan oleh pertentangan antara filsafat dan agama, akal dan iman, serta mencoba menyesuaikan antara kedua pertentangan tersebut, sekaligus –– seperti halnya Hayy –– menyadari bahwa kebenaran memiliki dua wajah, yakni internal dan eksternal.

Tidak ada komentar: