Rabu, 26 Maret 2008

4 prinsip dasar etika

4 prinsip dasar etika
Eddy Suranta

1. Prinsip kehendak baik
prinsip ini merupakan prinsip yang paling dasariah. tindakan dikatakan tindakan yang etis apabila dimulai dari kehendak yang baik. kehendak baik bermuara dari hati. sifatnya batiniah tapi menjadi muara dari tindakan yang baik.

2. Prinsip tidak melakukan yang jahat
sering kita mendengar ungkapan "kalau tidak mampu memperbaiki jangan merusak." artinya kalau kita belum mampu melakukan kebaikan terhadap orang lain setidaknya kita jangan melakukan yang buruk terhadap orang lain. prinsip ini mengatakan bahwa kita jangan melakukan suatu keburukan pada orang lain.

3. Prinsip melakukan yang baik
lebih dari tidak melakukan yang jahat adalah melakukan yang baik. sifat prinsip ini sudah lebih positif dari prinsip nomor dua. melakukan kebaikan menjadi satu wujud konkrit tindakan moral.

4. Prinsip melakukan keadilan
ketiga prisnsip tersebut harus didukung oleh prinsip keempat ini yakni tindakan yang berkeadilan. ketiga prinsip di atas tidak cukup karena dalam praktiknya nanti justeru bisa merugikan manusia lain ketika satu tindakan hanya didasari ketiga prinsip di atas.

Sabtu, 22 Maret 2008

pertanyaan-pertanyaan seputar filsafat


Pertanyaan-pertanyaan Filsafat

Eddy Suranta


1. Apakah filsafat hanya berkaitan dengan hal-hal abstrak yang tidak mengena pada masalah-masalah kehidupan konkrit? Mengapa?
Jawab.
Pernahkah Anda mendengar istilah modern, posmodern? Rasanya term tersebut sudah akrab di telinga kita. Bahkan karena akrabnya, kita dengan gampang mengatakan zaman modern. Pernahkah anda membayangkan bahwa term zaman modern adalah produk dari para pemikir yang dalam istilah teknisnya produk para filsuf, si ahli filsafat.
Dahulu, sebelum ilmu kedokteran maju seperti sekarang yang sudah punya berbagai jenis spesialisasi dalam bidang kedokteran, para ahli filsafat sudah berpikir tentang manusia. Mereka memikirkan dan merenungkan tentang banyak hal dari manusia, termasuk berpikir tentang tubuh manusia dan tentu saja hakekat manusia.
Kembali ke pertanyaan anda. Apakah filsafat hanya berkaitan dengan hal-hal abstrak. Dua paragraf di atas memberi gambaran bahwa filsafat bukan hanya berkaitan dengan hal-hal abstrak. Alasannya karena objek materi, atau bidang pembahasan filsafat adalah semua yang ada di dunia. Apa artinya semua yang ada. Jelas “yang ada” merujuk pada apa yang ada di dunia (dan alam semesta).
Mari kita lihat contoh konkrit berikut ini yaitu manusia. Ketika psikolog mempelajari manusia maka ia akan mempelajari kejiwaan manusia, ahli sosiologi mempelajari interaksi dan dinamika manusia, seorang dokter akan mempelajari tubuh manusia dalam hubungannya dengan kesehatan, dan seorang ahli filsafat akan mempelajari/mencari makna terdalam dari manusia itu. Objek matreial/bahan pelajarannya manusia tapi cara mempelajari (istilah teknisnya objek formal/paradigma) berbeda antara seorang psikolog, ekonom, dokter dan filsuf. Jadi fungsi pertama filsafat adalah mencari makna terdalam dari sesuatu yang ada di dunia.
Fungsi kedua adalah sebagai perintis. Anda pernah dengar kan bahwa filsafat itu adalah induk dari segala ilmu. Mengapa dikatakan demikian? Sebelum ada spesialisasi ilmu seperti sekarang yang ada hanyalah filsafat. Filsafat mempelajari semua yang ada di dunia. Kita lihat contoh berikut: sebelum ilmu luar angkasa berkembang yang ada hanyalah para ahli filsafat alam (filsafat alam=kosmologi). Mereka memikirkan apakah alam semesta ini, apakah bumi pusat alam semesta, apa asal mula alam, apakah bintang itu. Lalu muncullah ilmu astronomi.

Setelah penjelasan panjang yang mungkin menambah kebingunganndu baiklah aku jawab pertanyaandu secara singkat. Filsafat tidak hanya berkaitan dengan hal-hal abstrak karena filsafat mempelajari apa yang ada secara konkrit dialami manusia. Hanya saja filsafat mencari makna terdalam dari realitas itu. Filsafat mempelajari manusia, masyarakat, politik, moral maka muncul filsafat manusia, filsafat sosial, filsafat politik, dan filsafat moral. Apakah manusia itu abstrak, politik itu abstrak san masyarakat itu abstrak?

2. Bisakah berbicara tentang Allah secara rasional dan dalam bahasa model apakah kita berbicara tentang-Nya?
Jawab.
Bisa. Dengan analogi entis. Bahasa modelnya adalah Analogi entis artinya sesuatu hal dijadikan sebagai perbandingan untuk hal lain. Contoh, dalam kitab suci ada dikatakan 1) Allah adalah gunung batuku, 2) Allah adalah gembalaku, 3) Allah adalah penolongku. Ketika si pemazmur mengatakan Allah adalah gembalaku, bukan berarti secara nyata Allah itu gembala tetapi dia “seperti” gembala bagi si pemazmur. Ia menganggap Allah itu seperti gembala yang memberi di kehidupan dan perlindungan. Jadi, dengan analogi entis ini, si pemazmur membandingkan Allah dengan gembala yang ia kena dalam hidup konkrit. Dengan membandingkan berarti tidak semua sama. Unsur yang sama itu membuat ia merasa bahwa Allah adalah gembala.
Tomas Aquinas memberi pengertian yang penting dalam kaitannya dengan analogia entis. Menurutnya, analogia entis memungkinkan manusia dapat memiliki pengertian-pengertian yang seimbang tentang Allah dengan berangkat dari realitas ada (segala realitas di dunia).
Tomas Aquinas terkenal dengan pemikirannya yang membuktikan adanya Allah lewat lima jalan. Thomas Aquinas berusaha membuktikan pada manusia bahwa Allah sungguh ada. Ia membuktikan adanya Allah melalui pengalaman-pengalaman yang sungguh ada dan dialami oleh manusia secara langsung. Ini murni berdasarkan penalaran akal budi. Kelima jalan itu adalah:
1. Bukti dari gerak yang ada di dunia jasmani ini
Sebagaimana suatu sebab dapat diketahui paling tidak sebagian melalui akibatnya, demikian pula Kausa Pertama alam semesta dapat diketahui melalui tatanan ciptaan. Setiap gerak di alam selalu memiliki sebab. Segala sesuatu yang bergerak pasti harus digerakkan oleh sesuatu yang lain. Hal ini juga berlaku untuk hal-hal yang menggerakkan dirinya sendiri, karena "hal yang menggerakkan dirinya sendiri" itu pun memiliki sebabnya. Artinya, ia digerakkan oleh sebabnya itu. Gerak dan menggerakkan itu tidak dapat berjalan tanpa batas sampai tak terhingga. Harus ada penggerak pertama. Penyebab atau penggerak pertama itu adalah Allah.
2. Bukti dari tertib sebab-sebab yang berdayaguna
Di dalam dunia yang diamati ini, tidak pernah ada sesuatu yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena seandainya hal itu ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin. Oleh karena itu, semua sebab yang berdayaguna menghasilkan sesuatu yang lain. Mengingat bahwa sebab yang berdayaguna itu juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya, kesimpulannya harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Sebab berdayaguna yang pertama itu adalah Allah.
3. Bukti dari keniscayaan segala sesuatu di dunia ini
Segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat saja tidak ada. Jadi, pada saat ini juga bisa jadi tidak ada sesuatu. Padahal, apa yang tidak ada hanya dapat mulai berada jika diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jika segala sesuatu yang di dunia ini hanya mewujudkan kemungkinan saja, "ada" yang terakhir harus mewujudkan suatu keharusan (keniscayaan). Hal yang mewujudkan sesuatu keniscayaan ini ini "ada-nya" dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain atau memang berada sendiri. Seandainya ia disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah.
4. Bukti dari derajat-derajat dalam perwujudan nilai
Di dunia ini ada hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang adil, benar, dst. Untuk menentukan derajat kebaikan, keadilan, dst tersebut kita mengukurnya dengan memakai yang terbaik, yang paling adil, dst sebagai ukurannya. Jadi, adanya yang terbaik diharuskan oleh karena adanya yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, adil, benar, mulia, dst. Yang menyebabkan semua itu adalah Allah.
5. Bukti dari finalitas (keterarahan pada akhir dan tujuannya)
Di dunia ini segala sesuatu yang tidak berakal berbuat menuju kepada akhirnya. Ini tampak dari cara hal-hal tak berakal itu berbuat, yaitu selalu dengan cara yang sama untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Jadi memang tidak secara kebetulanlah bahwa semua itu mencapai akhirnya. Mereka memang dibuat begitu. Yang tak berakal itu tidak mungkin bergerak menuju akhirnya jika tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal, berpengetahuan. Inilah Allah.
Kelima bukti tersebut dapat menunjukkan bahwa Allah itu ada, bahwa ada suatu Tokoh yang menyebabkan segala sesuatu dan yang berada karena diri-Nya sendiri.

Catatan! Para teolog dan ahli spiritual tentu kurang sepaham. Memang dari iman akan Allah bukan hanya menyentuh aspek rasional atau akal budi tapi juga perasaan. Tapi pertanyaan tadi sudah terjawab bahwa kita bisa berbicara tentang Allah secara rasional.

Jumat, 21 Maret 2008

utilitarianisme


UTILITARIANISME

Eddy Suranta

1. PENGERTIAN
Utilitarianisme adalah paham atau aliran dalam filsafat moral yang menenkankan prinsip manfaat atau kegunaan (the principle of utility) sebagai prinsip moral yang paling dasariah. Etika utilitarianisme menganggap bahwa sesuatu itu dapat dijadikan sebagai norma moral kalau sesuatu itu berguna. Kegunaan atau manfaat suatu tindakan menjadi ukuran normatif.

2. CIRI-CIRI UTILITARIANISME
1. Kritis.
Utilitarianime berpandangan bahwa kita tidak bisa begitu saja menerima norma moral yang ada. Utilitarianisme mempertanyakan norma itu. Sebagai contoh, seks sebelum nikah. Bagi penganut utilitarianisme, seks sebelum nikah itu belum tentu buruk. Harus dianalisis dulu apakah kegunaan seks pra nikah itu. Apakah akibat baik yang ditimbulkan seks pra nikah itu lebih besar daripada akibat buruknya. Kalau akibat baiknya lebih besar maka seks pra nikah itu bukan saja tidak dapat dilarang tetapi wajib dilakukan. Kalau akibat buruk seks pra nikah itu lebih besar maka seks pra nikah itu wajib dilarang.

2. Rasional.
Utilitarianisme tidak menerima saja norma moral yang ada. Ia mempertanyakan dan ini mengandaikan peran rasio. Utilitarianisme ini bersifat rasional karena ia mempertanyakan suatu tindkan apakah berguna atau tidak. Dalam kasus seks pra nikah tadi, utilitarianisme mempertanyakan sebab-sebab seks pra nikah dilarang.

3. Teleologis.
Utilitarianisme itu bersifat teleologis karena suatu tindakan itu dipandang baik dari tujuannya. Artinya suatu tindakan itu mempunyai tujuan dalam dirinya sehingga dapat dipandang baik.

4. Universalis.
Semboyan yang terkenal dari utilitarianisme adalah sesuatu itu dianggap baik kalau dia memberi kegunaaan yang besar bagi banyak orang. Hal ini sering dipakai dalam bidang politik dan negara. Contoh, di kota A akan dibangun jalan tol karena itu beberapa rumah akan kena gusur. Dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar dan kepentingan orang banyak, pemerintah akan meminta mereka yang rumahnya kena gusur agar pindah. Tindakan menggusur ini dianggap benar karena penggusuran itu dilakukan demi kepentingan yang lebih besar dibandingka kepentingan mereka yang rumahnya digusur.

3. DUA MACAM TEORI UTILITARIANISME
1. Utilitarianisme Tindakan.
Suatu tindakan itu dianggap baik kalau tindakan itu membawa akibat yang menguntungkan.
2. Utilitarianisme Peraturan.
Teori ini merupakan perbaikan dari utilitarianisme tindakan. Sesuatu itu dipandang baik kalau ia berguna dan tidak melanggar peraturan yang ada.

4. TANGGAPAN KRITIS
1. Kesulitan Menentukan Nilai Suatu Akibat.
Mengikuti etika normatif utilitarianisme kita tentu tidak mudah menetukan mana akibat lebih baik (lebih berguna) dari beberapa tindakan. Dalam kehidupan kita kita seringkali berhadapan dengan berbagai pilihan. Contoh, pergi ke sekolah, mengunjungi anggota keluarga yang sakit, makan mie pangsit. Kita sulit menetukan mana lebih baik pergi ke sekolah atau mengunjungi keluarga yang sakit. Makan mie pangsit tentu membuat kita merasa kenyang apalagi bagi orang yang suka mie pangsit, tindakan makan mie pangsit tentu sangat berguna karena memberi kepuasan. Pergi ke sekolah akan membuat kita bisa pintar. Sekarang bagaimana mentukan akibat yang lebih baik dari tindakan tersebut? Inilah kelemahan pertama etika normatif utilitarianisme ini.

2. Bertentangan dengan Prinsip Keadilan
Kelemahan kedua dari teori utilitarianisme ini adalah teori ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh, karena pembangunan jalan tol, pemerintah dengan mudah mengusir keluarga Sukribo. Alasan yang diberikan adalah membangun jalan tol lebih berguna daripada membiarkan rumah Pak Sukribo tidak dibongkar. Alasan ini tampaknya masuk akal. Akan tetapi alasan ini bertentangan dengan keadilan. Adalah tidak boleh mengorbankan manusia demi kepentingan manusia lain. Dengan prinsip utilitarianisme pemerintah gampang saja mengadakan penggusuran dengan alasan demi kepentingan umum. Di sini kemanusiaan orang yang digusur dikorbankan. Hal inilah yang bertentangan dengan prinsip keadilan yakni mengorbankan manusia.

Kamis, 20 Maret 2008

kebahagiaan

manusia mencapai kebahagiaan yang sejati kalau ia mengembangkan apa yang paling luhur dalam dirinya yakni akal budi.
unsur-unsur kebahagiaan menurut Aristoteles
1. unsur batiniah (yang menetukan)
1.1 kebijaksanaan
1.2 hidup berkeutamaan
1.3 Hidup senang

2. Unsur lahiriah (yang mendukung)
2.1 kekayaan
2.2 teman/sahaabt
2.3 nasib baik/keberuntungan
2.4 kesehatan.

Selasa, 18 Maret 2008

mahalnya harga maaf


mahalnya harga maaf

Eddy Suranta

Setelah terpilih menjadi presiden australia, KEvin Rudd memnuhi janjinya untuk meminta maaf kepada suku aborigin, penduduk asli negeri itu yang mengalami banyak penderitaan di masa lampau. dengan terbuka dan rendah hati atas nama pribadi, pemerintah dan negara, Rudd meminta maaf atas dosa-dosa masa lalu kepada para aborogin. suatu langkah yang maju dalam sejarah kemanusiaan. keputusan itu tidaklah mudah dan bukannya tidak mendapat tantangan dan sindiran. sekian lama dan sudah berapa Perdana Menteri yang memimpin Australi tapi baru sekarang seorang kepala pemerintahan meminta maaf. ia bahkan dicibir para pendahulunya. dan mantan perdanan menteri itu tidak mau menghadiri acara tersebut.

Terlepas dari suka atau tidak suka terhadap australia, Rudd telah membuka langkah maju dan membuka mata kita betapa pemimpin negara bisa keliru. pemerintah bisa berbuat salah terhadap rakyatnya. pemerintah yang juga manusia mesti sadar dan terbuka mengakui semua itu.

sejarah Indonesia merupakan sejarah panjang. sebelum kemerdekaan banyak rintangan dan tantangan yang dihadapi. dan atas kompromi para pendiri bangsa jadilah negara Indonesia. sesudah kemerdekaan, berbagai persoalan muncul. salah satu persoalan itu adalah adanya ketidakpuasan daerah-daerah atas pemerintah pusat. selain itu ada kekecewaan kelompok masyarakat terhadap pemerintah. sebut saja daerah Sumatera TImur, Aceh, Papua, dan Timor-Timur. untuk yang terakhir, daerah ini telah merdeka. Aceh untuk sementara ini kembali dalam situasi tenang menyusul kekepakatan damai dengan catatan khsusus atau otonomi khusus. papua meski sudah mendapat otonomi yang luas masih tetap bergejolak. kasus Tanjung Priok dan Tri Sakti adalah contoh lain dari kekecewaan masyrakat terhadap pemerintah.

dan tidak dapat dipungkiri setiap peristiwa dan kejadian di daerah dan di tempat ini banyak manusia yang menjadi korban. selain itu sebut juga kasus Gerakan tiga puluh september dan akibat lanjutannya yang mengakibatkan hampir setengah juta manusia indonesia menjadi korban. mereka itu adalah manusia, persisnya manusia indonesia.

dan atas semua itu tidak ada yang bertanggung jawab, tidak ada yang meminta maaf. sungguh maaf di negeri ini sungguh mahal. demi kepuasan dan aturan yang berasal dari mana nyawa bisa melayang. sungguh ironis, bangsa kita yag dikenal ramah ternyata menyimpan banyak kekejaman. sungguh tidak terlihat sedikit pun rasa penyesalan di hati para pemimpin melihat banyak korban itu. dengan dalih kesatuan negara mereka dengan semena-mena menangkap, menyiksa dan membunuh orang. dan semuanya itu misterius sama seperti kasus penembakan misterius di dekade 70-an yang tidak pernah jelas. sungguh harga sebuah maaf terlalu mahal.

bila maaf ini sungguh mahal maka akan banyak dendan dan ketidakpuasan yang tersimpan. ia beranak pinak dan akan siap meledak sewaktu-waktu. kita butuh rekonsiliasi dan ini harus dimulai oleh mereka yang memimpin negara ini. mereka mesti menjadi inspirator dan motivator rekonsiliasi itu. maaf adalah satu langkah awal yang sangat menentukan dalam membangun kembali bangsa ini. bangsa kita yang majemuk ini sangat membutuhkan maaf ini. maaf akan menjadi matera yang indah mewujudkan indonesia yang bermartabat. maaf janganlah menjdai barang mahal seperti mahalnya haraga kebutuhan poko......k.

Senin, 17 Maret 2008

aku dan lumpur lapindo


lumpur lapindo

Eddy Suranta

Bulan Juli 2006, kurang lebih dua bulan setelah semburan pertama muncul. aku pertama kali melintas di dekat lumpur lapindo. waktu itu semburan masih kecil dan lahan yang digenangi lumpur masih hitungan hektar, jalan tol masih bisa digunakan.

Beberapa bulan kemudian aku dari Malang menuju Surabaya. Jalan Tol sudah ditinggikan, daerah sekitar semburan sudah dibuat kolam. tidak lama kemudian Jalan Tol yang sebelumnya melewati daerah semburan ditutup untuk selamanya. pernah juga rombongan kami singgah di situ yang dijadikan tempat wisata. masuk bayar Rp. 2000,- ke dekat sumber semburan bayar Rp 10000 naik ojek, parkir mobil Rp. 5000. ada juga yang menjual VCD seputar lapindo. karena iba aku membelinya meski uang di kantongku sudah menipis. makluk mahasiswa. selanjutnya aku berkali-kali ke Surabaya. semakin hari, tembok kolam semburan lapindi makin tinggi. rumah-rumah sudah banyak yang hilang, lintasan kereta api berkali-kali harus diperbaiki. setiap hujan turun kecemasan-demi kecemasan muncul.

pernah, satu kali kami mau ke surabaya. dari berbagai berita media cetak dan elektronik kami dengar bahwa jalan malang-surabaya tidak bisa dilalui. kami menunda keberangkatan dan acara di surabaya dibatalkan.

sekarang setiap mau ke Surabaya dan sebaliknya, pikiran pertama yang muncul adalah Mbak Lusi alias Lumpur Sidoarjo. pusing................

dan setiap kali aku lewat ada berbagai pertanyaan muncul........dan aku tidak menemukan jawaban....aku juga bingung harus tanya ke mana.

setiap kali kulihat tembok yang makin tinggi aku bertanya dalam hati: Sampai Kapan?

akhirnya untuk saat ini aku membayangkan ribuan wajah kuyu, tak berdaya, memelas, menahan amarah, menanggung beban berat, wajah bayi-bayi tak tak bersalah namun harus menahan semua derita itu. seorang ibu muda dan bayinya terduduk lesu dengan tatapan kosong. di pinggir jalan seorang bapak tua memandangi bekas rumahnya yang tinggal tembok. ia meratapi, betul sungguh meratap.

setiap kali aku lewat, kulihat tembok itu makin tinggi yang katanya sudah memindahkan beberapa bukit....aku hanya bisa terdiam...kelu...

dan aku katakan, aku yang tidak menanggung beban langsung sungguh merasa teriris dan terluka.....aku merasa tak sanggup mendengar ratapan mereka yang menajdi korban lapindo. makin tak sanggup ketika penderitaan dan ratapan mereka tertahan tembok-tembok kekuasaan dan kekayaan segelintir orang, sedangkan tembok-tembok di kolam lapindo siap mengancam.....

setiap kali aku lewat...................
lewattttttttt.....

Minggu, 16 Maret 2008

Otonomi Daerah sebagai Peluang Menuju Otonomi Manusia


Otonomi Daerah sebagai Peluang Menuju Otonomi Manusia

Eddy Suranta S.

Beberapa waktu lalu di milis Komunitas Karo hangat dibicarakan mengenai pembentukan pemerintahan baru di Brastagi. Pembentukan pemerintahan kota merupakan suatu usaha untuk memisahkan diri dari kabupatn karo. Ada berbagai tanggapan yang muncul. Ada yang setuju dan ada yang menolak.
Rencana pembentukan Pemkot Brastagi merupakan satu efek dari euphoria otonomi daerah yang digulirkan sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto. Kita bias melihat banyak wilayah/daerah berlomba-lomba membentuk pemerintahan sendiri, baik kabupten maupun kota.
Saya tidak ingin masuk dalam polemik yang beredar saat ini antara pro dan kontra. Saya hanya ingin menggugah kita melihat sejauh mana hakikat OTDA dari sudut pandang yang berbeda dari apa yang dipersoalkan selama in yakni seputar KEKUASAAN.

Otonomi Daerah: Otonomi Manusia dan Peran Budaya Lokal.
Pembicaraan tentang otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah setua negara ini sendiri. Sejak awal disadari bahwa keanekaragaman budaya dan kemajeukan alam menuntut penyelenggaraan negara yang desentralistis . Namun pembicaraan mengenai desentralisasi ini mulai menghangat sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto.
Hal tentu mengundang keheranan karena sejak awal keanekaragaman itu sudah ada, namun yang dibuat adalah sentralisasi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, bahkan pembangunan. Penyebab munculnya sentralisasi ini adalah adanya pemahaman yang kurang tepat terhadap persatuan dan nasionalisme. Terjadilah penyeragaman (uniformitas) hampir di segala bidang kehidupan. Keanekaragaman dan kemajemukan dipandang secara negatif sehingga selalu dicari persamaan dan pada saat yang sama perbedaan diabaikan. Dalam konsep seperti ini muncullah kelompok yang dominan dan berpotensi menekan yang kelompok yang lebih kecil. Karena itu kita tidak heran setelah pemerintahan otoriter tumbang rakyat jatuh pada euforia kebebasan yang tak terkendali. Orang pun ramai-ramai meminta otonomi yang dipahami dengan kebebasan “yang tak terbatas.”
Kembali ke otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan sesuatu yang netral dan bahkan positif. Persolannya adalah ketika ada kelompok tertentu demi kekuasaan menunggangi otonomi daerah demi kepentinggannya menggapai kekusaan itu. Ia atau kelompok ini mengumbar banyak mimpi-mimpi kepada masyarakat. Dengan propaganda yang hebat dan jargon kebebasan mengatur daerah sendiri maka terbuailah masyarakat akan janji itu.
Karena itu bila kita berbicara mengenai otonomi daerah perlu diperhatikan dua hal berikut yakni: 1) manusia menjadi subjek yang otonom dan 2) peran budaya lokal otonomi daerah.

1. Manusia Menjadi Subjek yang Otonomi Daerah
Manusia menjadi subjek yang otonomi mengandaikan masyarakat mengerti bahwa pertama-tama merekalah yang dimaksudkan menjadi otonom dalam pembentukan otonomi daerah. manusia otonom adalah manusia yang mengerti akan hak dan kewajibannya. Setidaknya mereka mengerti bahwa hak mendasar mereka adalah hak untuk hidup, jauh dari segala bentuk ancaman dan intimidasi termasuk dari para penguasa. Mengerti kewajiban merujuk pada tanggung jawab mereka dalam kehidupan bersama.
Manusia menjadi subjek otonomi daerah mengacu pada semua manusia. Otonomi manusia ini tidak dapat diwakilkan kepada para pejabat atau penguasa. Mereka memang punya peran khusus, tapi mereka tidak pernah bisa mewakili otonomitas seluruh rakyat di daerah itu. Akan menjadi fatal kalau otonomitas manusia in direduksi oleh beberapa orang yang menamakn diri pejabat pemerintahan. Mereka tidak akan pernah mampu untuk mewakili keotonoman manusia di daerahnya karena keotonoman itu hak setiap orang.
Untuk mencapai keotonoman manusia ini perlu langkah-langkah yang baik. Masyarakat harus dipersiapkan menuju otonomi daerah. pendidikan adalah jawabanya. Manusia (baca: masyarakat) harus diberi pendidikan yang memampukan mereka menyadari keotonomannya. Mereka adalah subje-subjek otonomi daerah. mereka bukanlah objek otonomi daerah itu.

2. Peran Budaya Lokal dalam Otonomi Daerah
Sejak lama di negara kita, ada indikasi untuk membangun suatu budaya nasional. Hal ini tentu baik. Tapi persoalannya adalah ketika budaya nasional itu hanya diangkat begitu saja dari budaya lokal. Atau dengan menampilkan satu budaya lokal lalu dianggaplah itu sebagai budaya nasional. Dalam kerangka berpikr seperti ini, seringkali yang muncul adalah chauvinisme, bukan budaya nasional. Dan akibat terburuk adalah munculnya satu budaya lokal sebagai simbol budaya nasional. Kemunculan satu budaya lokal sebagai simbol budaya nasional akan mengeksklusi budaya-budaya lokal lain. Karena itu tidak usah heran kalau banyak budaya lokal yang kehilangan hakekatnya.
Pembicaraan mengenai otonomi daerah mau tidak mau harus menyentuk pembicaraan mengenai budaya lokal. Budaya lokal di sini bukanlah sekedar apa yang tradisional dan menjadi kebiasaan. Budaya lokal adalah segala sesuatu yang mengandung kebijaksanaan atau kearifan dari daerah tersebut.
Dalam konteks ini, budaya lokal mendapat perhatian penting. Disamping, aspek sosial-politik, budaya lokal menjadi salah satu penggerak otonomi daerah karena terbukti bahwa seringkali budaya lokal dengan segala kearifannya mampu memberi jawaban bagi persoalan masyarakat. Bukan hanya itu budaya lokal juga menjadi pemersatu gerak langkah pembangunan suatu daerah.
Dalam menempatkan budaya lokal dalam otonomi daerah, kita membutuhkan sikap otonom. Sikap otonom adalah sikap kritis dan kreatif. Kita perlu mengamati secara kritis budaya kita dan mencari di sana kelompok masyarakat yang dipinggirkan. Dan pada saat yang sama kita diajak untuk menggali kekayaan lama dan menciptakan kemungkinan baru di dalam budaya kita berdasarkan gagasan otonomi daerah.

Suatu Catatan Kritis
Kalau kita berbicara mengenai otonomi daerah, katakanlah otonomi daerah untuk Brastagi, sudahkah Brastagi siap? Apakah masyarakat sudah siap? Bagaimana kesiapan budaya masyarakat di sana? Tanpa mengabaikan aspek ekonomi (kekayaan/sumber daya alam), seringkali kegagalan suatu daerah disebabkan ketidaksiapan masyarakat. Ketidaksiapan masyarakat di sini merujuk pada semua elemen-elemen yang ada di daerah itu, termasuk para pejabatnya. Masyarakat biasa tidak siap karena mereka belum sepenuhnya otonom, belum mengerti hak dan kewajiban. Sedangkan para pejabat belum siap karena mereka juga belumlah menjadi pribadi yang otonom, mereka belum bisa mengatur diri (otonom = kemampuan mengatur diri). Mereka masih dikendalikan oleh apa yang disebut dengan harta (kekayaan), gengsi (kesombongan dan pemaksaan kehendak) dan kekuasaan. Ketiga hal inilah yang seringkali mengatur para pejabat, bukan diri mereka sendiri dalam keberadaannya sebagai manusia yang berakal budi.

Sabtu, 15 Maret 2008

Menelaah Sila Ketuhanan dalam MAsyarakat Karo


MENELAAH SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
DALAM RUMAH ADAT KARO

Eddy Suranta

Mengenal sejenak suku Karo

Suku Karo, salah satu subsuku bangsa Batak mendiami daerah Batak bagian utara di Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Orang Karo bertetangga dengan empat suku bangsa lain, yaitu Melayu Sumatera Timur di sebelah utara, Alas disebelah barat, Simalungun di sebelah timur, dan Pakpak di sebelah selatan. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Karo yang berbeda dengan bahasa Batak Toba.
Sebagian besar orang Karo tinggal di tanah Karo, kabupaten Karo. Tanah Karo merupakan kuta kemulihen (kampung asal) bagi orang Karo. Tanah Karo terletak di Propinsi Sumatera Utara. Luasnya 2.127,25 kilometer persegi dengan ibu kota Kaban Jahe. Secara geografis kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Langkat dan Deli serdang di sebelah utara, kabupaten Dairi di sebelah selatan, kabupaten Simalungun di timur, dan propinsi Nangroe Aceh Darussalem di barat.
Dalam perkembangan zaman, masyarakat Karo ikut berkembang. Pembangunan tampak dimana-mana baik fisik maupun pembangunan sumber daya manusia. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga masyarakat Karo lebih senang membangun rumah modern mengikuti model rumah luar Karo. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, desa Peceren, dan beberapa desa lainnya.
Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan atap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture. Suatu rumah adat biasanya dihuni oleh 4-8 keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Jabu merupakan kesatuan ekonomi dalam produksi dan konsumsi makanan yang terpenting dalam organisasi sosial orang Karo.
Rumah adat Karo sebagai peninggalan budaya
Sunoto berpendapat bahwa unsur-unsur Pancasila sudah ada dalam Bangsa Indonesia sendiri, meskipun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. hal ini tampak dalam berbagai adat-istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepecayaan, bangunan, dan kebudayaan Bangsa Indonesia.
Rumah adat Karo adalah salah satu warisan dan peninggalan nenek moyang Bangsa Indonesia. Rumah adat Karo pastilah suatu karya yang besar. Rumah adat Karo bukan hanya sekedar menunjukkan nilai tempat tinggal manusia akan tetapi juga menunjukkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Karo. Hal ini tampak dari proses pembangunan dan kemegahan bangunannya.
Rumah adat Karo adalah salah satu kekayaan budaya Bangsa Indonesia. Sebagai suatu kekayaan budaya bangsa Indonesia, rumah adat Karo pasti juga mencerminkan nilai sila-sila Pancasila. Menelaah rumah adat Karo akan tampaklah nilai sila-sila Pancasila di dalamnya. Salah satu unsur yang tampak menonjol ialah sila KeTuhanan yang Maha Esa.
KeTuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Pada unsur budaya bangsa Indonesia kepercayaan ini menunjukkan bahwa mereka percaya kepada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Pada saat itu mereka belum memiliki konsep tentang Tuhan. Mereka percaya pada kekuatan gaib atau roh-roh. Intinya mereka percaya pada kekuatan yang lebih besar dan pada sesuatu yang mencipta yang dalam istilah agama sekarang dikenal dengan Tuhan. Kercayaan itu tampak dalam bangunan, dongeng, tulisan, dan mitos-mitos. Dalam bentuk bangunan kepercayaan itu ditunjukkan juga lewat bangunan-bangunan suku-suku bangsa Indonesia khususnya bangunan rumah-rumah adat. Rumah adat Karo adalah salah satu bangunan yang menyiratkan kepercayaan suku Karo.
Unsur Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo
Sebelum membangun rumah orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Setelah kesepakatan tercapai, kesepakatan itu disampaikan kepada teman yang membangun rumah. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah.
Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak.
Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah. Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.

Unsur kepercayaan dalam bentuk bangunan rumah adat Karo
Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi.
Struktur bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua Koling.
Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Kesimpulan
Secara formal Pancasila resmi menjadi dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945, akan tetapi unsur-unsur Pancasila sudah ada di Indonesia jauh sebelum Pancaila dijadikan sebagai dasar negara. Unsur-unsur tersebut terdapat di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Unsur-unsur itu tampak dalam budaya, tradisi, adat istiadat, tulisan, bangunan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia kaya akan unsur-unsur pembentuk Pancasila. Unsur-unsur inilah yang menjadi dasar pembentuk Pancasila. Pancasila menjadi produk asli bangsa Indonesia. Pancasila berasal dan bersumber dari bangsa Indonesia. Para perumus Pancasila seperti Soekarno, M.Yamin, dan tokoh-tokoh lain menggali kekayaan Indonesia itu dan merumuskannya. Mereka menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dari unsur-unsur Pancasila yang memang sudah ada di Indonesia.
Suku Karo adalah salah satu suku bangsa di Indonesia. Suku Karo dengan segala kekayaan alam, bangunan, budaya dan tradisinya juga memperkaya bangsa Indonesia. Rumah adat suku Karo dengan segala keunikannya menjadi peninggalan berharga bagi bangsa Indonesia. Rumah adat Karo juga menjadi salah satu peninggalan budaya bagi bangsa Indonesia. Sebagai salah satu peninggalan budaya, rumah adat suku Karo mencerminkan nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Kelima nilai–nilai sila Pancasila tampak dalam proses pembangunan dan dalam bentuk bangunan rumah adat tersebut, akan tetapi dalam tulisan ini hanya nilai sila keTuhanan Yang Maha Esa yang dibahas.









DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: P.T. Cipta Adi Pustaka, 1990.
Panitia Konsultasi Theoligia GBKP. Inti Sari Adat Istiadat Karo, Kaban Jahe: Ulih Saber, 1984.
Sumatera Utara Profil Propinsi Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara,1992.
Sunoto. Mengenal Filsafat Pancasila. Yogyakarta: PT. Hanindita, 1985.
Suptandar, J. Pamudji. “Rumah Adat Suku Karo di Desa Lingga,” Kompas, Minggu, 14 Maret 2004, Hal. 33.

Individu dan Masyarakat Adalah Kesatuan Erat

COOLEY: INDIVIDU DAN MASYARAKAT ADALAH KESATUAN ERAT

Sumber : K.J. Veerger, Realitas Sosial, Jakarta: Gramedia, 1985.

Eddy Suranta

1. Permasalahan
Sejak awal para sosiolog mempunyai pandangan yang berbeda tentang individu dan masyarakat. Beberapa sosiolog memandang adanya wujud atau realitas sendiri dalam masyarakat. Individu hidup untuk masyarakat. Pandangan ini disebut organisisme. Sosiolog lain memandang bahwa masyarakat itu bersifat individualistis. Masyarakat adalah kumpulan individu-individu. Otonomi individu merupakan nilai yang paling penting. Pandangan ini disebut mekanisisme.
Para sosiolog ini memegang teguh pandangan mereka. Mereka tidak melihat adanya relasi antara individu dan masyarakat. Pada akhir abad kesembilan belas beberapa sosiolog menggumuli masalah relasi individu-masyarakat dan mereka memandang bahwa ada relasi timbal balik antara individu dan masyarakat. Charles Horton Cooley (1864-1929), warga Amerika Serikat adalah salah satu sosiolog yang melihat adanya relasi masyarakat dan individu.

2. Pembahasan
Cooley berpandangan bahwa masyarakat dan individu bukan dua realitas yang terpisah, melainkan dua sisi dari realitas yang satu dan sama. Keduanya adalah bagaikan kedua sisi keping uang. Realitas tunggal itu adalah hidup manusia. Hidup itu dapat dipandang dari segi individualitasnya atau dari segi sosialitasnya. Pembedaan antara individualitas dan sosialitasnya dilakukan oleh akal budi manusia. Dalam pikiran, manusia bersifat mendua sedangkan dalam kenyataannya hidup manusia tidak mendua. Individu dan masyarakat saling menghidupi dan saling bergantung sehingga yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. Dengan kata lain, di luar masyarakat, individu tidak mempunyai eksistensi sebagai manusia, sama seperti di luar individu-individu tidak ada masyarakat.
• Alam pikiran bersifat sosial
Alam pikiran manusia menerima isinya dari orang lain. Proses perkembangan kepribadian disebabkan oleh pengalaman dan kontak dengan orang lain. Pada awal hidupnya kesadaran anak kecil masih dalam keadaan melebur menjadi satu dengan lingkungannya, yang dialaminya sebagai arus gambar-gambar atau sumber perangsang entah menyenangkan atau tidak. Akan tetapi gambar atau perangsang itu belum digolongkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda.
Proses diferensiasi ini membutuhkan waktu yang lama. Bayi yang baru lahir misalnya sama sekali asosial dan tanpa kebudayaan. Proses diferensiasi bagi bayi ini dapat dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama, ia mulai memperhatikan bahwa makhluk hidup berubah terus sedangkan benda mati tetap sama dan kurang menarik. Menurut Cooley, mata orang yang hidup memainkan peranan penting.
Tahap kedua, setelah anak berumur satu tahun, ia mampu membedakan antara manusia dan bukan manusia. Akan tetapi pada saat itu ia belum mampu membedakan antara “aku” (ego) dengan “kamu” (alter). Belum ada kesadaran akan identitas pribadi. Pengertian akan “diri aku” akan muncul setelah adanya kontak sosial khususnya dalam situasi konflik.
Pada tahap ketiga, situasi konflik, interaksi, dan kontak sosial dengan orang lain membantu dia menyadari identitasnya. Ia belajar tentang siapakah dia, misalnya dia anak laki-laki atau perempuan. Orang lain dan masyarakat mengatakan kepada “aku baru” itu bahwa ia mempunyai identitas. Lingkungan sosial memberi isi konkret kepada kepribadian dan identitasnya. Sepanjang proses ini “diri aku” dan masyarakat lahir bersama sebagai anak kembar.
Ajaran cooley bahwa perkembangan seluruh alam pikiran anak merupakan proses sosial, diterima dimana-mana oleh sosiologi. Cooley mengumpamakan masyarakat sebagai sebuah looking glass (kaca cermin) yang dipakai oleh orang untuk mengenal siapa dia. Sebagaimana tanpa cermin orang tidak mengenal raut mukanya, demikian juga tanpa masyarakat orang tidak mengenal identitasnya.
• Masyarakat bersifat mental
Masyarakat bagi Cooley adalah sebagai coherence of minds yaitu suatu kebersamaan dan kebersatuan antara banyak alam pikiran yang pada dasarnya searah. Menurut dia, masyarakat ada di dalam kepala para anggotanya dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, dan strukturnya.
Hakekat kehidupan sosial adalah corak mentalnya. Ide-ide menembus ke dalam semua bidang kehidupannya. Di sinilah perbedaan antara perilaku manusia dan binatang. Perilaku manusia berasal dari pikiran dan dilatarbelakangi oleh suatu alam pikiran. Alam pikiran sosial itu telah dibentuk di dalam suasana akrab “kelompok primer.”
Teori Cooley, yang bertitik tolak dari intersubyektivitas manusia menempati kedudukan tengah antara pandangan organisisme dan mekanisme. Di satu pihak masyarakat adalah realitas dan bukan istilah saja, di lain pihak tempat temu masyarakat harus dicari pertama-tama di alam pikiran individu-individu. Tiap-tiap individu membawa dalam kepalanya gambaran dan ide tentang siapakah dia dan orang lain.
Interaksi lahiriah yang berlangsung dalam hidup sehari-hari, mengungkapkan interaksi antara pengertian-pengertian di dalam kepala tiap-tiap orang. Jadi masyarakat bersifat mental. Kelakuan orang ditentukan oleh ide-ide mereka tentang diri mereka dan tentang orang lain.

3. Kesimpulan
1. Cooley memberi pandangan bahwa individu dan masyarakat merupakan kesatuan yang erat dan tidak terpisahkan. Pandangan ini merupakan jalan tengah antara pandangan organisisme dan mekanisisme.
2. Alam pikiran manusia bersifat sosial. Proses perkembangan kepribadian berkembang lewat kontak dengan orang lain. Proses ini melalui tiga tahap. Cooley mengumpamakan masyarakat sebagai looking glass (kaca cermin).
3. Masyarakat bersifat mental. Interaksi lahiriah merupakan ungkapan interaksi pengertian-pengertian di dalam kepala tiap-tiap orang tentang diri mereka dan tentang orang lain.
4. Sebagai kritik, pandangan Cooley mempunyai kekurangan karena memandang manusia seolah-olah pikirannya saja. Padahal manusia adalah pikiran dan tubuhnya.

4. Refleksi
Tidak dapat dipungkiri bahwa arus globalisasi sudah menerpa masyarakat kita. Salah satu pengaruh globalisasi dalam masyarakat Indonesia adalah munculnya semangat individualistis. Hal ini sangat terasa pada masyarakat kita, khususnya pada masyarakat kota.
Munculnya individualisme ini membawa perubahan atas nilai-nilai yang dihayati masyarakat Indonesia yakni nilai-nilai kekeluargaan (kebersamaan). Orang semakin individual dan mengarah pada egoisme. Nilai-nilai kebersamaan mulai hilang. Orang mulai menganggap individu yang terpenting sehingga penghargaan terhadap orang lain mulai luntur. Ini tentu kurang cocok dengan budaya kita yang kental dengan penghargaan terhadap orang lain.
Pemikiran Cooley tentang kesatuan erat antara individu dan masyarakat dapat menjadi jalan tengah atas situasi ini agar masyarakat Indonesia tidak tercabut dari akar budayanya yang kental dengan nilai-nilai kebersamaan (kekeluargaan).

Mistisisme : Suatu Perbandingan antara Tao dan Kristen

MISTISISME
SUATU PERBANDINGAN ANTARA TAO DAN KRISTEN
Eddy Suranta

I. PENDAHULUAN
Mistisisme (mysticism) adalah istilah yang berasal dari agama-agama misteri Yunani, yang oleh pengikutnya diberi nama “mystes.” Mystes adalah orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan. Mistisisme dapat dimengerti sebagai suatu pendekatan spiritual dan nonkondursif kepada persekutuan jiwa dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam. Mistisisme juga dapat berarti keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperoleh melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui akal budi tetapi melalui pengalaman mistik atau intuisi mistik. Mistisisme ini berasal dari pengalaman batin yang tidak terlukiskan, khususnya yang mempunyai ciri religius. Dalam arti paling luas, mistisisme dimengerti sebagai kesatuan mendalam dengan Allah.
Tulisan berikut ini menjabarkan perbandingan mistisisme dalam Taoisme dan Kristen. Pemaparan dimulai dengan mistisisme menurut Tao, lalu mistisisme dalam Kristen dan di bagian penutup relevansi singkat bagi hidup sekarang.

II. MISTISISME TAO DAN MISTISISME KRISTEN
Persamaan Mistisisme Tao dan Kristen
Menurut tradisi, Taoisme berasal dari seorang bernama Lao Tzu. Ia dikabarkan lahir kira-kira tahun 640 SM. Beberapa sarjana mengatakan bahwa ia hidup tiga abad kemudian dari tahun tersebut. Jika memang pernah hidup, kita tidak pernah tahu apa-apa mengenai hidupnya. Lao Tzu dapat diterjemahkan sebagai “putra tua,” “sahabat tua,” atau pun “guru tua.” Gelar ini merupakan bentuk kecintaan dan penghormatan padanya.
Ajaran Lao Tzu tertuang dalam buku Tao Te Ching, yang artinya Buku Mengenai Jalan dan Kebajikannya. Buku ini terdiri dari 81 bab, yang dibagi ke dalam dua bagian: mengenai “Tao,” dan mengenai ‘Te.’ Buku ini sangat terkenal. Ajaran Lao Tze ini mengarah ke hidup mistik.
Mistisisme dalam Tao ini menyangkut aspek transendensi, alam dan juga menyangkut manusia dan aspeknya seperti moral atau etika. Mistisisme Tao ini berperan bagi manusia dalam relasinya dengan alam, sesama, dan realitas tertinggi. Mistisisme ini tampak dalam Tao dan Te.
Bagian pertama buku Tao Te Ching adalah mengenai Tao. Tao artinya jalan. Pada awalnya Tao berarti jalan, kemudian digunakan dalam filsafat untuk menunjuk pada jalan alam, hukum-hukum yang mengatur alam. Tao juga berarti tujuan hidup dan kaidah moral. Menurut Tao, pengalaman mistik itu hasil daya upaya manusia. Mistisisme bukanlah hal yang mudah. Pengalaman mistisisme berarti orang masuk ke dalam suasana hening yang mendalam dan sulit diungkapkan dengan kata-kata karena kata-kata hanya mampu menjaring dan mengungkapkan apa yang dari luar diri manusia.
Ajaran Taoisme mengenai mistisisme haruslah didasarkan pada pengertian mengenai Toa. Tao adalah jalan yang memberi arah, jalan yang mengatasi segala jalan. Tao adalah dasar segala kejadian. Tao adalah dasar segalanya tapi berada di luar dan di atas apa yang terjadi. Dia tidak teserap dalam kejadian itu. Ia melebihi pencipta, mencakup sang pencipta, dia melebihi Tuhan personal. Dia proto personal. Yang Ada ada dalam dia, tetapi dia tidak termasuk Yang Ada sehingga dia disebut “Tidak ada.” Kenyatan terdalam “ada’ dan “tidak” adalah SATU.
Dalam sang SATU ini semua yang ada keluar dan kembali. Hal ini membuat kita bisa mengerti bahwa kenyatan yang bertentangan dapat berada dalam kesatuan dan harmoni di dalam sang SATU. Para pengikut Taoisme menyebut realitas ini sebagai Tao. Dalam konsep lain realitas ini disebut realitas tertinggi, realitas transenden, atau dalam Hinduisme disebut Brahman.
Orang Kristen juga mempunyai pandangan yang sama. Dalam mistisisme kristen, realitas tertinggi ini disebut Allah. orang kisten memandang Allah sebagai sumber segala sesuatu yang di dunia ini. Ia pula yang mencipta dan mengatur tata hidup dan gerak alam semesta dan segala isinya.
Bagian kedua dari buku Tao Te Ching adalah mengenai Te. Te berati kebajikan, daya, karakter, kemapuan, atau prinsip individual. Tao menyangkut juga kebajikan moral, yakni apa yang terkandung di dalam pribadi, yakni apa yang tidak tergantung pada bantuan dari luar diri pribadi. Hal ini khususnya mengacu pada kemurahan hati dan kejujuran yang hakiki bagi manusia. Menurut ajaran Tao, hati yang dipenuhi Tao dapat menembus hati orang yang jahat.
Tao mengajarkan adanya unsur terdalam yang mencakup segala unsur yang transenden, tak dapat diungkap dengan pengertian biasa, dan pengetahuan biasa. Tao hanya bisa dijangkau lewat permenungan mendalam yang ke luar dari pengalaman pasrah. Kepasrahan adalah unsur penting dalam mistisisme. Dengan sikap pasrah ini, hati manusia menjadi lurus dan mencapai kedamaian. Inilah kebijakan Tao yang dikenal dengan Te. Te dapat juga diartikan dengan berjalan lurus ke luar dari hati.
Konsep yang kurang lebih sama dikenal juga dalam mistisisme Kristen. Orang Kristen menyebutnya dengan hati nurani. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapa-Nya menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat.

Perbedaan Mistisisme Tao Dan Kristen
Selain memiliki persamaan, mistisisme Tao dan Kristen juga memiliki perbedaan. Perbedaan pertama mengenai konsep persatuan. Pengalaman mistik adalah pengalaman yang dapat membawa manusia pada persatuan dengan realitas tertinggi. Menurut pandangan ajaran Taoisme, sesorang dapat bersatu dengan Tao (realitas transenden). Persatuan itu adalah persatuan yang utuh, peleburan antara manusia dan Tao. Seseorang yang mencapai pengalaman mistik akan bersatu dengan Tao secara utuh, melebur, dan tak terpisah. Sedangkan menurut pandangan Kristen, seseorang yang mencapai pengalaman mistik akan bersatu dengan Allah. Akan tetapi persatuan ini tidak melebur seperti dalam konsep Tao. Persatuan antara manusia Kristen dengan Allah hanyalah “menempel” pada Allah.
Perbedaan kedua adalah mengenai pribadi. Dalam ajaran Taoisme, Tao itu impersonal. Ia tidak berpribadi. Ia melebihi Tuhan yang personal. Dalam bab pertama kitab Lao Tze, didapat pernyataan: “Tao yang dapat dimuat dengan kata-kata bukanlah Tao yang abadi; nama yang dapat disebut dengan nama bukanlah nama yang kekal....” Sedangkan dalam ajaran Kristen, Allah itu adalah Allah yang mempribadi. Ia adalah Allah yang transenden dan imanen. Ia hadir dalam hidup dan sejarah manusia. Allah itu menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus, orang Nazaret. Dia membawa cinta sebagaimana Ia alami bersama Bapa-Nya. Cinta yang sama pula telah membawa orang pada persatuan erat dengan Dia. Pengalaman mistik Kristen berpusat dan bersumber pada Yesus Kristus.

III. PENUTUP
Dunia sekarang penuh dengan persoalan-persoalan hidup. Persoalan lingkungan, alam, dan manusia. Alam semakin rusak dan salah satu efeknya adalah pemanasan global yang mengancam hidup manusia. Persoalan-persoalan kemanusiaan juga sangat memprihatinkan. Nilai-nilai manusia dan kemanusiaan semakin tidak diperhatikan. Perang menjadi hal yang biasa, padahal perang menyebabkan kerugian yang sangat besar baik nyawa manusia maupun harta benda. Perbedaan menjadi sumber konflik dan perang. Dunia kehilangan hamonisasi dan cinta kasih.
Di tengah situasi seperti ini, sangat dibutuhkan satu spiritualitas yang memperhatikan alam dan manusia. Dari Taoisme kita dapat menggali kembali semangat harmonisasi, menjaga keserasian alam dan ciptaan. Ajaran cinta kasih Kristus mempekokoh semangat ini. Perlu digaungkan kembali nilai-nilai cinta kasih, yang melampaui batas-batas dan sekat-sekat yang ada.
Pengalaman mistik membawa orang pada cinta akan alam, manusia dan Allahnya, yang juga hadir dalam seluruh ciptaan. Pengalaman mistik itu harus ke luar dan mempengaruhi dunia. St. Fransiskus Asisi telah menjadi contoh bagaimana mengkonkretkan pengalaman mistik itu. Semoga kita menjadi pembawa harmoni dan cinta di tengah dunia saat ini!

Ekologi dan Permasalahannya Dewasa Ini

EKOLOGI DAN PERMASALAHANNYA DEWASA INI
Suatu Analisis atas Centesimus Annus art. 37

Eddy Suranta

1. PENDAHULUAN
Ekologi dan ekonomi adalah dua bidang yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia. Ekologi (bahasa Yunani: oikos berarti " rumah" dan logos berarti "sains") adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya. Ilmu ini adalah ilmu baru yang pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel, seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman pada tahun 1866. Ilmu ini lahir dari suatu keprihatinan yang mendalam atas dampak teknologi terhadap lingkungan hidup. Ekonomi (oikos dan nomos) berarti tata-kelola rumah tangga. Dalam perkembangannya istilah ini menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup dan dalam konteks “negara-bangsa” ekonomi adalah seni mengelola sumber daya alam[1].
Persoalan ekologi[2] sekarang ini tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah lokal suatu negara tetapi sudah menjadi persoalan global/dunia. Para ahli percaya dampak rusaknya ekologi membawa dampak besar bagi dunia antara lain munculnya persoalan sulitnya air bersih, persoalan polusi udara, kelaparan dan yang sangat hangat dibicarakan sekarang ini adalah persoalan pemanasan global (global warming) yang berakibat pada perubahan iklim (climate change)[3].
Persoalan ekologi ini tidak luput dari perhatian Gereja. Hal ini tampak dalam beberapa dokumen dokumen ASG seperti Mater et Magistra art. 196-199, Octogesima Adveniens art. 21 dan Centesmis Annus art. 37-38. Tulisan berikut ini mencoba mengulas persoalan ekologi sebagaimana dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus (CA) artikel 37. Disinggung juga persoalan ekologi dalam hubungannya dengan ekonomi. Metode yang digunakan adalah metode umum ASG yaitu See-Judge-Act (Melihat-Menilai-Bertindak).

2. PADANGAN CENTESIMUS ANNUS (CA) ART. 37 MENGENAI PERSOALAN EKOLOGI
2.1 Melihat: Penyebab Kerusakan Ekologi dan Akibatnya
2.1.1 Penyebab Kerusakan Ekologi
Konsumerisme dan pandangan anthropologi yang keliru berperan besar terhadap kerusakan ekologi[4]. Konsumerisme[5] ini merupakan produk dari sistem ekonomi yang bebas (baca: kapitalisme). Banyaknya produksi membuat manusia tergiur untuk mengkonsumsi barang bukan lagi berdasarkan kebutuhan tetapi kepuasan. Di sisi lain semangat konsimerisme ini menimbulkan eksploitasi besar-besaran terhadap alam dan sumber dayanya.

Konsumerisme
Menurut Centesimus Annus (CA) artikel 37, selain konsumerisme, hal yang sangat memprihatinkan saat ini adalah persolan lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup ini juga memang sangat erat kaitannya dengan semangat konsumerisme pada manusia. Manusia lebih ingin memiliki dan menikmati daripada menemukan dan mengembangkan dirinya. Manusia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi. Dalam konteks ini konsumerisme adalah sumber utama kerusakan ekologi.

Kesesatan di Bidang Antropologi
Pengrusakan alam lingkungan ini bertentangan dengan akal budi manusia. Selain itu pengrusakan alam ini juga disebabkan oleh adanya kesesatan di bidang antropologi, yang tersebar luas. Manusia menyadari bahwa ia mampu mengubah dan dalam arti tertentu “menciptakan” dunia. Akan tetapi manusia lupa bahwa kegiatannya itu berasal dari kurnia Allah menurut maksud-Nya semula.
Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan manaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah. Manusia memang dapat mengembangkan bumi, tetapi tidak boleh menghianati tujuan bumi diciptakan. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan Allah.

Kepicikan Pandangan dan Wawasan Manusia terhadap Alam
Penyebab lain kerusakan ekologi adalah kemiskinan atau kepicikan pandangan dan wawasan manusia terhadap alam. Manusia berusaha memiliki harta benda tanpa memandangnya sesuai dengan kebenaran. Manusia kehilangan sikap peka akan keindahan tanpa mementingkan diri, yang berakar dalam rasa kagum akan segala sesuatu yang serba indah. Dalam keindahan itu manusia seharusnya melihat pesan yang disampaikan Allah yang tidak kelihatan, yang menciptakan itu semua.

2.1.2 Akibat Kerusakan Alam dan Tanggung Jawab Manusia
Alam yang seharusnya dikelola dengan baik ternyata malah dirusak oleh manusia. Kerusakan ekologi ini membawa akibat buruk bagi manusia. Kerusakan ekologi membangkitkan pemberontakan alam. Pemberontakan itu tampak dalam berbagai bencana alam yang terjadi misalnya banjir bandang, longsor dan kemarau panjang.
Manusia seharusnya memelihara alam ini untuk diwariskan kepada anak cucu mereka. Akan tetapi kerusakan alam yang disebakan ulah manusia menunjukkan bahwa umat manusia tidak menyadari tugas-kewajibannya terhadap generasi-generasi di masa mendatang. Mereka lupa bahwa alam ini milik bersama termasuk milik generasi sesudah mereka.

2.2 Menilai: Memulihkan Pandangan yang Benar
2.2.1 Latar Belakang Pemikiran
Jika kita menilik secara seksama, ensiklik-ensiklik besar Paus Yohanes Paulus II, kita akan memperoleh kesan bahwa Redemptoris Hominis berbicara tentang manusia dan HAM; Laborem Exercens berbicara tentang sifat kerja insani dan hak-hak kaum buruh; Sollicitudo Rei Socialis berbicara tentang masalah sosial dunia. CA sendiri berbicara tentang aspek-aspek tertentu dalam konteks pertimbangan sistem ekonomi dalam terang ulang tahun RN ke-100.
Melihat keseluruhan dokumen CA, kita dapat memberi kerangka sebagai berikut[6]:
• Introduksi art. 1-3
• Bab I : Ciri-ciri Utama RN (art. 4-11)
• Bab II : Menghadapi Hal-hal Baru Dewasa Ini (art. 12-21)
• Bab III : Tahun 1989 (art. 22-29)
• Bab IV : Kekayaan Pribadi dan Peruntukan Umum Harta Benda (art. 30-43)
• Bab VI : Manusia adalah Jalan Gereja (art. 53-62)
Persolan ekologi dibicarakan dalam art. 37-39. Artikel 37 berbicara mengenai lingkungan hidup alam semesta dan art. 38-39 berbicara mengenai lingkungan hidup manusiawi. Persoalan ekologi ini dibicarakan dalam hubungannya dengan artikel sebelumnya secara khusus mengenai konsumerisme pada art. 36.

2.2.2 Konsumerisme sebagai Dampak Ekonomi dan Kerusakan Ekologi
Konsep ekonomi dan ekologi lebih banyak dipertentangkan daripada digabungkan. Padahal, ekonomi dan ekologi tidak dapat dipisahkan. Keduanya menyentuh oikos, yang artinya dunia yang kita diami, rumah tinggal dan lingkungan kita. Masalah ekonomi menyangkut apa yang kita makan serta pakai. Ekonomi senantiasa memerlukan pengolahan terhadap sumber daya alam yang tersedia[7]. Dalam konteks berbangsa-bernegara, ekonomi ini berhubungan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan. Karena itu, ekonomi selalu memengaruhi ekologi.
Peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi merupakan akibat sistem kapitalisme yang didasarkan pada persaingan bebas. Pengetahuan manusia dan teknologi meningkatkan produksi. Akan tetapi dalam mendistribusikan hasil produksi ini dipakai sistem bebas sehingga yang kuat keluar sebagai pemenang dan boleh mengambil sebanyak-banyaknya (akibatnya adalah kesenjangan ekonomi).
Kegiatan ekonomi dengan produksinya bukan lagi terarah pada kebutuhan-kebutuhan dasariah manusia. Persoalannya bukan hanya sekedar menyediakan kuantitas produksi yang mencukupi, melainkan memenuhi pula tuntutan kualitas: mutu hasil-hasil produksi dan barang-barang untuk dikonsumsi; mutu jasa pelayanan yang dimanfaatkan oleh umum. Lalu muncul pula selera-selera pribadi yang membuat produksi barang semakin mewah dan tidak berdasarkan kebutuhan dasariah. Di sini, muncullah konsumerisme akibat pemujaan yang berlebihan terhadap materi. Konsumerisme ini menjadi penyakit bagi manusia. Sebaliknya, konsumerisme ini mengakibatkan semakin besarnya produksi. Produksi ini mengakibatkan terjadinya eksplorasi besar-besaran terhadap alam yang seringkali mengabaikan ekologi. Terjadi lingkaran setan antara konsumerisme dan produksi besar-besaran (baca: kapitalisme). Dalam konteks ini konsumerisme identik dengan kapitaslisme.

2.2.3 Pandangan Anthropologi yang Benar
Pandangan manusia terhadap alam sangat memengaruhi keadaan alam. Pemahaman anthroposentrik menganggap manusia sebagai pusat. Segala sesuatu yang ada di dunia ini dipahami hanya demi dan untuk manusia. Penciptaan segala sesuatunya sebelum penciptaan manusia pada hari keenam misalnya, dipahami bahwa Allah sudah terlebih dahulu menyiapkan semuanya itu untuk manusia. Di samping itu, penafsiran akan amanat Allah kepada manusia untuk “menaklukkan” dan “berkuasa” (bdk. Kej 1:26-28) sering dipahami sebagai hak istimewa, yang menempatkan manusia sebagai subjek dan ciptaan lain sebagai objek. Manusia memandang alam ini sebagai objek semata dan alam kehilangan kesakralannya.
Terhadap pandangan ini, kita perlu kembali pada pandangan anthropologi yang benar mengenai alam. Penafsiran terhadap teks kejadian ini perlu diluruskan. Perspektif terhadap tafsiran ini (Kej. 1:26-28) haruslah bertolak dari tema hari Sabat, pokok yang mengakhiri cerita penciptaan pertama (Kej 2:1-3). Kej. 1 tidak memuncak pada kisah penciptaan manusia tetapi pada hari Sabat yang dipelihara Allah. Ketegangan antara manusia dan ciptaan lain (alam semesta) hanya dapat diatasi dari sudut pandang teosentris yang mencirikan Kej. 1 dalam hubungannya dengan Sabat. Bagi umat Israel, Sabat mengandung makna ekologis yang mendalam. Bukan hanya manusia yang berhenti bekerja tetapi juga hewan harus diistirahatkan (Ul. 5:14), bahkan tanah pun perlu diistrahatkan pada tahun ketujuh agar daya kesuburannya dipulihkan[8].
Kej. 1 memberi sumbangan besar untuk membangun pandangan yang benar mengenai alam. Kita disadarkan bahwa kita bersama alam adalah karya ciptaan Allah. Bukan manusia, tetapi Allahlah yang tertinggi di dunia, awal dan akhir, asal dan tujuan ciptaan. inilah pesan aktual bagi manusia modern yang menempatkan dirinya sebagai pusat segalanya dan membawa kerugian kepada lingkungan hidupnya. Kita, manusia sebagai gambar Allah bertanggung jawab mengurus dan mengusahakan alam sebagai citra Allah di dunia[9].

2.2.4 Alam Warisan bagi Anak Cucu
Persoalan mendasar mengenai alam dan generasi mendatang adalah sejauh mana kita bertanggung jawab terhadap generasi mendatang berkaitan dengan keadaan alam ini. Ada dua pendapat yang bertentangan. Pendapat pertama mengatakan bahwa kita tidak tahu persis kebutuhan generasi mendatang berkaitan dengan alam dan bisa jadi masalah-masalah ekologi sekarang sudah mendapat jalan solusi pada masa mendatang. Dengan demikian kita tidak bertanggung jawab langsung terhadap mereka berkenaan dengan situasi ekologi sekarang.
Pendapat kedua mengatakan bahwa dengan melihat situasi sekarang kita sudah bisa tahu apa yang dibutuhkan oleh generasi mendatang. Alam adalah tempat kita hidup dan mengembangkan diri (beranak cucu). Alam yang sama akan dipakai oleh generasi mendatang. Alam sekarang ini hanyalah titipan dari generasi mendatang sebagai mana kita menerima alam ini sebagai warisan dari generasi sebelum kita. Kita bertanggung jawab secara moral (langsung) atas apa yang kita buat saat ini dan akibatnya di masa mendatang. Alangkah jahatnya kita bila meninggalkan alam yang rusak dan tidak layak lagi bagi kehidupan generasi mendatang.
Persoalan mengenai alam sekarang tidak perlu disibukkan oleh persoalan apakah kita bertangung jawab atau tidak. Persoalannya hanya satu dan kita jawab dengan tegas: kita bertanggung jawab terhadap generasi mendatang. Sebagaimana setiap orang tua ingin mewarisi harta terbaik bagi anak cucunya, demikian pula kita bertanggung jawab mewarisi alam ini terhadap generasi mendatang. Alam dan kekayaannyanya hanyalah titipan anak-cucu. Dalam terang CA, kita bisa mengatakan bahwa kita adalah keluarga manusia, anak-anak Allah.

2.3 Bertindak: Langkah-langkah dan Tindakan yang Berguna bagi ekologi
Persoalan ekologi saat ini sudah mencapai tahap yang memprihatinkan. Kerusakan ekologi menyebabkan banyak pemberontakan alam[10]. Banjir bandang, longsor, dan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan merupakan akibat dari kerusakan ekologi. Karena itu perlu diambil sikap dan tindakan yang bijaksana untuk mengatasi persoalan ini.
Gereja hendaknya mempedulikan perusakan lingkungan hidup yang semakin meprihatinkan, sebagai dampak negatif pembangunan. Di Indonesia, gejala ini terutama tampak pada penebangan hutan yang berlebihan (persoalan ini sangat mencuat di Kalimantan dan Sumatera), pembuangan limbah beracun oleh pabrik-pabrik, eksploitasi alam yang tidak memperhatikan lingkungan seperti kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Gereja juga hendaknya mendorong pelaku perubahan seperti pemerintah, pengusaha, lembaga-lembaga keagamaan lain, perguruan tinggi, LSM/LPSM, Ormas, Orpol, keluarga dan individu untuk melakukan tindakan yang pro ekologi. Bila perlu, Gereja harus siap melakukan perlawanan demi terciptanya “rumah tangga” yang nyaman dan aman bagi kehidupan[11].
Tindakan-tindakan konkrit berikut ini adalah tawaran untuk mendukung lingkungan yang lebih baik.
1. Hidup dengan dasar kebutuhan, bukan ketamakan. Bagian doa Bapa kami, “berikanlah kepada kami pada hari makanan kami yang secukupnya” mengajak kita untuk menghindarkan diri dari materialisme dan konsumerisme.
2. Menangani limbah rumah tangga dan sampah secara baik. Pisahkan sampah organik dan non-organik, lalu lakukan daur ulang sesuai jenisnya. Berbelanjalah dengan keranjang, bukan plastik; menggunaan kertas di kantor, kampus, pelatihan, lokakarya sehemat mungkin.
3. Menggunakan air secara hemat, misalnya memperbaiki kran air yang rusak, tidak membiarkan kran air terbuka waktu menyikat gigi. Menjaga keadaan sungai, danau dan laut agar tetap baik dan bersih.
4. Menanam dan merawat pohon di pekarangan rumah, di pinggir jalan, komplek Gereja dan biara. Setiap pohon merupakan sumbangan berharga bagi lingkungan.
5. Menggunakan kendaraan yang layak pakai (tidak mengeluarkan polusi melewati ambang ambang batas). Sebaiknya menggunakan sepeda bila memungkinkan. Selain berguna untuk kesehatan, berseda juga menghemat energi yang berasal dari sumber daya alam.


3. PENUTUP
Persoalan ekologi sekarang ini merupakan perosalan serius. Ekologi tidak bisa dipandang terpisah dari aspek hidup manusia lainnya. CA melihat bahwa ekonomi bebas dalam hal ini konsumerisme sebagai akibat kapitalisme membawa pengaruh besar bagi kerusakan ekologi. Kerusakan ekologi ini mengancam kehidupan manusia. Karena itu dokumen ini menyerukan perlunya memperhatikan lingkungan hidup.
Persoalan ekologi ini juga sudah sampai pada tahap krisis. Eksploitasi sumber daya alam besar-besaran pleh para pemilik modal bukan hanya merusak lingkungan tetapi juga memicu perubahan sosial. Sebagai contoh, penambangan emas di Freeport. Meskipun, ditangani dengan teknologi canggih, para ahli lingkungan tetap melihat dampak buruknya bagi lingkungan. Penambangan ini juga memicu hilangnya “budaya” penduduk sekitar. Mereka dipaksa hidup dalam dalam budaya modern sedangkan pola pikir mereka masih tradisional.
Persoalan ekologi sudah menjadi persoalan sosial. Akibat-akibat kerusakan ekologi telah mengancam kehidupan dan kedamaian di dunia. Dalam konteks ini, penganugerahan hadiah nobel perdamaian bagi aktivis lingkungan, sangat relevan. Perdamaian bukan lagi soal tidak adanya perang. Perdamaian adalah soal bagaimana kita mengatasi benih-benih pertikaian, konflik dan pemberontakan alam akibat ulah manusia. Masalah ekologi adalah masalah kita saat ini. Mari kita atasi bersama untuk mencapai dunia yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991. terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI. 2005.
Banawiratma, SJ, dkk (ed). Iman Ekonomi & Ekologi. Yogyakarta: Kanisius. 1996.
KPKC, Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Kristiyanto, Eddy, Diskursus Sosial Gereja, Malang: Dioma. 2003.
Nota Pastoral KWI Tahun 2006. Habitus Baru: Ekonomi yang berkeadilan.
Kompas, 15 Desember 2007, Nobel Perdamaian Mengundang Kontroversi
Pareira, Berthold A. Guido Tisera, dan Martin Harun. Keadilan, Perdamaian & Keutuhan Ciptaan. Jakarta: LBI. 2007.

[1] Bdk. Nota Pastoral 2006, Habitus Baru: Ekonomi yang berkeadilan, art. 4.
[2] Dalam tulisan ini, kata “ekologi” dan “alam/lingkungan hidup” akan dipakai secara sinonim.
[3] Perubahan iklim menjadi isu global setelah Al-Gore, aktivis lingkungan hidup (perubahan iklim) mendapat hadiah nobel. Ketika muncul kontroversi berkaitan dengan penganugerahan hadiah nobel ini, Martin Taylor dari Royal Society, akademi sains Inggris memberi pernyataan yang positif. Ia mengatakan: "Perubahan iklim merupakan satu isu paling signifikan saat ini dan satu yang berdampak besar bagi keamanan global, begitu juga kesehatan manusia, kesejahteraan, dan hidup baik."(Nobel Perdamaian Mengundang Kontroversi, Kompas, 15 Oktober 2007). Pada 3-14 Desember 2007 berlangsung UN Climate Change Conference di Bali, Indonesia yang membahas persoalan pemanasan global/perubahan iklim (Kompas, 3 Desember 2007).
[4] Bdk. Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja, Malang: Dioma, 2003, hlm. 202.
[5] Konsumerisme adalah pola perilaku atau tindakan bahkan pola pikir yang memperlihatkan orang melakukan pembelian barang, bukan lagi didorong oleh kebutuhan akan barang itu, melainkan didorong oleh rasa ingin memenuhi kepuasan dan kesenangan. Ibid. hlm. 207.
[6] Ibid. hlm 210.
[7] Banawiratma, SJ, dkk., Iman Ekonomi & Ekologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 5.
[8] Berthold A. Pareira, Guido Tisera, Martin Harun, Keadilan, Perdamaian & Keutuhan Ciptaan, Jakarta: LBI, 2007, hlm. 134-135.
[9] Ibid. hlm. 136-137.
[10] Istilah pemberontakan alam lebih menunjukkan reaksi alam atas tindakan manusia yang tidak memperlakukan alam dengan semestinya. Istilah bencana alam kurang kuat menunjukkan reaksi alam tetapi lebih pada gejala alami alam.

Perkembangan Teistik


PERKEMBANGAN TEISTIK

Eddy suranta

Pada bab sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana Filsuf-filsuf Veda menyatakan realitas tertinggi (Brahman) dalam istilah yang abstrak. Shankara mengajarkan realitas tertinggi tersebut sebagai nondualisme absolut (adwaita), Ramanuja mengajarkan realitas tertinggi adalah nondualisme (wisiatadwaita), tetapi dengan sedikit perbedaan, dan Madhva mengajarkan realitas tertinggi sebagai dualisme (dwaita). Mereka semua tahu bahwa Brahman sebagai realitas tertinggi tidak dapat didefinisikan secara literer. Hal ini dapat didekati secara konseptual dengan menggambarkannya dalam istilah yang sangat sempurna yang dapat dibayangkan. Akan tetapi karena Brahman melampaui konsep, pada akhirnya sifat tertinggi ini pun yaitu-ada, pengetahuan dan kebahagiaan-harus disangkal. Hal ini terkenal sebagai jalan pengingkaran, karakter yang dalam tradisi India dikenal sebagai Neti, neti, sebuah ekspresi yang secara literer berarti tak terhingga, tidak terhingga. Neti, neti menerangi pemahaman filosofis secara jelas bahwa Brahman tidak dapat dirangkum dalam term konseptual.
Realitas pun dapat didekati dengan cara nonkonseptual. Pemikir India memikirkan Brahman secara personal dan juga secara konseptual, dengan term-term, menggunakan pembagian besar dari perbandingan sensual dalam proses. Pengalaman inderawi merangsang perasaan dan iman seperti pemikiran-pemikiran, dan India menjunjung pemahaman religius ini setinggi pemahaman tercapai melalui pemikiran yang abstrak. Pemahaman religius ini bersiafat aktif, membawa seseorang mendekati atau menjauhi realitas dalam bentuk konkretnya. Dengan pendekatan ini, pengetahuan, kebahagiaan, dan keberadaan Brahman digambarkan dengan abstrak, mempunyai tubuh dan personalitas, sebagai Tuhan yang dapat dicintai, dilihat, dan disembah.
Dalam Bhagavad Gita, Krisna sebagai inkarnasi Tuhan Wisnu, yang tampak sebagai sais (pengendara kereta perang) Arjuna, menegaskan bahwa ia sungguh realitas tertinggi Brahman. Para pemuja Siwa menyembah linga Siwa. Mereka memujanya dalam kalungan bunga sebagai realitas yang mengatasi yang ada dan yang tiada, eksistensi yang mencipta dan meniadakan. Akan tetapi apa yang penting bagi mereka adalah kehadiran konkretnya dalam gambar Siwa, bukan konsep abstraknya. Dengan cara yang sama, Bengali pemuja Kali yang menyembahnya dengan gambaran yang menakutkan tahu bahwa dewi yang besar ini dapat menolong mereka mengatasi ketakutan mereka akan perubahan dan kematian
Bab ini memfokuskan diri pada tiga kenyataan, gambaran-gambaran personal realitas realitas tertinggi yang mendominasi dalam Hinduisme: Wisnu, Siwa, dan Kali. Setiap dewa ini mewakili sebuah dimensi realitas yang berbeda. Wisnu adalah kekuatan untuk menopang dan memelihara kehidupan, Siwa adalah kekuatan yang merusak, yang melenyapkan yang lama dan menciptakan yang baru, dan dia adalah misteri yang mendasari transformasi daya perubahan. Sebagaimana kita akan lihat, di sana ada banyak simbol realitas tertinggi, sehingga ada banyak bentuk dewa, setiap dewa mewakili sebuah kekuatan atau fungsi yang penting dari realitas tertinggi tersebut.

Wisnu
Wisnu memelihara dan menopang kehidupan melalui kebesaran dan kemurahan hatinya. Ia adalah personalisasi cinta, keindahan, dan realitas para dewa. Pada zaman Weda, Wisnu bukanlah dewa yang utama. Dengan kemunduran Indra dan Agni, peran Wisnu bertambah penting. Sebagian ini disempurnakan lewat identifikasinya dengan dewa-dewa terkenal lainnya seperti Narayana, Vasudewa, dan Gopal Krisna. Lewat proses identifikasi ini, devosi kepada Wisnu secara parsial untuk menggantikan pendekatan ritual Weda.
Dalam konsep trinitas Hindu dimana Brahma mencipta, Siwa merusak, fungsi Wisnu adalah memelihara dunia. Karena ini hampir menjadi pengalaman universal manusia dimana hidup dipelihara dan ditopang oleh cinta, sangat wajar bahwa penjelmaan itu sangat nyata dalam inkarnasinya sebagai Krisna. Akan tetapi Krisna hanyalah salah satu inkarnasi Wisnu. Fungsi keberadaannya sebagai penopang diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Bentuk-Bentuk Wisnu
Dua bentuk Wisnu yang paling terkenal adalah Rama dan Krisna. Rama, pahlawan epos “Ramayana” adalah wujud penjelmaan dewa yang hidup di dunia. Ia menjadi model laki-laki yang ideal, sebagaimana istrinya Sinta, mewakili wanita ideal. Sungguh, mereka adalah paradigma kebijaksanaan manusia, memberikan contoh tindakan yang tepat dan terhormat. Krisna, manifestasi Wisnu adalah sosok yang paling dikenal dan dicintai dari semua dewa karena ia adalah penjelmaan cinta dan keindahan.
Selama penjelmaan Wisnu, pertama-tama dalam Krisna, harus diingat bahwa Wisnu mengambil banyak bentuk lain dalam usahanya untuk melindungi dan memelihara dunia. Tradisi Hindu mengenal sepuluh inkarnasi Wisnu sebagaimana dikatakan Krisna kepada Arjuna dalam Gita,

Manakala kebenaran (dharma) hendak sirna dan ketidakbenaran (adharma) hendak merajalela saat itu, wahai keturunan India (Bharata) aku sendiri turun menjelma. Demi melindungi kebajikan, demi memusnahkan kelaliman, dan demi menegakkan kebenaran (dharma), aku lahir ke dunia dari masa ke masa. (4,7-8)

Dalam inkarnasi yang pertama, Wisnu tampak sebagai Matsya, ikan besar yang menyelamatkan Manu sewaktu terjadi banjir besar. Manu, sebagai Nuh India adalah manusia pertama, bapa nenek moyang seluruh umat manusia. Ketika banjir mencoba membunuh manusia dan semua suku bangsa di dunia, Wisnu menjelmakan dirinya menjadi ikan yang besar sehingga dapat melindungi umat manusia dari air bah.
Pada kesempatan lain, ketika para dewa dan asura mengaduk lautan untuk memperoleh air keabadian (tirtha-amarta), mereka mencoba untuk menyelam, masuk ke seluruh dunia dan merusaknya. Karena itu Wisnu menampakkan diri dalam bentuk Kura-kura, Kurma, ia menopang dunia di atas punggungnnya, dan dengan cara demikian ia menyelamatkan dunia dari kehancuran. Pada waktu lain, setelah dunia dibanjiri oleh lautan, Wisnu menginkarnasi dirinya menjadi babi hutan yang besar, Varaha, yang mengangkat dunia dari air. Seperti inkarnasi sebelumnya, Wisnu telah mengambil bentuk yang tepat untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Inkarnasi Wisnu sebagai Narasimha, manusia setengah singa, adalah untuk mengalahkan yang jahat. Karena asura yakin bahwa dia kebal terhadap serangan dewa-dewa, manusia, dan binatang baik siang maupun malam, maka tiada rasa takut padanya. Wisnu yang tahu kelemahannya tampil dalam wujud manusia setengah singa, dan merobeknya menjadi beberapa potong pada sore hari.
Vamana, inkarnasi Wisnu dalam wujud si cebol, menyelamatkan dunia dari iblis yang jahat yang bernama Bali. Para asura (iblis) di bawah pimpinan Bali yang licik dan penuh dusta, tidak memberi tempat bagi para dewa. Wisnu yang berwujud cebol meminta kepada Bali untuk memberinya sedikit saja bagian dunia yaitu sebanyak tiga jengkal. Mengira jumlah tiga jengkal itu sangat sedikit dan tak berarti, ia pun memberikannya. Akan tetapi tiba-tiba, si cebol berubah menjadi raksasa dan tiga jengkal yang ia kuasai menutupi dunia dan ia menguasai serta merebut dunia kembali.
Paraushrama, Brahma yang berkumis dan galak, penjelmaan Wisnu meminta para ksatria yang mencoba merebut tempat dan kekuatan kelas Brahmana, agar mereka kembali ke tempat mereka di bawah para Brahmana.
Tiga inkarnasi berikutnya adalah Rama, pahlawan epos Ramayana, Krisna, guru ilahi Gita, dan Buddha, pendiri Buddhisme. Buddha termasuk sebagai suatu inkarnasi yang menasehati agar manifestasi para dewa berbuat sebagaimana ajaran Wisnu. Hal ini juga menganjurkan agar pewahyuan terhadap Wisnu mencoba untuk menyerap gerakan religius waktu itu.
Inkarnasi kesepuluh, Kalkin, seorang utusan yang akan datang pada akhir zaman. Ia muncul sebagai seorang penyelamat, datang untuk menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik, mengantar pada zaman baru penuh kebahagiaan. Apakah inspirasi inkarnasi ini datang dari ajaran Buddha akan masa depan atau dari ide Zoroastraian akan penyelamat yang akan mengalahkan yang jahat tidaklah jelas. Pada beberapa kesempatan, Kalkin tidak memainkan peran yang penting dalam Hinduisme. Sungguh pengaruh Krisna pada tradisi sangatlah besar dibandingkan dengan manifestasi lain dimana akhir ujian Wisnu ini akan terarah secara khusus pada manifestasinya sebagai Krisna.

Krisna
Dalam bab kedelapan belas dari ayat yang dikenal sebagai, “Nyanyian Tuhan” (Bhagavad Gita), Krisna sungguh hadir ke dunia. Dalam samarannya sebagai kusir Arjuna, Krisna membawa pesan yang menggemparkan bagi umat manusia, ia mengajarkan suatu cara bedevosi kepada Tuhan dengan menyertakan jalan pengetahuan dan perbuatan. Yakin bahwa Arjuna memahami siapa dia sebenarnya, Krisna mengatakan bahwa walaupun dia sekarang hadir dalam wujud manusia, sebagai sais, dia sungguh-sungguh realitas tertinggi, asal mula segala sesuatu, hukum, kekuatan, dan kesatuan yang tinggal dalam seluruh eksistensi. Sebagai Tuhan yang tertinggi, segala sesuatu hadir dalam dirinya, dan dia hadir dalam segala sesuatu:

Ketahuilah bahwa semua insan
Mempunyai sumber kelahiran di sini
Aku adalah asal mula alam semesta ini
Demikian pula kiamatnya kelak

Tiada yang lebih tinggi daripadaku
Oh Dananjaya (Arjuna), yang ada di sini
Semua terikat padaKu bagaikan rangkaian
Mutiara pada seutas tali. (7.6-7)

Namun, visi bahwa Tuhan hadir dalam segala sesuatu bukanlah panteistik. Hal ini bukanlah menyamakan realitas Tuhan dengan realitas segala sesuatu yang ada, karena sebagai Krisna ia mengatakan, “Segala apa yang ada memiliki keagungan, keindahan, dan kekuatan, ketahuilah semua itu menjelma dari awal bagian fragmenKu” (10.41). Dan dalam ayat berikutnya, dia menekankan lagi bahwa dia hadir dalam segala sesuatu, keberadaannya melebihi mereka, mengatakan, “Alam semesta diliputi olehKu dengan wujudku yang tak-nyata.” Dalam ayat lain Krisna mengatakan bahwa dunia bergantung padanya, keberadaannya adalah independen dari dunia, mengatakan, “Semua makhluk ada padaKu tetapi Aku tidak berada pada mereka”(9.4).
Bab kesebelas Gita dengan jelas menunjukkan pengertian Hindu bahwa kepenuhan Allah adalah melebihi pengertian manusia pada umumnya. Untuk melihat Allah, Arjuna harus dianugerahi penglihatan ilahi oleh Krisna, dimana ia harus diberikan sebuah mata ilahi. Juga, visi Allah dalam seluruh kemuliaannya yang mempesona dan meliputi Arjuna, membawanya untuk meminta Krisna menuntut satu wujud yang lebih kecil.
Para pemuja Krisna tahu bahwa dalam keberadaanya, Wisnu mengatasi segala wujud, tinggal tanpa dipahami oleh umat manusia. Akan tetapi mereka juga tahu bahwa dalam kebaikannya dan lewat rahmatnya, dia tampak dalam wujud yang dapat berelasi di dalam kemanusiaan mereka. Dengan demikian, mereka menerima realitas inkarnasinya dengan serius, tahu bahwa Allah sungguh hadir dalam manifestasinya yang beragam. Akan tetapi lewat tanda yang sama, mereka tahu bahwa manifestasi-manifestasi yang beragam ini adalah simbol-simbol realitas yang tertinggi, bukan kekekiruan atas realitas tertinggi dirinya. Hal ini adalah pengetahuan yang memungkinkan umat Hindu mengakui keberadaan banyak dewa karena semua adalah bentuk-bentuk yang berbeda secara sederhana dari suatu realitas tertinggi. Akan tetapi ketika Allah mengambil bentuk manusia, misalnya sebagai Krisna, maka manusia dapat berelasi dengan cara langsung dan personal. Dalam wujud personal, Krisna mengundang manusia untuk datang kepada-Nya dalam kesetiaan cinta, menggerakkan diri mereka ke dalam perlindungan cintanya.

Krisna dari Vrindavana
Krisna yang berevelasi kepada Arjuna dalam Gita mungkin sangat mengerikan dalam kekuatan dan kemegahan yang mengagumkan sehingga sulit untuk mendekatinya dalam cinta yang setia. Jarak antara Tuhan yang tertinggi sebagaimana tampak dalam Arjuna dan manusia adalah terlalu jauh untuk dijembatani. Kondisi manusia membutuhkan seseorang yang rendah hati, wujud yang lebih manusiawi dari Allah untuk mencinta, sebuah wujud yang ditemukan dalam Krisna Vrindavana.
Dengan demikian, meskipun Krisna dalam Gita itu lebih besar bagi para pengikut Wisnu, akan tetapi bagi umat Hindu, Krisna Vrindavana adalah gembala Allah, yang menyatakan gambaran devosional mereka. Krisna ini diwahyukan sebagai seorang bayi kecil yang disembah, seorang anak laki-laki kecil yang lucu, seorang pemuda tampan dan penuh cinta kasih. Dalam pastoral sederhana keadaan Vrindavana, Krisna, seorang gembala yang rendah hati, mewahyukan keindahan ilahi, kegembiraan, dan cinta realitas tertinggi. Permainannya yang riang dan menggembirakan adalah suatu undangan untuk memujanya, untuk berbagi kegembiraan hidup dengannya.
Keadaan pastoral ini menyimbolkan kedekatan Allah. Kasta yang rendah-petani yang hidup di sana adalah sungguh-sungguh orang-orang biasa, yang tetap dipandang rendah baik dari ritual dan kitab suci Vedis karena pembagian kasta. Mereka tidak mempraktekkan asketisme atau meditasi. Mereka bergembira dalam keindahan dan kesucian realitas sehari-hari dimana mereka merasakan keindahan sekitar mereka. Biasanya, pengalaman sehari-hari bersifat suci, kehadiran yang ilahi selalu bercahaya dimana saja. Jika umat Vrindavana itu disebut umat yang khusus, hal ini karena mereka mengakui kesucian realitas yang biasa dan membuka hati mereka untuk cinta ilahi yang memancar lewat seluruh eksistensi.
Krisna ini adalah keadaan Vrindavana yang biasa biasa saja. Sebagai seorang anak, dia bermain dengan anak-anak gembala lain, dan sebagai seorang pemuda, dia mencintai gadis-gadis gembala. Dia tidak didekati sebagai Tuhan, tetapi sebagai seorang yang sama dengan mereka untuk berbagi cinta dan kegembiraan yang sama. Pencerita senang menggambarkan rahmat dan ketampanan Krisna kecil yang menakjubkan. Permainan dan cintanya menjadi topik ratusan cerita. Kekanak-kanakan dan kenakalannya pun mulia, karena ini menyimbolkan kegembiraan permainan ilahi dan kegembiraan eksistensi.
Visi Allah sebagai seorang anak kecil yang bermain dengan bebas dan sangat gembira memungkinkan umat Hindu menekankan pentingnya spontanitas, permainan, dan kegembiraan dalam kehidupan manusia; ini menyiratkan bahwa hidup ini ada untuk dirayakan. Krisna anak yang ilahi, mengatakan pada dunia bahwa hal yang sangat esensial dan yang ilahi adalah sebuah permainan dan kegembiraan yang luar biasa. Dan karena dia adalah seorang anak kecil, dia dapat didekati secara langsung dan terbuka, tanpa ritual formal dan ketakutan.

Kali
Seperti Wisnu dan Siwa, dewi Kali hadir dalam wujud yang berbeda bagi para pemujanya. Sebagai personifikasi kematian dan kehancuran, ia berpenampilan seram dan mengerikan. Akan tetapi sebagai ibu yang ilahi, ia memberikan kesenangan dan kenyamanan cinta ibu kepada anak-anaknya. Sebagai personifikasi dari dimensi eksistensi yang mengerikan, dia menolong para pemujanya mengatasi kekerasan, penderitaan, dan kematian yang memasuki hidup setiap manusia. Menjumpai Kali dalam berbagai manifestasinya yang sangat mengerikan berarti datang berhadapan muka dengan ketidakstabilan dan kekacauan dunia untuk merasakan terornya yang tersembunyi. Namun, sebagai ibu yang agung, dia tidak hanya menyelamatkan anak-anaknya dari teror dunia tetapi meneguhkan bahwa cinta itu lebih fundamental daripada kekerasan. Ia memberikan jalan keluar dari teror-teror kehidupan ini.
Asal usul Kali tidaklah diketahui dengan jelas. Sebagai dewi yang agung, ibu dunia, dia mungkin mempunyai jejak di waktu lampau, yakni kembali ke peradaban lembah Indus sekitar tahun 2000 SM. Dewi-dewi Vedis juga mungkin memberi kontribusi bagi kodratnya, karena sebagai daya energi kesadaran dan pidato, dewi ini mengingatkan kita akan Vac, dewi pidato Vedis. Tradisi lain yang sudah hilang, mungkin juga memberi kontribusi terhadap kisah dewi yang populer ini. Teks-teks Puranas dan Tantrik memberi Kali suatu cerita mistik yang menerangkan asal usulnya dan menjelaskan kisah dan fungsinya. Kadang-kadang dia tampak sebagai bagian manifestasi Durga, salah satu dari nama dewi besar, yang terkenal pada abad pertengahan India.
Berdasarkan suatu cerita terkenal, ia memasuki eksistensinya sebagai seorang iblis perusak-kekuatan yang menghancurkan untuk menyelamatkan dewa-dewa dan memelihara dunia. Satu suku bangsa iblis berkembang menjadi sangat kuat sehingga mereka menantang supremasi para dewa, mengancam akan menghancurkan pondasi masa di dunia. Para dewa tak mungkin mengalahkan asura (iblis-iblis) ini dan mereka sungguh di ujung kekalahan, lalu para dewa memanggil kekuatan yang dahsyat dari kemarahan mereka bersama. Wajah mereka mengeluarkan seperti suatu cahaya yang menyilaukan, kekuatan ini memanifestasikan dirinya dalam wujud seorang dewi dalam pelbagai samaran, lalu datang menyelamatkan dewa-dewa ketika para iblis sudah hampir meraih kemenangan yang pasti.
Lahirnya dari kemarahan para dewa, dewi Kali memiliki kekuatan kemarahan yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh dewa-dewa itu sendiri. Kelangsungan hidup mereka bergantung padanya. Dewa-dewa mewakili kekuatan yang baik, tetapi ketika kekuatan-kekuatan ini terancam oleh asura (iblis), hanya kekuatan besar yang yang dapat menyelamatkan mereka dengan jalan membinasakan kekuatan jahat itu. Dewi Kali tampak sebagai sebuah kekuatan yang besar tidak hanya dari cerita asal-usulnya sebagai penyelamat dewa-dewa, tetapi juga dari fakta bahwa ia sering disebut shakti yang sederhana, yang artinya energi dan kekuatan. Agama Hindu memahami energi denyutan eksistensinya sebagai perempuan, sebagai Shakti, sedangkan substansi pemikirannya adalah pikiraan laki-laki, pasif dan tak berdaya. Dalam salah satu polaritas yang menjadi karakter Hinduisme, Siwa dan Shakti, prinsip-prinsip perempuan dan laki-laki tampak bekerja sama dalam menyemangati dan membangun dunia.
Meskipun Kali merupakan penjelmaan dari teror dan kemarahan, yang penuh kemarahan dan bahkan menutupi korban-korbannya dengan darah mereka sendiri, tetapi ia bukan penjelmaan dari asura (iblis), ia lebih merupakan sebuah kekuatan yang menguasai dan menghancurkan iblis itu sendiri. Jadi, meskipun penampilannya mengerikan, akhirnya ia adalah dewi yang penuh kebaikan yang datang untuk menyelamatkan para pemujanya sebagaimana ia datang menyelamatkan dewa-dewa lain. Meskipun pada kesempatan yang pantas, ia mengambil bentuk sebagai pembinasa yang besar, ia juga adalah yang primordial, yang ada tanpa dilahirkan, yang menjadi seluruh eksistensi ini dan dunia memelihara dunia ini. Itulah mengapa beberapa teks terus menggambarkan dia sebagai ibu ilahi (Mata) dan Laksmi yang cantik, dewi yang bahagia dan beruntung. Implikasinya adalah bahwa dewi yang ini mengambil wujud sebagai Kali yang menakutkan, personifikasi kematian, untuk mengatasi teror dan kematian, sehingga dengan cara demikian membuat ruang untuk kehidupan dan kebahagiaan.
Dualisme Kali ini adalah tema umum tulisan dan seni yang berkembang di sekitar dewi ini. Sebagai contoh, ada lukisan-lukisan populer menunjukkan tariannya di atas mayat suaminya. Ia mengenakan kalung untaian tengkorak manusia, serigala dan hering (simbol kematian). Kali hitam ini melakukan tarian pengrusakan yang abadi. Keempat tangannya melambangkan kekuatan ilahinya, memegang simbol kehidupan seperti simbol kematian. Dalam dua tangan kanannya, dia mengacungkan pedang dan lembing, menyimbolkan kekuatannya untuk membinasakan dan memotong tali kehidupan. Satu dari tangan kirinya memegang sebuah mangkuk simbol pemeliharaan, sementara yang lain memegang teratai, simbol kehidupan dan kesucian. Sepertinya tangan-tangannya secara serentak menawarkan kehidupan dan kematian, lalu tarian kakinya merevelasikan baik kehancuran dan kekuatan hidup. Dua tubuh ditunjukkan di bawah kaki yang menari. Siwa yang di bawah, seorang berjenggot, asketik telanjang, disentuh dengan energi kehidupan Kali, merupakan kepenuhan hidup (shava). Akan tetapi Kali yang di atas, muda dan cantik, sedang bergerak ke dalam hidup sebagai sebuah hasil dari energi ilahi, yang dia terima dari tariannya sehingga tariannya secara serentak adalah tarian kematian dan kehidupan.
Lukisan ini menimbulkan satu cerita terkenal yang dikatakan oleh satu pelayan kuil Kali di Kalighat. Menurut cerita ini, dunia sedang terancam oleh raksasa yang haus darah, benih monster yang muncul secara total dan tak terkalahkan karena dari setiap tumpahan darah hidup seribu monster jahat yang baru dan ganas, yang terus menerkam. Karena frustasi oleh monster yang tak terkalahkan, para dewa dan dewi memanggil Kali. Sesudah siap beperang melawan yang jahat dan merusak, Kali yang ganas menunggu monster dan rombongannya, melompat dan berputar diantara mereka, pedang yang bercahaya memotong mereka menjadi ribuan potong, lidahnya yang haus meminum darah mereka sebelum jatuh menyentuh tanah dan menumbuhkan ribuan monster baru. Setelah membinasakan kawanannya, Kali yang haus darah itu akhirnya menelan benih monster itu sendiri.
Lalu dia mulai tarian kemenangannya, menari dengan hiruk pikuk, sampai lupa keadaan sekelilingnya. Dia menjadi gila, di luar kontrol sehingga mengancam seluruh ciptaan. Bumi bergetar dan terjadi gempa bumi mengikuti tempo tariannya yang hiruk pikuk. Takut akan terjadi kehancuran alam semesta, para dewa memohon kepada suaminya, Siwa, meminta dia untuk mengetengahi dan menghentikan tarian liar yang merusak itu. Kali tidak mendengar permohonan suaminya, lalu melanjutkan tariannya. Akhirnya dengan nekat, Siwa menjatuhkan dirinya di bawah kaki Kali. Kali tidak sadar bahwa suaminya berada di bawah kakinya, dia sekarang menari di atas tubuh suaminya, mengancam akan membawa kematian bagi Siwa dan juga akan akhir dunia. Namun, akhirnya, dia sadar bahwa dia sedang menari di atas tubuh suaminya, lalu ia berhenti, dengan demikian selamatlah alam semesta dari kebinasaan tarian kemarahannya Menafsirkan cerita ini, pelayan memberi komentar bahwa tarian maut Kali adalah sungguh-sungguh tarian yang membinasakan yang jahat. Semua orang yang datang pada perlindungannya, bersujud di bawah kakinya, akan dia diselamatkan. Dia membinasakan yang jahat bagi mereka, sebagaimana dia lakukan bagi para dewa dan dewi, ketika Siwa menjatuhkan diri di bawah kakinya.
Bila Kali adalah sumber pelindung yang dermawan, mengapa dia muncul dalam wujud yang menakutkan dan mengerikan? Jawaban Hindu sangat jelas; gambaran ini menolong mereka untuk mengakui kehadiran yang jahat dalam kehidupan, ketakutan, teror, keputusasaan, dan kematian. Menghadapi para dewa dalam wujud mereka yang menakutkan adalah menghadapi ketakutan kita sendiri akan kesepian, teror, dan kematian dan melihat penderitaan hadir dalam seluruh eksistensi. Kali menolak kita bila kita berpura-pura melihat bahwa segala sesuatu adalah sungguh-sungguh baik adanya untuk menutupi luka dan ketakutan. Dia meminta agar kita menghadapi aspek eksistensi ketakutan karena ketakutan tidak dapat ditundukkan sebelum diakui bahwa ketakutan itu memang ada. Dengan demikian maksud Kali bukan meneror dan menakuti para pemujanya, tetapi untuk menghadapi hidup sebagaimana adanya-keindahan, damai, dan kegembiraan bercampur dengan keburukan, kekerasan, dan penderitaan. Mereka yang menerima dia, bersujud di bawah kakinya untuk meminta perlindungan, dia akan memberikan kepada mereka kekuatan dan keberanian untuk menaklukkan ketakutan, membiarkan mereka menerima kekayaan hidup yang penuh, berpartisipasi dengan tulus dalam ekspresinya total di dalam setiap momen eksistensi.

Siwa
Siwa adalah Allah yang paradoksal. Da adalah Tuhan kematian dan ciptaan secara simultan; penari kosmos dan yogi yang tak bergerak. Dia disimbolkan dengan pallus lelaki, linga, tetapi ia juga seorang asketik yang besar. Sebagai tambahan atas gambaran ini, ia juga dianggap sebagai yang mengatasi polaritas, mengatasi semua gambaran.
Sebagai “Allah yang besar” melebihi semua polaritas, Siwa bukanlah Tuhan yang berfungsi sebagai perusak, dalam persekutuan dengan Brahma sebagai Tuhan ciptaan, dan dengan wisnu Tuhan penopang kehidupan. Dia adalah satu supremasi Allah yang menyelenggarakan seluruh fungsi ini. Lebih lanjut, dia memberikan rahmat dengan jalan kenajisan dimana ia mencemarkan dirinya, tampak sebagai yang tak sempurna dan cacat di dalam ikatan diri sendiri, yang dapat digeser.
Siwa dapat mengkombinasikan fungsi seluruh dewa-dewa lain karena ia adalah kesadaran utama yang hadir dalam seluruh eksistensi. Keberadaannya itu ada dalam seluruh eksistensi. Akan tetapi ia melampaui semua ini, karena ia juga asli, tidak dapat dibedakan secara menyeluruh dari eksistensi yang diciptakan, melebihi segala wujud dan ekspresi eksistensi. Di dalam keberadaannya yang misterius, dia tidak hanya membandingkan segala sesuatu yang ada tetapi juga mengatasi eksistensi. Sebagai mahayogi, dia menjaga dan melindungi ketakberbedaan seluruh yang tak diciptakan; sebagai Tuhan agung ciptaan, Siwa penari, dia adalah energi dan irama yang membawa terus eksistensi dari rahim Brahman.
Simbol dasar Siwa, linga adalah sendi/poros alam semesta. Perluasan yang tak melebihi alam semesta, ini mendeklarasikan transendensi polaritas yang tak terbatas/terbatas dalam keberadaan Siwa. Menyimbolkan kedalaman keheningan dari prior absolut kepada ciptaan, linga secara simultan melambangkan potensi denyut dari daya kreatif kehidupan, menawarkan rekonsiliasi dari oposisi antara eksistensi yang termanifestasi dan Brahman yang tidaktermanifestasi. Bahwa Siwa itu adalah Tuhan tarian dan mahayogi menunjukkan bahwa dia mengatasi oposisi antara imanen dan transenden.

Tuhan Sebagai Penari
Untuk merasakan bagaimana Siwa mengkombinasikan fungsi ciptaan dunia, pembangunan, dan kerusakan sementara pada saat yang sama melebihi polaritas, sangat menolong untuk menguji gambarannya sebagai Tuhan tarian (Nataraja). Menari dalam bunyi api, Siwa mewujudkan energi kreatif utama dari eksistensi. Irama tariannya dan energi gerakannya mentransformasikan energi primordial ke dalam kehidupan. Seluruh alam semesta adalah efek dari tarian abadi Siwa, yang secara simultan mencipta dan menghancurkan dunia tanpa suatu akhir proses.
Dalam telapak tangan kirinya, Siwa memegang lidah api, mewakili kekuatan destruktif yang sudah lama diasosiasikan dengan dewa ini. Nyala yang berkedap-kedip menandakan perubahan yang dihasilkan oleh kekuatan destruktif. Di atas tangan kanannya ada gendang yang dilengkapi dengan irama tarian, irama ciptaan. Ini menyimbolkan getaran bunyi abadi eter ruangan untuk menimbulkan revelasi dan kebenaran, dan pertama wujud eksistensi yang pertama. Kedua kekuatan yang berlawanan ini, kreatifitas mengejawantah dalam suara dan destruksi mengejawantah dalam api, dimana keduanya saling melengkapi. Dalam keseimbangan yang harmonis, mereka merupakan ciptaan dan kehancuran yang berlanjut, yang mengkarakterisasi seluruh eksistensi.
Tangan kanan yang lebih rendah tampil dalam gerak tradisional yang mengandung makna “jangan takut”, menunjukkan bahwa kosmos ini, tarian ciptaan dan kehancuran tidaklah perlu ditakuti. Dan tangan kiri bagian bawah menunjukkan kaki kiri yang terangkat, yang menunjukkan bahwa ini sungguh-sungguh tarian kebebasan. Para pemujanya tahu bahwa lewat penyembahan pada kaki Siwa yang terangkat, mereka akan mendapat perlindungan dan keselamatan, menunjukkan bahwa kebodohan harus dibasmi untuk mencapai kebijaksanaan sejati yang membawa pembebasan dari perbudakan.
Sebagaimana Siwa menari di dunia dalam kehidupan, memeliharanya, dan menarikan keluar dari kehidupan, dia melepaskan kabut ilusi yang menyerahkan kita ke dalam eksistensi menjadi realitas mendasar. Pergerakan dan simbol-simbol tarian direvelasikan menjadi tak satu pun dari yang lain daripada manifestasi diri Siwa; ciptaan, kehancuran, pembangunan, persembunyian, dan kemurahan pembebasan ilahi. Tangan dan gendang mewakili ciptaan, tangan dengan nyala api mewakili kehancuran dan gerak “jangan takut” mewakili pembangunan realitas dan kaki yang tertanam di atas kebodohan iblis melambangkan persembunyian realitas dan kaki yang terangkat menandakan kemurahan ilahi yang mungkin membebaskan.
Sementara itu energi tarian dengan segera merebut perhatian kita, ketika kita mulai melihat tarian sebagai keseluruhan, lebih daripada wujud dalam termnya yang penuh gerakan, perhatian kita tergambar pada pusat gambaran. Di sana, kita melihat dengan kagum wajah Tuhan yang tenang, independen tarian. Wajah tenang yang membahagiakan ini, dan pekembangan kepala menandakan transenden ruang dan waktu Siwa dan eksistensi yang hiruk pikuk. Senyum batin yang indah menawarkan kedamaian kekusyukan, ke dalam realitas yang lebih dalam dimana semua polaritas direkonsiliasi dalam suatu harmoni.
Bunyi api yang suci yang melengkapi penari melambangkan baik kesucian eksistensi dan kehancuran ketidaktahuan. Dengan penghancuran ketidaktahuan, dilepaskan perbudakan kepada waktu dan pertukaran. Lalu bunyi api juga menawarkan proses pemurnian dimana penari dilepaskan dari tarian.
Siwa sebagai Tuhan tarian adalah penjelmaan energi total dari manifestasi kehidupan dan segala wujudnya. Akan tetapi wajahnya, yang mana adalah wajah wajah asketik, menjelmakan perdamaian dan ketenangan dari pemenuhan dirinya yang mengatasi dualisme manifestasi kehidupan. Siwa adalah tubuh tarian dan wajah yang damai. Gambaran ini menyatakan kepada kita bahwa energi dan substansi, manifestasi dan nonmanifestasi, transenden dan imanen, pada akhirnya adalah realitas yang satu dan sama. Dalam Siwa semua polaritas didamaikan dalam satu yang lebih besar.

Siwa Sebagai Simbol Yang Tidak Mewujud
Pasangan fundamental yang berlawanan yang berekonsiliasi dalam Siwa adalah ciptaan, manifestasi realitas pada satu pihak dan non ciptaan, nonmanifestasi realitas di pihak lain. Hinduisme bertendensi melihat asal mula, realitas yang tak diciptakan sebagai yang utama, ciptaan manifestasi adalah sejenis kemerosotan keseluruhan ketidakberbedaan yang primordial, dan hal tersebut menurunkan ke level realitas yang lebih rendah. Bila kita melihat Rudra, Weda sebagai sejenis proto (awal) Siwa, maka ada suatu mitos yang sangat kuno dimana kehadiran Siwa baik sebagi penjaga dari yang tertinggi, realitas yang tak diciptakan dan karena dia mengijinkannya untuk turun, penjaga eksistensi ciptaan yang baik.
Berdasarkan cerita ini, Rudra, si pemanah yang hebat, melindungi yang asli, realitas yang tak diciptakan, melindunginya dari berbagai usaha untuk mentransformasikan ke dalam eksistensi yang nyata. Secara tiba-tiba, ia melihat Bapa, sang pencipta bersiap untuk menanam benih realitas yang tidak nyata ke dalam rahim ibu kehidupan sehingga kehidupan yang diciptakan dapat lahir terus. Rudra menerbangkan panah untuk menghancurkan Bapa sebelum ia menyelesaikan aksinya. Akan tetapi ia terlambat, benih ciptaan telah tertanam, karena panahnya, panah waktu dirinya, memberikan dimensi yang diperlukan ciptaan untuk terjadi, Rudra tanpa disengaja menjadi penyebab ciptaan, dia sedang mencoba untuk mencegah. Sebagaimana aslinya, sebagai penjaga yang tidak diciptakan, dia mencoba mencegah ciptaan utnuk terjadi, dimana sekarang realitas melampaui wujud ciptaan, tugasnya sebagai penjaga untuk melindungi ciptaan mengejawantahkan wujud eksistensi yang beragam. Kosmos tarian Siwa, sebagaimana kita telah lihat, menghancurkan wujud lama eksistensi sebagaimana menciptakan yang baru. Dalam dualisme ini, menghancurkan dan menciptakan, dia memelihara eksistensi yang dia ijinkan untuk diciptakan. Meskipun secara orisinal, penjaga dari yang tak diciptakan, dia sekarang menjadi pelindung ciptaan, dia menari dalam kehidupan, Tuhan dan pelindung seluruh ciptaan.
Simbol awal Siwa, linga, diperoleh dari kandungan eksistensi yang diciptakan kepada realitas primordial (dasar) yang tak kelihatan, realitas yang diciptakan, meliputi baik dimensi kemanusiaannya, transenden dan imanen, tidak diciptakan dan diciptakan. Sebagai tuan tarian, dia menyimbolkan energi ciptaan sebagai Mahayogi mengajak ke dalam praktek asketik, dia datang melebihi kesadaran yang tak terbedakan yang mencakup primordial, realitas yang tak diciptakan, menarik kembali fungsinya sebagai penjaga dari yang tak diciptakan.
Ketika hal ini menjadi populer, dalam tradisi akhir-akhir ini, memikirkan energi eksistensi yang kreatif sebagai perempuan, sebagai shakti yang ilahi, Siwa divisualisasikan secara teratur dengan pasangan ilahi, seringkali Parvati, pasangannya yang tak terpisahkan, energi eksistensi yang kreatif. Akan tetapi karena Siwa adalah aktual, dia juga dilukiskan sebagai kombinasi dalam pribadi sendiri baik laki-laki abadi dan perempuan abadi. Sebagai yang setengah laki-laki dan setengah perempuan (ardhanaraishvara) dia mendamaikan dengan jelas polaritas eksistensi laki-laki/perempuan dalam keberadannya.
Namun banyak mitos dan gambaran dan nama yang tidak terbilang jumlahnya yang diberikan kepada Siwa untuk menggambarkan dewa yang besar ini. Sebagai hidup dari seluruh yang ada dan dasar dari seluruh eksistensi yang mengatasi segala nama dan bentuk, tidak ada nama dan bentuk yang dapat mendefenisikannya. Siwa yang kekal selalu merupakan Yang tak menjelma dan tak terlihat dalam keberadaannya yang tertinggi.