Sabtu, 15 Maret 2008
Perkembangan Teistik
PERKEMBANGAN TEISTIK
Eddy suranta
Pada bab sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana Filsuf-filsuf Veda menyatakan realitas tertinggi (Brahman) dalam istilah yang abstrak. Shankara mengajarkan realitas tertinggi tersebut sebagai nondualisme absolut (adwaita), Ramanuja mengajarkan realitas tertinggi adalah nondualisme (wisiatadwaita), tetapi dengan sedikit perbedaan, dan Madhva mengajarkan realitas tertinggi sebagai dualisme (dwaita). Mereka semua tahu bahwa Brahman sebagai realitas tertinggi tidak dapat didefinisikan secara literer. Hal ini dapat didekati secara konseptual dengan menggambarkannya dalam istilah yang sangat sempurna yang dapat dibayangkan. Akan tetapi karena Brahman melampaui konsep, pada akhirnya sifat tertinggi ini pun yaitu-ada, pengetahuan dan kebahagiaan-harus disangkal. Hal ini terkenal sebagai jalan pengingkaran, karakter yang dalam tradisi India dikenal sebagai Neti, neti, sebuah ekspresi yang secara literer berarti tak terhingga, tidak terhingga. Neti, neti menerangi pemahaman filosofis secara jelas bahwa Brahman tidak dapat dirangkum dalam term konseptual.
Realitas pun dapat didekati dengan cara nonkonseptual. Pemikir India memikirkan Brahman secara personal dan juga secara konseptual, dengan term-term, menggunakan pembagian besar dari perbandingan sensual dalam proses. Pengalaman inderawi merangsang perasaan dan iman seperti pemikiran-pemikiran, dan India menjunjung pemahaman religius ini setinggi pemahaman tercapai melalui pemikiran yang abstrak. Pemahaman religius ini bersiafat aktif, membawa seseorang mendekati atau menjauhi realitas dalam bentuk konkretnya. Dengan pendekatan ini, pengetahuan, kebahagiaan, dan keberadaan Brahman digambarkan dengan abstrak, mempunyai tubuh dan personalitas, sebagai Tuhan yang dapat dicintai, dilihat, dan disembah.
Dalam Bhagavad Gita, Krisna sebagai inkarnasi Tuhan Wisnu, yang tampak sebagai sais (pengendara kereta perang) Arjuna, menegaskan bahwa ia sungguh realitas tertinggi Brahman. Para pemuja Siwa menyembah linga Siwa. Mereka memujanya dalam kalungan bunga sebagai realitas yang mengatasi yang ada dan yang tiada, eksistensi yang mencipta dan meniadakan. Akan tetapi apa yang penting bagi mereka adalah kehadiran konkretnya dalam gambar Siwa, bukan konsep abstraknya. Dengan cara yang sama, Bengali pemuja Kali yang menyembahnya dengan gambaran yang menakutkan tahu bahwa dewi yang besar ini dapat menolong mereka mengatasi ketakutan mereka akan perubahan dan kematian
Bab ini memfokuskan diri pada tiga kenyataan, gambaran-gambaran personal realitas realitas tertinggi yang mendominasi dalam Hinduisme: Wisnu, Siwa, dan Kali. Setiap dewa ini mewakili sebuah dimensi realitas yang berbeda. Wisnu adalah kekuatan untuk menopang dan memelihara kehidupan, Siwa adalah kekuatan yang merusak, yang melenyapkan yang lama dan menciptakan yang baru, dan dia adalah misteri yang mendasari transformasi daya perubahan. Sebagaimana kita akan lihat, di sana ada banyak simbol realitas tertinggi, sehingga ada banyak bentuk dewa, setiap dewa mewakili sebuah kekuatan atau fungsi yang penting dari realitas tertinggi tersebut.
Wisnu
Wisnu memelihara dan menopang kehidupan melalui kebesaran dan kemurahan hatinya. Ia adalah personalisasi cinta, keindahan, dan realitas para dewa. Pada zaman Weda, Wisnu bukanlah dewa yang utama. Dengan kemunduran Indra dan Agni, peran Wisnu bertambah penting. Sebagian ini disempurnakan lewat identifikasinya dengan dewa-dewa terkenal lainnya seperti Narayana, Vasudewa, dan Gopal Krisna. Lewat proses identifikasi ini, devosi kepada Wisnu secara parsial untuk menggantikan pendekatan ritual Weda.
Dalam konsep trinitas Hindu dimana Brahma mencipta, Siwa merusak, fungsi Wisnu adalah memelihara dunia. Karena ini hampir menjadi pengalaman universal manusia dimana hidup dipelihara dan ditopang oleh cinta, sangat wajar bahwa penjelmaan itu sangat nyata dalam inkarnasinya sebagai Krisna. Akan tetapi Krisna hanyalah salah satu inkarnasi Wisnu. Fungsi keberadaannya sebagai penopang diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Bentuk-Bentuk Wisnu
Dua bentuk Wisnu yang paling terkenal adalah Rama dan Krisna. Rama, pahlawan epos “Ramayana” adalah wujud penjelmaan dewa yang hidup di dunia. Ia menjadi model laki-laki yang ideal, sebagaimana istrinya Sinta, mewakili wanita ideal. Sungguh, mereka adalah paradigma kebijaksanaan manusia, memberikan contoh tindakan yang tepat dan terhormat. Krisna, manifestasi Wisnu adalah sosok yang paling dikenal dan dicintai dari semua dewa karena ia adalah penjelmaan cinta dan keindahan.
Selama penjelmaan Wisnu, pertama-tama dalam Krisna, harus diingat bahwa Wisnu mengambil banyak bentuk lain dalam usahanya untuk melindungi dan memelihara dunia. Tradisi Hindu mengenal sepuluh inkarnasi Wisnu sebagaimana dikatakan Krisna kepada Arjuna dalam Gita,
Manakala kebenaran (dharma) hendak sirna dan ketidakbenaran (adharma) hendak merajalela saat itu, wahai keturunan India (Bharata) aku sendiri turun menjelma. Demi melindungi kebajikan, demi memusnahkan kelaliman, dan demi menegakkan kebenaran (dharma), aku lahir ke dunia dari masa ke masa. (4,7-8)
Dalam inkarnasi yang pertama, Wisnu tampak sebagai Matsya, ikan besar yang menyelamatkan Manu sewaktu terjadi banjir besar. Manu, sebagai Nuh India adalah manusia pertama, bapa nenek moyang seluruh umat manusia. Ketika banjir mencoba membunuh manusia dan semua suku bangsa di dunia, Wisnu menjelmakan dirinya menjadi ikan yang besar sehingga dapat melindungi umat manusia dari air bah.
Pada kesempatan lain, ketika para dewa dan asura mengaduk lautan untuk memperoleh air keabadian (tirtha-amarta), mereka mencoba untuk menyelam, masuk ke seluruh dunia dan merusaknya. Karena itu Wisnu menampakkan diri dalam bentuk Kura-kura, Kurma, ia menopang dunia di atas punggungnnya, dan dengan cara demikian ia menyelamatkan dunia dari kehancuran. Pada waktu lain, setelah dunia dibanjiri oleh lautan, Wisnu menginkarnasi dirinya menjadi babi hutan yang besar, Varaha, yang mengangkat dunia dari air. Seperti inkarnasi sebelumnya, Wisnu telah mengambil bentuk yang tepat untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Inkarnasi Wisnu sebagai Narasimha, manusia setengah singa, adalah untuk mengalahkan yang jahat. Karena asura yakin bahwa dia kebal terhadap serangan dewa-dewa, manusia, dan binatang baik siang maupun malam, maka tiada rasa takut padanya. Wisnu yang tahu kelemahannya tampil dalam wujud manusia setengah singa, dan merobeknya menjadi beberapa potong pada sore hari.
Vamana, inkarnasi Wisnu dalam wujud si cebol, menyelamatkan dunia dari iblis yang jahat yang bernama Bali. Para asura (iblis) di bawah pimpinan Bali yang licik dan penuh dusta, tidak memberi tempat bagi para dewa. Wisnu yang berwujud cebol meminta kepada Bali untuk memberinya sedikit saja bagian dunia yaitu sebanyak tiga jengkal. Mengira jumlah tiga jengkal itu sangat sedikit dan tak berarti, ia pun memberikannya. Akan tetapi tiba-tiba, si cebol berubah menjadi raksasa dan tiga jengkal yang ia kuasai menutupi dunia dan ia menguasai serta merebut dunia kembali.
Paraushrama, Brahma yang berkumis dan galak, penjelmaan Wisnu meminta para ksatria yang mencoba merebut tempat dan kekuatan kelas Brahmana, agar mereka kembali ke tempat mereka di bawah para Brahmana.
Tiga inkarnasi berikutnya adalah Rama, pahlawan epos Ramayana, Krisna, guru ilahi Gita, dan Buddha, pendiri Buddhisme. Buddha termasuk sebagai suatu inkarnasi yang menasehati agar manifestasi para dewa berbuat sebagaimana ajaran Wisnu. Hal ini juga menganjurkan agar pewahyuan terhadap Wisnu mencoba untuk menyerap gerakan religius waktu itu.
Inkarnasi kesepuluh, Kalkin, seorang utusan yang akan datang pada akhir zaman. Ia muncul sebagai seorang penyelamat, datang untuk menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik, mengantar pada zaman baru penuh kebahagiaan. Apakah inspirasi inkarnasi ini datang dari ajaran Buddha akan masa depan atau dari ide Zoroastraian akan penyelamat yang akan mengalahkan yang jahat tidaklah jelas. Pada beberapa kesempatan, Kalkin tidak memainkan peran yang penting dalam Hinduisme. Sungguh pengaruh Krisna pada tradisi sangatlah besar dibandingkan dengan manifestasi lain dimana akhir ujian Wisnu ini akan terarah secara khusus pada manifestasinya sebagai Krisna.
Krisna
Dalam bab kedelapan belas dari ayat yang dikenal sebagai, “Nyanyian Tuhan” (Bhagavad Gita), Krisna sungguh hadir ke dunia. Dalam samarannya sebagai kusir Arjuna, Krisna membawa pesan yang menggemparkan bagi umat manusia, ia mengajarkan suatu cara bedevosi kepada Tuhan dengan menyertakan jalan pengetahuan dan perbuatan. Yakin bahwa Arjuna memahami siapa dia sebenarnya, Krisna mengatakan bahwa walaupun dia sekarang hadir dalam wujud manusia, sebagai sais, dia sungguh-sungguh realitas tertinggi, asal mula segala sesuatu, hukum, kekuatan, dan kesatuan yang tinggal dalam seluruh eksistensi. Sebagai Tuhan yang tertinggi, segala sesuatu hadir dalam dirinya, dan dia hadir dalam segala sesuatu:
Ketahuilah bahwa semua insan
Mempunyai sumber kelahiran di sini
Aku adalah asal mula alam semesta ini
Demikian pula kiamatnya kelak
Tiada yang lebih tinggi daripadaku
Oh Dananjaya (Arjuna), yang ada di sini
Semua terikat padaKu bagaikan rangkaian
Mutiara pada seutas tali. (7.6-7)
Namun, visi bahwa Tuhan hadir dalam segala sesuatu bukanlah panteistik. Hal ini bukanlah menyamakan realitas Tuhan dengan realitas segala sesuatu yang ada, karena sebagai Krisna ia mengatakan, “Segala apa yang ada memiliki keagungan, keindahan, dan kekuatan, ketahuilah semua itu menjelma dari awal bagian fragmenKu” (10.41). Dan dalam ayat berikutnya, dia menekankan lagi bahwa dia hadir dalam segala sesuatu, keberadaannya melebihi mereka, mengatakan, “Alam semesta diliputi olehKu dengan wujudku yang tak-nyata.” Dalam ayat lain Krisna mengatakan bahwa dunia bergantung padanya, keberadaannya adalah independen dari dunia, mengatakan, “Semua makhluk ada padaKu tetapi Aku tidak berada pada mereka”(9.4).
Bab kesebelas Gita dengan jelas menunjukkan pengertian Hindu bahwa kepenuhan Allah adalah melebihi pengertian manusia pada umumnya. Untuk melihat Allah, Arjuna harus dianugerahi penglihatan ilahi oleh Krisna, dimana ia harus diberikan sebuah mata ilahi. Juga, visi Allah dalam seluruh kemuliaannya yang mempesona dan meliputi Arjuna, membawanya untuk meminta Krisna menuntut satu wujud yang lebih kecil.
Para pemuja Krisna tahu bahwa dalam keberadaanya, Wisnu mengatasi segala wujud, tinggal tanpa dipahami oleh umat manusia. Akan tetapi mereka juga tahu bahwa dalam kebaikannya dan lewat rahmatnya, dia tampak dalam wujud yang dapat berelasi di dalam kemanusiaan mereka. Dengan demikian, mereka menerima realitas inkarnasinya dengan serius, tahu bahwa Allah sungguh hadir dalam manifestasinya yang beragam. Akan tetapi lewat tanda yang sama, mereka tahu bahwa manifestasi-manifestasi yang beragam ini adalah simbol-simbol realitas yang tertinggi, bukan kekekiruan atas realitas tertinggi dirinya. Hal ini adalah pengetahuan yang memungkinkan umat Hindu mengakui keberadaan banyak dewa karena semua adalah bentuk-bentuk yang berbeda secara sederhana dari suatu realitas tertinggi. Akan tetapi ketika Allah mengambil bentuk manusia, misalnya sebagai Krisna, maka manusia dapat berelasi dengan cara langsung dan personal. Dalam wujud personal, Krisna mengundang manusia untuk datang kepada-Nya dalam kesetiaan cinta, menggerakkan diri mereka ke dalam perlindungan cintanya.
Krisna dari Vrindavana
Krisna yang berevelasi kepada Arjuna dalam Gita mungkin sangat mengerikan dalam kekuatan dan kemegahan yang mengagumkan sehingga sulit untuk mendekatinya dalam cinta yang setia. Jarak antara Tuhan yang tertinggi sebagaimana tampak dalam Arjuna dan manusia adalah terlalu jauh untuk dijembatani. Kondisi manusia membutuhkan seseorang yang rendah hati, wujud yang lebih manusiawi dari Allah untuk mencinta, sebuah wujud yang ditemukan dalam Krisna Vrindavana.
Dengan demikian, meskipun Krisna dalam Gita itu lebih besar bagi para pengikut Wisnu, akan tetapi bagi umat Hindu, Krisna Vrindavana adalah gembala Allah, yang menyatakan gambaran devosional mereka. Krisna ini diwahyukan sebagai seorang bayi kecil yang disembah, seorang anak laki-laki kecil yang lucu, seorang pemuda tampan dan penuh cinta kasih. Dalam pastoral sederhana keadaan Vrindavana, Krisna, seorang gembala yang rendah hati, mewahyukan keindahan ilahi, kegembiraan, dan cinta realitas tertinggi. Permainannya yang riang dan menggembirakan adalah suatu undangan untuk memujanya, untuk berbagi kegembiraan hidup dengannya.
Keadaan pastoral ini menyimbolkan kedekatan Allah. Kasta yang rendah-petani yang hidup di sana adalah sungguh-sungguh orang-orang biasa, yang tetap dipandang rendah baik dari ritual dan kitab suci Vedis karena pembagian kasta. Mereka tidak mempraktekkan asketisme atau meditasi. Mereka bergembira dalam keindahan dan kesucian realitas sehari-hari dimana mereka merasakan keindahan sekitar mereka. Biasanya, pengalaman sehari-hari bersifat suci, kehadiran yang ilahi selalu bercahaya dimana saja. Jika umat Vrindavana itu disebut umat yang khusus, hal ini karena mereka mengakui kesucian realitas yang biasa dan membuka hati mereka untuk cinta ilahi yang memancar lewat seluruh eksistensi.
Krisna ini adalah keadaan Vrindavana yang biasa biasa saja. Sebagai seorang anak, dia bermain dengan anak-anak gembala lain, dan sebagai seorang pemuda, dia mencintai gadis-gadis gembala. Dia tidak didekati sebagai Tuhan, tetapi sebagai seorang yang sama dengan mereka untuk berbagi cinta dan kegembiraan yang sama. Pencerita senang menggambarkan rahmat dan ketampanan Krisna kecil yang menakjubkan. Permainan dan cintanya menjadi topik ratusan cerita. Kekanak-kanakan dan kenakalannya pun mulia, karena ini menyimbolkan kegembiraan permainan ilahi dan kegembiraan eksistensi.
Visi Allah sebagai seorang anak kecil yang bermain dengan bebas dan sangat gembira memungkinkan umat Hindu menekankan pentingnya spontanitas, permainan, dan kegembiraan dalam kehidupan manusia; ini menyiratkan bahwa hidup ini ada untuk dirayakan. Krisna anak yang ilahi, mengatakan pada dunia bahwa hal yang sangat esensial dan yang ilahi adalah sebuah permainan dan kegembiraan yang luar biasa. Dan karena dia adalah seorang anak kecil, dia dapat didekati secara langsung dan terbuka, tanpa ritual formal dan ketakutan.
Kali
Seperti Wisnu dan Siwa, dewi Kali hadir dalam wujud yang berbeda bagi para pemujanya. Sebagai personifikasi kematian dan kehancuran, ia berpenampilan seram dan mengerikan. Akan tetapi sebagai ibu yang ilahi, ia memberikan kesenangan dan kenyamanan cinta ibu kepada anak-anaknya. Sebagai personifikasi dari dimensi eksistensi yang mengerikan, dia menolong para pemujanya mengatasi kekerasan, penderitaan, dan kematian yang memasuki hidup setiap manusia. Menjumpai Kali dalam berbagai manifestasinya yang sangat mengerikan berarti datang berhadapan muka dengan ketidakstabilan dan kekacauan dunia untuk merasakan terornya yang tersembunyi. Namun, sebagai ibu yang agung, dia tidak hanya menyelamatkan anak-anaknya dari teror dunia tetapi meneguhkan bahwa cinta itu lebih fundamental daripada kekerasan. Ia memberikan jalan keluar dari teror-teror kehidupan ini.
Asal usul Kali tidaklah diketahui dengan jelas. Sebagai dewi yang agung, ibu dunia, dia mungkin mempunyai jejak di waktu lampau, yakni kembali ke peradaban lembah Indus sekitar tahun 2000 SM. Dewi-dewi Vedis juga mungkin memberi kontribusi bagi kodratnya, karena sebagai daya energi kesadaran dan pidato, dewi ini mengingatkan kita akan Vac, dewi pidato Vedis. Tradisi lain yang sudah hilang, mungkin juga memberi kontribusi terhadap kisah dewi yang populer ini. Teks-teks Puranas dan Tantrik memberi Kali suatu cerita mistik yang menerangkan asal usulnya dan menjelaskan kisah dan fungsinya. Kadang-kadang dia tampak sebagai bagian manifestasi Durga, salah satu dari nama dewi besar, yang terkenal pada abad pertengahan India.
Berdasarkan suatu cerita terkenal, ia memasuki eksistensinya sebagai seorang iblis perusak-kekuatan yang menghancurkan untuk menyelamatkan dewa-dewa dan memelihara dunia. Satu suku bangsa iblis berkembang menjadi sangat kuat sehingga mereka menantang supremasi para dewa, mengancam akan menghancurkan pondasi masa di dunia. Para dewa tak mungkin mengalahkan asura (iblis-iblis) ini dan mereka sungguh di ujung kekalahan, lalu para dewa memanggil kekuatan yang dahsyat dari kemarahan mereka bersama. Wajah mereka mengeluarkan seperti suatu cahaya yang menyilaukan, kekuatan ini memanifestasikan dirinya dalam wujud seorang dewi dalam pelbagai samaran, lalu datang menyelamatkan dewa-dewa ketika para iblis sudah hampir meraih kemenangan yang pasti.
Lahirnya dari kemarahan para dewa, dewi Kali memiliki kekuatan kemarahan yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh dewa-dewa itu sendiri. Kelangsungan hidup mereka bergantung padanya. Dewa-dewa mewakili kekuatan yang baik, tetapi ketika kekuatan-kekuatan ini terancam oleh asura (iblis), hanya kekuatan besar yang yang dapat menyelamatkan mereka dengan jalan membinasakan kekuatan jahat itu. Dewi Kali tampak sebagai sebuah kekuatan yang besar tidak hanya dari cerita asal-usulnya sebagai penyelamat dewa-dewa, tetapi juga dari fakta bahwa ia sering disebut shakti yang sederhana, yang artinya energi dan kekuatan. Agama Hindu memahami energi denyutan eksistensinya sebagai perempuan, sebagai Shakti, sedangkan substansi pemikirannya adalah pikiraan laki-laki, pasif dan tak berdaya. Dalam salah satu polaritas yang menjadi karakter Hinduisme, Siwa dan Shakti, prinsip-prinsip perempuan dan laki-laki tampak bekerja sama dalam menyemangati dan membangun dunia.
Meskipun Kali merupakan penjelmaan dari teror dan kemarahan, yang penuh kemarahan dan bahkan menutupi korban-korbannya dengan darah mereka sendiri, tetapi ia bukan penjelmaan dari asura (iblis), ia lebih merupakan sebuah kekuatan yang menguasai dan menghancurkan iblis itu sendiri. Jadi, meskipun penampilannya mengerikan, akhirnya ia adalah dewi yang penuh kebaikan yang datang untuk menyelamatkan para pemujanya sebagaimana ia datang menyelamatkan dewa-dewa lain. Meskipun pada kesempatan yang pantas, ia mengambil bentuk sebagai pembinasa yang besar, ia juga adalah yang primordial, yang ada tanpa dilahirkan, yang menjadi seluruh eksistensi ini dan dunia memelihara dunia ini. Itulah mengapa beberapa teks terus menggambarkan dia sebagai ibu ilahi (Mata) dan Laksmi yang cantik, dewi yang bahagia dan beruntung. Implikasinya adalah bahwa dewi yang ini mengambil wujud sebagai Kali yang menakutkan, personifikasi kematian, untuk mengatasi teror dan kematian, sehingga dengan cara demikian membuat ruang untuk kehidupan dan kebahagiaan.
Dualisme Kali ini adalah tema umum tulisan dan seni yang berkembang di sekitar dewi ini. Sebagai contoh, ada lukisan-lukisan populer menunjukkan tariannya di atas mayat suaminya. Ia mengenakan kalung untaian tengkorak manusia, serigala dan hering (simbol kematian). Kali hitam ini melakukan tarian pengrusakan yang abadi. Keempat tangannya melambangkan kekuatan ilahinya, memegang simbol kehidupan seperti simbol kematian. Dalam dua tangan kanannya, dia mengacungkan pedang dan lembing, menyimbolkan kekuatannya untuk membinasakan dan memotong tali kehidupan. Satu dari tangan kirinya memegang sebuah mangkuk simbol pemeliharaan, sementara yang lain memegang teratai, simbol kehidupan dan kesucian. Sepertinya tangan-tangannya secara serentak menawarkan kehidupan dan kematian, lalu tarian kakinya merevelasikan baik kehancuran dan kekuatan hidup. Dua tubuh ditunjukkan di bawah kaki yang menari. Siwa yang di bawah, seorang berjenggot, asketik telanjang, disentuh dengan energi kehidupan Kali, merupakan kepenuhan hidup (shava). Akan tetapi Kali yang di atas, muda dan cantik, sedang bergerak ke dalam hidup sebagai sebuah hasil dari energi ilahi, yang dia terima dari tariannya sehingga tariannya secara serentak adalah tarian kematian dan kehidupan.
Lukisan ini menimbulkan satu cerita terkenal yang dikatakan oleh satu pelayan kuil Kali di Kalighat. Menurut cerita ini, dunia sedang terancam oleh raksasa yang haus darah, benih monster yang muncul secara total dan tak terkalahkan karena dari setiap tumpahan darah hidup seribu monster jahat yang baru dan ganas, yang terus menerkam. Karena frustasi oleh monster yang tak terkalahkan, para dewa dan dewi memanggil Kali. Sesudah siap beperang melawan yang jahat dan merusak, Kali yang ganas menunggu monster dan rombongannya, melompat dan berputar diantara mereka, pedang yang bercahaya memotong mereka menjadi ribuan potong, lidahnya yang haus meminum darah mereka sebelum jatuh menyentuh tanah dan menumbuhkan ribuan monster baru. Setelah membinasakan kawanannya, Kali yang haus darah itu akhirnya menelan benih monster itu sendiri.
Lalu dia mulai tarian kemenangannya, menari dengan hiruk pikuk, sampai lupa keadaan sekelilingnya. Dia menjadi gila, di luar kontrol sehingga mengancam seluruh ciptaan. Bumi bergetar dan terjadi gempa bumi mengikuti tempo tariannya yang hiruk pikuk. Takut akan terjadi kehancuran alam semesta, para dewa memohon kepada suaminya, Siwa, meminta dia untuk mengetengahi dan menghentikan tarian liar yang merusak itu. Kali tidak mendengar permohonan suaminya, lalu melanjutkan tariannya. Akhirnya dengan nekat, Siwa menjatuhkan dirinya di bawah kaki Kali. Kali tidak sadar bahwa suaminya berada di bawah kakinya, dia sekarang menari di atas tubuh suaminya, mengancam akan membawa kematian bagi Siwa dan juga akan akhir dunia. Namun, akhirnya, dia sadar bahwa dia sedang menari di atas tubuh suaminya, lalu ia berhenti, dengan demikian selamatlah alam semesta dari kebinasaan tarian kemarahannya Menafsirkan cerita ini, pelayan memberi komentar bahwa tarian maut Kali adalah sungguh-sungguh tarian yang membinasakan yang jahat. Semua orang yang datang pada perlindungannya, bersujud di bawah kakinya, akan dia diselamatkan. Dia membinasakan yang jahat bagi mereka, sebagaimana dia lakukan bagi para dewa dan dewi, ketika Siwa menjatuhkan diri di bawah kakinya.
Bila Kali adalah sumber pelindung yang dermawan, mengapa dia muncul dalam wujud yang menakutkan dan mengerikan? Jawaban Hindu sangat jelas; gambaran ini menolong mereka untuk mengakui kehadiran yang jahat dalam kehidupan, ketakutan, teror, keputusasaan, dan kematian. Menghadapi para dewa dalam wujud mereka yang menakutkan adalah menghadapi ketakutan kita sendiri akan kesepian, teror, dan kematian dan melihat penderitaan hadir dalam seluruh eksistensi. Kali menolak kita bila kita berpura-pura melihat bahwa segala sesuatu adalah sungguh-sungguh baik adanya untuk menutupi luka dan ketakutan. Dia meminta agar kita menghadapi aspek eksistensi ketakutan karena ketakutan tidak dapat ditundukkan sebelum diakui bahwa ketakutan itu memang ada. Dengan demikian maksud Kali bukan meneror dan menakuti para pemujanya, tetapi untuk menghadapi hidup sebagaimana adanya-keindahan, damai, dan kegembiraan bercampur dengan keburukan, kekerasan, dan penderitaan. Mereka yang menerima dia, bersujud di bawah kakinya untuk meminta perlindungan, dia akan memberikan kepada mereka kekuatan dan keberanian untuk menaklukkan ketakutan, membiarkan mereka menerima kekayaan hidup yang penuh, berpartisipasi dengan tulus dalam ekspresinya total di dalam setiap momen eksistensi.
Siwa
Siwa adalah Allah yang paradoksal. Da adalah Tuhan kematian dan ciptaan secara simultan; penari kosmos dan yogi yang tak bergerak. Dia disimbolkan dengan pallus lelaki, linga, tetapi ia juga seorang asketik yang besar. Sebagai tambahan atas gambaran ini, ia juga dianggap sebagai yang mengatasi polaritas, mengatasi semua gambaran.
Sebagai “Allah yang besar” melebihi semua polaritas, Siwa bukanlah Tuhan yang berfungsi sebagai perusak, dalam persekutuan dengan Brahma sebagai Tuhan ciptaan, dan dengan wisnu Tuhan penopang kehidupan. Dia adalah satu supremasi Allah yang menyelenggarakan seluruh fungsi ini. Lebih lanjut, dia memberikan rahmat dengan jalan kenajisan dimana ia mencemarkan dirinya, tampak sebagai yang tak sempurna dan cacat di dalam ikatan diri sendiri, yang dapat digeser.
Siwa dapat mengkombinasikan fungsi seluruh dewa-dewa lain karena ia adalah kesadaran utama yang hadir dalam seluruh eksistensi. Keberadaannya itu ada dalam seluruh eksistensi. Akan tetapi ia melampaui semua ini, karena ia juga asli, tidak dapat dibedakan secara menyeluruh dari eksistensi yang diciptakan, melebihi segala wujud dan ekspresi eksistensi. Di dalam keberadaannya yang misterius, dia tidak hanya membandingkan segala sesuatu yang ada tetapi juga mengatasi eksistensi. Sebagai mahayogi, dia menjaga dan melindungi ketakberbedaan seluruh yang tak diciptakan; sebagai Tuhan agung ciptaan, Siwa penari, dia adalah energi dan irama yang membawa terus eksistensi dari rahim Brahman.
Simbol dasar Siwa, linga adalah sendi/poros alam semesta. Perluasan yang tak melebihi alam semesta, ini mendeklarasikan transendensi polaritas yang tak terbatas/terbatas dalam keberadaan Siwa. Menyimbolkan kedalaman keheningan dari prior absolut kepada ciptaan, linga secara simultan melambangkan potensi denyut dari daya kreatif kehidupan, menawarkan rekonsiliasi dari oposisi antara eksistensi yang termanifestasi dan Brahman yang tidaktermanifestasi. Bahwa Siwa itu adalah Tuhan tarian dan mahayogi menunjukkan bahwa dia mengatasi oposisi antara imanen dan transenden.
Tuhan Sebagai Penari
Untuk merasakan bagaimana Siwa mengkombinasikan fungsi ciptaan dunia, pembangunan, dan kerusakan sementara pada saat yang sama melebihi polaritas, sangat menolong untuk menguji gambarannya sebagai Tuhan tarian (Nataraja). Menari dalam bunyi api, Siwa mewujudkan energi kreatif utama dari eksistensi. Irama tariannya dan energi gerakannya mentransformasikan energi primordial ke dalam kehidupan. Seluruh alam semesta adalah efek dari tarian abadi Siwa, yang secara simultan mencipta dan menghancurkan dunia tanpa suatu akhir proses.
Dalam telapak tangan kirinya, Siwa memegang lidah api, mewakili kekuatan destruktif yang sudah lama diasosiasikan dengan dewa ini. Nyala yang berkedap-kedip menandakan perubahan yang dihasilkan oleh kekuatan destruktif. Di atas tangan kanannya ada gendang yang dilengkapi dengan irama tarian, irama ciptaan. Ini menyimbolkan getaran bunyi abadi eter ruangan untuk menimbulkan revelasi dan kebenaran, dan pertama wujud eksistensi yang pertama. Kedua kekuatan yang berlawanan ini, kreatifitas mengejawantah dalam suara dan destruksi mengejawantah dalam api, dimana keduanya saling melengkapi. Dalam keseimbangan yang harmonis, mereka merupakan ciptaan dan kehancuran yang berlanjut, yang mengkarakterisasi seluruh eksistensi.
Tangan kanan yang lebih rendah tampil dalam gerak tradisional yang mengandung makna “jangan takut”, menunjukkan bahwa kosmos ini, tarian ciptaan dan kehancuran tidaklah perlu ditakuti. Dan tangan kiri bagian bawah menunjukkan kaki kiri yang terangkat, yang menunjukkan bahwa ini sungguh-sungguh tarian kebebasan. Para pemujanya tahu bahwa lewat penyembahan pada kaki Siwa yang terangkat, mereka akan mendapat perlindungan dan keselamatan, menunjukkan bahwa kebodohan harus dibasmi untuk mencapai kebijaksanaan sejati yang membawa pembebasan dari perbudakan.
Sebagaimana Siwa menari di dunia dalam kehidupan, memeliharanya, dan menarikan keluar dari kehidupan, dia melepaskan kabut ilusi yang menyerahkan kita ke dalam eksistensi menjadi realitas mendasar. Pergerakan dan simbol-simbol tarian direvelasikan menjadi tak satu pun dari yang lain daripada manifestasi diri Siwa; ciptaan, kehancuran, pembangunan, persembunyian, dan kemurahan pembebasan ilahi. Tangan dan gendang mewakili ciptaan, tangan dengan nyala api mewakili kehancuran dan gerak “jangan takut” mewakili pembangunan realitas dan kaki yang tertanam di atas kebodohan iblis melambangkan persembunyian realitas dan kaki yang terangkat menandakan kemurahan ilahi yang mungkin membebaskan.
Sementara itu energi tarian dengan segera merebut perhatian kita, ketika kita mulai melihat tarian sebagai keseluruhan, lebih daripada wujud dalam termnya yang penuh gerakan, perhatian kita tergambar pada pusat gambaran. Di sana, kita melihat dengan kagum wajah Tuhan yang tenang, independen tarian. Wajah tenang yang membahagiakan ini, dan pekembangan kepala menandakan transenden ruang dan waktu Siwa dan eksistensi yang hiruk pikuk. Senyum batin yang indah menawarkan kedamaian kekusyukan, ke dalam realitas yang lebih dalam dimana semua polaritas direkonsiliasi dalam suatu harmoni.
Bunyi api yang suci yang melengkapi penari melambangkan baik kesucian eksistensi dan kehancuran ketidaktahuan. Dengan penghancuran ketidaktahuan, dilepaskan perbudakan kepada waktu dan pertukaran. Lalu bunyi api juga menawarkan proses pemurnian dimana penari dilepaskan dari tarian.
Siwa sebagai Tuhan tarian adalah penjelmaan energi total dari manifestasi kehidupan dan segala wujudnya. Akan tetapi wajahnya, yang mana adalah wajah wajah asketik, menjelmakan perdamaian dan ketenangan dari pemenuhan dirinya yang mengatasi dualisme manifestasi kehidupan. Siwa adalah tubuh tarian dan wajah yang damai. Gambaran ini menyatakan kepada kita bahwa energi dan substansi, manifestasi dan nonmanifestasi, transenden dan imanen, pada akhirnya adalah realitas yang satu dan sama. Dalam Siwa semua polaritas didamaikan dalam satu yang lebih besar.
Siwa Sebagai Simbol Yang Tidak Mewujud
Pasangan fundamental yang berlawanan yang berekonsiliasi dalam Siwa adalah ciptaan, manifestasi realitas pada satu pihak dan non ciptaan, nonmanifestasi realitas di pihak lain. Hinduisme bertendensi melihat asal mula, realitas yang tak diciptakan sebagai yang utama, ciptaan manifestasi adalah sejenis kemerosotan keseluruhan ketidakberbedaan yang primordial, dan hal tersebut menurunkan ke level realitas yang lebih rendah. Bila kita melihat Rudra, Weda sebagai sejenis proto (awal) Siwa, maka ada suatu mitos yang sangat kuno dimana kehadiran Siwa baik sebagi penjaga dari yang tertinggi, realitas yang tak diciptakan dan karena dia mengijinkannya untuk turun, penjaga eksistensi ciptaan yang baik.
Berdasarkan cerita ini, Rudra, si pemanah yang hebat, melindungi yang asli, realitas yang tak diciptakan, melindunginya dari berbagai usaha untuk mentransformasikan ke dalam eksistensi yang nyata. Secara tiba-tiba, ia melihat Bapa, sang pencipta bersiap untuk menanam benih realitas yang tidak nyata ke dalam rahim ibu kehidupan sehingga kehidupan yang diciptakan dapat lahir terus. Rudra menerbangkan panah untuk menghancurkan Bapa sebelum ia menyelesaikan aksinya. Akan tetapi ia terlambat, benih ciptaan telah tertanam, karena panahnya, panah waktu dirinya, memberikan dimensi yang diperlukan ciptaan untuk terjadi, Rudra tanpa disengaja menjadi penyebab ciptaan, dia sedang mencoba untuk mencegah. Sebagaimana aslinya, sebagai penjaga yang tidak diciptakan, dia mencoba mencegah ciptaan utnuk terjadi, dimana sekarang realitas melampaui wujud ciptaan, tugasnya sebagai penjaga untuk melindungi ciptaan mengejawantahkan wujud eksistensi yang beragam. Kosmos tarian Siwa, sebagaimana kita telah lihat, menghancurkan wujud lama eksistensi sebagaimana menciptakan yang baru. Dalam dualisme ini, menghancurkan dan menciptakan, dia memelihara eksistensi yang dia ijinkan untuk diciptakan. Meskipun secara orisinal, penjaga dari yang tak diciptakan, dia sekarang menjadi pelindung ciptaan, dia menari dalam kehidupan, Tuhan dan pelindung seluruh ciptaan.
Simbol awal Siwa, linga, diperoleh dari kandungan eksistensi yang diciptakan kepada realitas primordial (dasar) yang tak kelihatan, realitas yang diciptakan, meliputi baik dimensi kemanusiaannya, transenden dan imanen, tidak diciptakan dan diciptakan. Sebagai tuan tarian, dia menyimbolkan energi ciptaan sebagai Mahayogi mengajak ke dalam praktek asketik, dia datang melebihi kesadaran yang tak terbedakan yang mencakup primordial, realitas yang tak diciptakan, menarik kembali fungsinya sebagai penjaga dari yang tak diciptakan.
Ketika hal ini menjadi populer, dalam tradisi akhir-akhir ini, memikirkan energi eksistensi yang kreatif sebagai perempuan, sebagai shakti yang ilahi, Siwa divisualisasikan secara teratur dengan pasangan ilahi, seringkali Parvati, pasangannya yang tak terpisahkan, energi eksistensi yang kreatif. Akan tetapi karena Siwa adalah aktual, dia juga dilukiskan sebagai kombinasi dalam pribadi sendiri baik laki-laki abadi dan perempuan abadi. Sebagai yang setengah laki-laki dan setengah perempuan (ardhanaraishvara) dia mendamaikan dengan jelas polaritas eksistensi laki-laki/perempuan dalam keberadannya.
Namun banyak mitos dan gambaran dan nama yang tidak terbilang jumlahnya yang diberikan kepada Siwa untuk menggambarkan dewa yang besar ini. Sebagai hidup dari seluruh yang ada dan dasar dari seluruh eksistensi yang mengatasi segala nama dan bentuk, tidak ada nama dan bentuk yang dapat mendefenisikannya. Siwa yang kekal selalu merupakan Yang tak menjelma dan tak terlihat dalam keberadaannya yang tertinggi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar