Jumat, 14 Maret 2008

Feminisme Radikal Libertian

FEMINISME RADIKAL LIBERTIAN
Suatu Tinjauan Epistemologi

Eddy Suranta

I. PENDAHULUAN
Manusia. Entah sejak kapan manusia dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Pembedaaan manusia ke dalam manusia laki-laki (men) dan manusia perempuan (women) telah membawa dampak bagi manusia. Perjalanan sejarah manusia menunjukkan bahwa pembedaan keduanya telah membawa adanya pihak yang merasa lebih dominan (berkuasa).
Meskipun dalam sejarah manusia perempuan pernah berperan lebih penting (dominan) dalam kehidupan manusia , namun kenyataan sekarang menunjukkan bahwa laki-laki lebih d
ominan daripada perempuan. Laki-laki berhasil menempatkan diri sebagai pihak yang lebih dominan (berkuasa) dibandingkan perempuan. Dalam kenyataan ini perempuan seringkali menjadi korban pembedaan (ketidaksetaraan) ini.
Menanggapi situsi ini, muncul pemikiran dan gerakan menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pemikiran ini dikenal dengan feminisme. Feminisme sebagi pemikiran (filsafat) dan gerakan dapat dilacak sejarah kelahirannya dalam sejarah kelahiran abad pencerahan di Eropa. Feminisme sebagai pemikiran sudah mengalami banyak perkembangan baik dari segi sejarah (gelombang feminisme) maupun dari segi pemikirannya sendiri (teori/filsafat feminis).
Feminisme sebagai pemikiran muncul dengan masing-masing teori. Ada feminisme Liberal, Radikal, Marxis, dan sebagainya. Semua pemikiran ini mengklaim diri sebagai “pihak” yang benar. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa semua pemikiran ini mempunyai dasar pandangan dan metode masing-masing. Pemikiran ini juga seringkali muncul sebagai kritik atas pemikiran yang lain.
Perkembangan feminisme tidak pernah lepas dari epistemologi sebagai filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu yang menelaah secara kritis (telaah kritis) sesuatu pemikiran . Epistemologi memainkan peran untuk “melihat” suatu pemikiran feminisme. Pemikiran feminisme ini dibangun atas dasar teori-teori pengetahuan (epistemologi) feminisme.
Tulisan ini mencoba menelaah pemikiran feminisme radikal libertian yang berupa pandangan, cara, dan dasar pemikiran mereka. Tinjauan epistemologi ini mencoba menelaah sejauh mana “kebenaran” pemikiran feminisme radikal libertian ini sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan. Untuk itu kita perlu terlebih dahulu mengerti apa itu feminisme khususnya feminisme radikal libertian.
Feminisme adalah suatu ideologi pembebasan perempuan karena dalam pendekatannya ada keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya . Karena itu, perempuan harus berjuang untuk mencapai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Pengertian ini menggabungkan perjuangan persamaan hak bagi perempuan dan sebuah perjuangan perubahan sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan melampaui persamaan sosial sederhana. Dewasa ini, feminisme sebagai suatu ideologi sudah menjadi gerakan yang terorganisir.
Feminisme juga dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran atau teori kritis, bukan filsafat dalam pengertian konvensional. Akan tetapi, apabila pengertian filsafat diperluas lagi menjadi cara bertanya dan berpikir yang radikal dan bebas, maka feminisme pun bisa dimasukkan sebagai salah satu aliran filsafat . Feminisme sebagai sebuah pemikiran sangat beranekaragam. Hal ini seiring dengan banyaknya para pemikir dalam feminisme yaitu para feminis. Berikut ini adalah beberapa pemikiran feminis yaitu: feminisme liberal, feminisme radikal, femisme Marxis, dan feminisme eksistensialis. Dalam tulisan ini akan dibahas satu pemikiran saja yaitu feminisme radikal yang ditinjau dari perspektif liberal. Selanjutnya pemikiran ini akan dikenal dengan feminisme radikal libertian.
Pemikiran radikal libertian ini beranggapan bahwa faktor utama yang meyebabkan penindasan terhadap perempuan adalah sistem seks/gender. Sistem seks/gender ini kemudian dijadikan sebagai sistem oleh masyarakat yang dikenal dengan sistem patriarkal. Sistem ini ditanamkan dalam diri manusia, laki-laki dan perempuan dan struktur tertentu ditanamkan dalam diri mereka sehingga mereka menganggap sistem ini sebagai hakekat manusia itu sendiri. Sistem ini dijadikan sebagai kebiasaan hidup sehingga menjadi budaya yang dikenal dengan budaya patriarkal. Feminisme radikal libertian memandang sistem seks/gender yang sudah menjadi budaya (patriarkal) itu harus dihapuskan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

II. DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Menurut feminis radikal libertian, Gayle Rubin, sistem seks/gender adalah suatu rangkaian pengaturan, yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia . Masyarakat membuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin. Ini berarti bahwa sistem seks/gender adalah buatan masyarakat.
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki untuk membangun serangkaian identitas maskulin dan feminin yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Dalam proses mencapai ideologi ini, masyarakat patriarkal berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya ini adalah alamiah. Konstruksi ini seakan-akan menjadi kodrat manusia padahal ini hanyalah buatan manusia.
Konstruksi budaya seperti ini dapat kita saksikan dalam kehidupan masyarakat kita karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham patriarkal yang memandang laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan. Akan tetapi, masyarakat Indonesia tidak mengangggap situasi ini sebagai sebuah penyimpangan. Masyarakat memandang hal ini sebagai kodrat manusia. Pandangan seperti inilah yang menambah beban dan penderitaan perempuan.
Konstruksi budaya ini menghasilkan ideologi gender yang berdampak pada ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan dimarjinalkan, perempuan disubordinasikan, perempuan ditindas secara seks dan psikologi adalah beberapa bentuk ketidakadilan itu. Sebagai contoh, dalam bidang karya perempuan identik dengan wilayah domestik yaitu pekerjaan seputar rumah tangga seperti dapur dan mengurus anak sedangkan laki-laki berkarya di luar rumah. Bahkan dalam masyarakat Jawa ada istilah masak (masak), macak (bersolek), dan manak (melahirkan anak) untuk bidang pekerjaan perempuan.
Antara jenis kelamin dan gender sebenarnya tidak ada hubungan yang pasti dan saling mempengaruhi. Akan tetapi, masyarakat patriarkal berhasil membuat hubungan antara keduanya. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa perempuan itu pasif dan laki-laki aktif. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat patriarkal sangat membedakan sifat antara laki-laki dan perempuan. Bagi mereka, seorang perempuan harus memiliki sifat yang penuh kasih sayang, lembut, penurut, setia, ceria, ramah, dan sifat lain yang menunjukkan kefemininan. Sebaliknya, seorang laki-laki haruslah kuat, agresif, ambisius, perkasa, dan ciri lain yang menunjukkan kemaskulinan. Situasi ini menyangkal kenyataan adanya ada sifat maskulin dan feminin dalam diri setiap pribadi.
Para feminis libertian berpendapat bahwa situasi yang membedakan laki-laki dan perempuan ini harus dihancurkan. Cara perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak tersebut adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif. Perempuan haruslah mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri mereka karena perempuan memang tidak berbeda dengan laki-laki.

III. POKOK-POKOK PEMIKIRAN FEMINIS RADIKAL LIBERTIAN
3.1 Seksualitas
3.1.1 Karakter Penindasan Seksualitas
Pada dasarnya perempuan mempunyai hak untuk menikmati dan melakukan kegiatan seks yang aman. Mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang menyangkut diri mereka tanpa mengalami diskriminasi atau penindasan dari pihak lain (laki-laki). Akan tetapi sistem dan budaya masyarakat patriarkal seringkali meniadakan hak-hak perempuan ini. Pandangan-pandangan mereka tentang seks telah menghilangkan hak dan kebebasan perempuan dalam hal seksualitas mereka.
Adanya penindasan dan diskriminasi ini sudah membudaya sehingga dianggap apa yang terjadi selama ini adalah hal yang wajar. Perempuan tidak dapat lagi merasakan penindasan itu sebagai penindasan. Laki-laki menanamkan pandangan itu secara kuat dan mengakar. Contoh pandangan yang membawa penindasan terhadap perempuan adalah pandangan tentang sifat hubungan seks, cara hubungan seks, dan orgasme.
Kepada perempuan selalu ditekankan bahwa hubungan seksual itu harus selalu heteroseksual yakni melibatkan laki-laki. Padahal perempuan dapat melakukan aktivitas seksual tanpa kehadiran laki-laki karena perempuan mempunyai vagina dan klitoris yang berbeda secara fungsional.
Dalam konteks ini, inisiatif melakukan kegiatan seks harus selalu dari laki-laki (aktif), sedangkan perempuan hanya menunggu (pasif). Dalam masyarakat patriarkal seperti ini, perempuan dapat dianggap “perempuan nakal”, atau “perempuan yang enggak benar” bila inisiatif hubungan seks berasal dari mereka. Padahal kalau keinginan melakukan hubungan seks itu muncul dari laki-laki maka tidak ada alasan bagi perempuan untuk menolak. Karena, penolakan perempuan dapat membuat laki-laki marah dan biasanya diikuti oleh ancaman atau tindakan kekerasan. Akibatnya perempuan menjadi korban.
Cara berhubungan seks juga menjadi sumber penindasan bagi perempuan. Dalam masyarakat patriarkal cara berhungan seks adalah adanya ereksi-penetrasi alat kelamin laki-laki ke dalam lubang vagina. Pandangan ini tentu saja mengungtungkan laki-laki saja. Sistem hubungan seks seperti ini menjadikan laki-laki sebagi penguasa. Perempuan harus memuaskan laki-laki dengan menunggu laki-laki-laki mencapai orgasme atau mengeluarkan sperma. Hubungan seks dianggap selesai bila laki-laki sudah mengeluarkan spermanya. Perempuan tidak diperhitungkan sebagai mitra seks. Perempuan hanya dianggap objek seks karena kenikmatan perempuan tidak pernah diperhitungkan. Padahal perempuan dapat mencapai kenikmatan seks tanpa-ereksi penetrasi alat kelamin laki-laki. Akan tetapi perempuan harus melakukan hubungan seksual itu “sebagai perempuan yang baik ”. Dengan pandangan-pandangan seperti ini perempuan berada di bawah kuasa laki-laki .
Menurut Gayle Rubin kunci kebebasan manusia, termasuk kebebasan perempuan adalah mengakhiri penindasan seksual yang berasal dari ideologi yang menggambarkan seks secara negatif. Ideologi ini menggambarkan seks sebagai dosa, penyakit, neurotik, patologi, polusi, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan hakekat seks itu . Ia menekankan agar represi seksual dibangun atas dasar esensialisme seksual yaitu kepercayaan bahwa hubungan seksual adalah kekuatan alamiah, yang hadir sebelum adanya kehidupan sosial. Seksual adalah suatu bagian hidup yang harus dikendalikan.
Keterbukaan seksual merupakan kepentingan perempuan dan laki-laki. Seks perempuan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan hasrat dan kebutuhan seksual laki-laki. Seks adalah kebutuhan bersama bagi laki-laki dan perempuan. Seks adalah kebutuhan bagi keduanya.

3.1.2 Pornografi: Sarana Membangunkan Nafsu Seksual Yang Tertindas
Masyarakat hanya memberikan sedikit citra seksual yang sehat dan tegas sehingga perempuan cenderung mempunyai gagasan yang negatif tentang hubungan seksual. Kebudayaan kita yang fobia terhadap seks memberikan kepada perempuan citra laki-laki sebagai pemangsa seksual, binatang yang memangsa buruannya perempuan. Di sisi lain, kebudayaan kita menggambarkan perempuan sebagai penggoda seksual yang manipulatif, yang menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan laki-laki terutama uangnya .
Gambaran negatif tentang seksual telah membawa perempuan kepada situasi yang membuat mereka tertindas karena mereka tidak pernah berani untuk berbicara tentang seks. Perempuan dapat menggunakan pornografi untuk membangunkan nafsu seksual yang telah lama tertindas dan untuk menghasilkan fantasi seksual yang memberikan kenikmatan. Perempuan mempunyai hak untuk melihat sebanyak-banyaknya sesuatu yang menampilkan hubungan seksual secara terbuka karena tidak ada pornografi yang kasar dan tabu. Pornografi itu baik karena dapat digunakan untuk merasakan kenikmatan seksual bagi perempuan.
Adalah hal yang wajar bila perempuan berfantasi tentang laki-laki dan bernafsu kepadanya karena hal ini bukan hanya monopoli laki-laki saja. Pornografi itu tidak berbahaya bagi perempuan sehingga perempuan tidak perlu menolak pornografi.

3.1.3 Lesbianisme: Ciri Feminis Sejati
Di dalam esainya, The Myth of the vaginal Orgasm, Koedt mengatakan bahwa orgasme yang dirasakan oleh perempuan tepatnya berasal dari stimulus pada klitoris. Bahkan Masters dan Jhonson, dua orang ahli psikoseksual Amerika menemukan bahwa semua orgasme wanita pada dasarnya bersumber dari klitoris . Hal ini berarti peran laki-laki dapat tergantikan oleh klitoris dalam hubungan seksual untuk mencapai kepuasan (orgasme). Perempuan tidak membutuhkan laki-laki sebagai patner dalam hubungan seksual.
Kepercayaan tentang orgasme vaginal merupakan kepercayaan masyarakat patriarkal. Karena, kalau kepuasan seksual perempuan diperoleh dari vagina, maka dia akan tergantung pada laki-laki, sedangkan kalau kepuasan ini dapat diperoleh lewat klitoris maka perempuan tidak memerlukan laki-laki. Inilah dasar mengapa perempuan dapat melakukan hubungan seksual dengan sesama perempuan.
Kaum feminis radikal libertian berpendapat bahwa tidak menjadi keharusan bagi perempuan untuk melakukan hubungan seksual, kecuali mereka sendiri yang menginginkannya. Jika seorang perempuan ingin menjadi feminis yang sejati ia harus menjadi seorang lesbian, melakukan apa yang memang alamiah. Ia harus membebaskan pikirannya dari ide semu bahwa lesbian adalah penyimpangan, abnormal, sakit, gila, atau buruk.

3.2 REPRODUKSI
Feminis radikal libertian berpendapat bahwa perempuan harus menggantikan modus alamiah reproduksi dengan modus artifisial. Semakin sedikit perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat mereka gunakan untuk terlibat dalam masyarakat. Ini menyiratkan bahwa bahwa reproduksi tidak penting dan bukan menjadi keharusan bagi perempuan.

3.2.1 Reproduksi Alamiah Sebagai Penyebab Penindasan Tehadap Perempuan
Masyarakat patriarkal menempatkan hubungan seks laki-laki dan perempuan (heteroseksual) sebagai seks yang alamiah. Jenis seks ini menjadi satu-satunya cara untuk membangun keluarga lewat kegiatan seks yang bersifat prokreasi. Maka ketika perempuan memasuki hidup perkawinan, ia harus siap untuk bereproduksi. Pandangan seperti ini membawa perempuan ke dalam masalah karena kualitas perempuan diukur dari seberapa besar produktivitasnya menghasilkan anak.
Perempuan menjadi korban dari pandangan ini. Perempuan dituntut untuk menghasilkan anak. Bila perempuan tidak dapat memberikan anak bagi suaminya maka ia dianggap tidak berguna. Di lain pihak perempuan menjadi korban budaya patriarkal ketika sebuah keluarga harus mempunyai anak laki-laki. Perempuan akan terus didesak untuk hamil dan melahirkan anak. Dalam situasi seperti ini seringkali nyawa perempuan menjadi korban karena terlalu sering hamil dan melahirkan .
Adanya alat reproduksi dan tuntutan untuk bereproduksi telah menjadikan perempuan sebagi korban penindasan. Jenis kelamin mereka sebagai perempuan yang berbeda dengan laki-laki telah menjadikan mereka sebagi objek dari tuntutan masyarakat.
Dalam bukunya The Dialectic Of Sex, Shulmith Firestone mengklaim bahwa patriarki, dan subordinasi perempuan berakar pada ketidaksetaraan bilogis dari kedua jenis kelamin. Firestone menamakan ini dengan kelas jenis kelamin. Kelas jenis kelamin ini membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin. Dalam kelas jenis kelamin ini, perempuan berada pada posisi subordinasi atau posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini membawa dampak buruk bagi perempuan karena mereka selalu menjadi korban laki-laki .
Akar penindasan terhadap perempuan itu berasal dari reproduksi alamiah. Pembedaan kelas ini terjadi karena adanya pembedaan peran reproduksi. Cara membebaskan perempuan dari penindasan ini adalah dengan melakukan revolusi seksual, ekonomi, dan kebudayaan. Kemajuan dalam kebudayaan yang tampak dalam bentuk kemajuan teknologi seperti penemuan alat kontrasepsi memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan dalam perjuangan revolusi seksual. Kemajuan teknologi dapat membantu untuk mencapai revolusi seksual ini. Kemajuan teknologi mampu mengatasi keterbatasan reproduksi alamiah dengan menghilangkan pengaruh alat kelamin laki-laki terhadap alat kelamin perempuan.
Kemajuan teknologi dalam bidang reproduksi dapat membantu perempuan dari penindasan karena dengan adanya kemajuan teknologi ini perempuan tidak harus bereproduksi secara alamiah. Kemajuan teknologi seperti pembuatan bayi tabung memungkinkan “pembuatan anak” tanpa adanya reproduksi alamiah. Proses melahirkan anak oleh salah satu jenis kelamin (perempuan) harus diganti dengan proses melahirkan secara buatan. Dengan demikian pembedaan jenis kelamin akan dapat diatasi. Tercapainya kesetaraan jenis kelamin sebagai alat reproduksi dapat mengatasi penindasan terhadap perempuan.

3.2.2 Mothering
Mothering mengandung makna yang lebih dari sekedar menjadi ibu. Mothering berarti menjalankan fungsi ibu. Mothering juga berarti seseorang yang berperan sebagai ibu, atau mengasuh/membesarkan/mendidik anak sebagai ibu . Dari pengertian ini kita dapat membedakan antara mothering secara bilogis atau secara sosial. Istilah mothering ini dapat diperluas menjadi hubungan yang di dalamnya satu individu merawat dan menyayangi orang lain. Dari pengertian ini, kita dapat mengatakan bahwa sesorang tidak harus menjadi ibu biologis untuk menjadi ibu sosial.
Masyarakat patriarkal manganggap bahwa perempuan yang mengandung seorang anak adalah orang yang paling tepat untuk membesarkannya. Pandangan ini membawa pengaruh besar bagi perempuan karena masyarakat seringkali menuntut terlalu banyak dari perempuan bahakan tuntutan yang di luar kemampuan mereka. Feminis radikal libertian dengan tegas menolak gagasan mengenai ibu biologis ini.
Menurut Ann Oakley motherhood (keibuan) biologis adalah mitos. Mitos ini berdasarkan tiga keyakinan bahwa semua perempuan perlu menjadi ibu, semua ibu memerlukan anak-anaknya, dan semua anak-anak memerlukan ibunya . Semua pendapat ini adalah salah. Pertama, ibu sosial sama efektifnya dengan ibu biologis. Hal ini berdasarkan kajian bahwa banyak anak yang diadopsi dapat menyesuaikan diri seperti anak-anak yang tidak diadopsi. Kedua, anak-anak tidak membutuhkan ibu biologisnya lebih daripada ayah biologisnya. Anak-anak tidak harus dibesarkan oleh orang tuanya apalagi oleh perempuan. Seorang anak hanya memerlukan orang dewasa yang dekat dengannya, yang dapat dipercaya dan dijadikan tempat berlindung. Ketiga, dalam hal pendidikan, laki-laki tidaklah kurang dibandingkan perempuan untuk memainkan peran utama pendidikan seorang anak. Pendidikan satu anak oleh satu orang tua tidaklah lebih baik daripada sosialisasi kolektif. Karena itu, motherhood biologis adalah konstruksi masyarakat patriarkal untuk menindas perempuan.

3.2.3 Sebutan Ibu Bagi Feminis Radikal Libertian
Feminisme radikal libertian memberi perhatian terhadap ibu pinjaman atau ibu kontrak yaitu suatu pengaturan yang melibatkan pihak ketiga. Perempuan dipinjam atau dibayar untuk melahirkan anak bagi orang lain. Feminisme radikal libertian berpendapat bahwa ibu pinjaman jika ditangani secara benar dapat mempererat relasi satu sama lain. Ibu pinjaman ini dapat hidup berdampingan dengan pasangan yang mengontraknya sehingga mereka dapat bekerja sama dalam mengasuh anak itu.

IV. KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN RADIKAL LIBERTIAN
Pemikiran kaum feminis mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang ada tampak juga dalam keragaman pemikiran tentang feminisme. Para feminis mempunyai pemikiran yang berbeda. Pemikiran yang satu seringkali muncul untuk mengkritik pemikiran yang sebelumnya. Semua pemikiran ini tentu mempunyai keunggulan dan kekurangannya. Karena itu, kita harus kritis untuk menerima satu pemikiran feminis agar kita jangan jatuh pada cara pandang yang picik dan sempit.
Feminis radikal libertian sebagai suatu pemikiran juga harus kita tempatkan pada posisi yang dapat kita kritisi. kita tidak dapat menyangkal bahwa pemikiran ini telah turut membantu perkembangan feminis di dunia bahkan di Indonesia. Pemikiran ini juga telah berjasa untuk mencapai usaha kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata akan timbulnya pengaruh yang kurang baik terhadap kehidupan umat manusia. Karena itu pemikiran feminis radikal libertian ini juga mempunyai “kelemahan.”

4.1 Keibuan Adalah Kodrat
Feminis radikal libertian berpandangan bahwa seorang perempuan tidak harus menjadi ibu. Bahkan seandainya menjadi seorang ibu, ia tidak harus menjadi ibu biologis bagi anak-anaknya. Menjadi ibu sosial sudah cukup. Ini menandakan adanya penolakan mereka untuk menjadi ibu.
Pemikiran ini memang mempunyai tujuan yang baik yakni untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi cara mereka ini bukanlah cara yang baik. Feminis radikal libertian menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Satu hal yang tidak dapat disangkal bahwa menjadi ibu adalah jati diri bagi perempuan. Setiap perempuan mempunyai peran sebagi ibu dalam kehidupan ini. Peran ini tidak akan pernah dapat digantikan oleh laki-laki secara sempurna sebagaimana perempuan melakukannya. Laki-laki mempunyai peran sendiri dalam kehidupan ini.
Memang, adanya pembedaan ini telah dimanfaatkan oleh satu pihak (laki-laki) untuk menekan pihak yang lain (perempuan). Akan tetapi penindasan yang ada ini bukanlah kodrat adanya laki-laki dan perempuan. Sejak semula laki-laki dan perempuan ada sebagai manusia yang mempunyai kedudukan yang sama. Bahkan bagi orang beriman, Allah tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan . Laki-laki dan perempuan mempunyai keunikan sendiri untuk saling melengkapi. Alam pun tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan. Penindasan yang ada adalah manipulasi budaya patriarkal, buatan manusia sendiri.
Jadi, untuk menentang penindasan ini tidak harus menentang jati diri laki-laki dan perempuan yang mempunyai peran sendiri. Penindasan itulah yang harus ditentang, bukan peran perempuan menjadi ibu.

4.2 Radikalisme Membawa Kebencian Terhadap Laki-Laki
Feminis radikal libertian bertujuan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tujuan ini sangat baik dan tepat karena kesetaraan ini memang menjadi bagian penting untuk hidup manusia, baik sebagai laki-laki dan perempuan. Kesetaraan yang ada akan membawa kebahagiaan dan keharmonisan bagi laki-laki dan perempuan. Tujuan yang hendak dicapai ini dapat menjadi salah arah ketika dijalankan dengan cara yang keliru.
Pemikiran feminis radikal libertian telah membawa pengaruh yang kurang baik bagi keharmonisan hidup laki-laki dan perempuan. Keradikalan pemikiran mereka telah menghasilkan perempuan-perempuan yang membenci laki-laki. Para feminis radikal libertian menganggap laki-laki sebagi musuh atau pihak yang harus dihadapi. Mereka tidak menganggap penting keberadaan laki-laki dalam hidup mereka. Laki-laki dianggap sebagai saingan yang harus disingkirkan dalam kehidupan ini. Kalau demikian, di mana keharmonisan hidup dapat terwujud kalau ada persaingan yang saling mengalahkan, kebencian yang ingin melenyapkan yang lain?

4.3 Hilangnya Budaya Kehidupan
Laki-laki dan perempuan adalah manusia pewaris kehidupan ini. Laki-laki dan perempuan bekerja sama untuk membentuk kehidupan baru lewat proses reproduksi. Perkawinan untuk membuat keturunan baru adalah kodrat dari makhluk hidup di alam ini termasuk hewan dan tumbuhan. Dalam hal ini manusia mempunyai tanggung jawab yang besar. Reproduksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tugas mereka melestarikan kehidupan ini.
Feminis radikal libertian yang menganggap reproduksi sebagai kutukan merupakan bentuk penolakan terhadap tugas melestarikan kehidupan. Mereka menentang reproduksi dan ini berarti hilangnya budaya kehidupan. Adanya pemikiran menentang reproduksi berarti mengingkari peran perempuan untuk mewariskan kehidupan ini. Di sini tampak bahwa kebenaran pemikiran feminis radikal libertian ini bersifat parsial karena hanya memandang sesuatu hal secara sepihak dan tidak menyeluruh. Kebenaran sebagai kebenaran haruslah bersifat universal. Apa jadinya perjuangan mereka kalau kehidupan di dunia ini akan musnah. Hal ini berarti bahwa pemikiran mereka utopis. Pemikiran ini hanya mengandung kebenaran sejauh dalam pemikiran atau bayangan yang sulit terwujud dalam kehidupan nyata.

V. PENUTUP
Feminisme radikal libertian sebagi sebuah pemikiran tentu saja mempunyai cara, pandangan, dan dasar pengetahuan tertentu. Akan tetapi feminisme radikal libertian tetap dapat dikritisi. Dalam tulisan ini, epistemologi sebagai disipilin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis sudah memainkan fungsinya untuk mendapatkan “kebenaran” pengetahuan.
Feminisme radikal libertian sebagai suatu pemikiran tentu mempunyai tujuan yang baik. Akan tetapi kenyataan dalam prakteknya pemikiran ini tidak mudah untuk diwujudkan. Ada hal-hal yang harus dikritisi (ditolak). Pada bab IV, fungsi evaluatif dan kritis epistemologi sudah dijalankan.
Terlepas dari keradikalannya, feminisme radikal libertian sebagai sebuah pemikiran sudah memainkan perannya untuk mencapai kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan. Tujuan ini memang sangat penting untuk diwujudkan karena perempuan dan laki-laki adalah mitra yang sepadan untuk berdampingan dalam kehidupan ini.
Feminisme sebagi sebuah pemikiran dan gerakan memang mempunyai kelemahan dan kekurangan. Pemikiran ini juga seringkali berbenturan dengan pemikiran dan ideologi lain. Kita dapat saja menolaknya bila kita tidak menyetujuinya. Akan tetapi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan kodrat manusia adalah ideal yang harus kita wujudkan bersama sebagai umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Adrina, dkk., Hak-Hak Reproduksi Perempuan Yang Terpasung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998.

Brooks, Ann, Posfeminisme & Cultural (judul asli: Posfeminism: Feminism, Cultural Theory and Cultural Form) diterjemahkan oleh S. Kunto Adi Wibowo, Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Budiman, Arif, Pembagian kerja secara seksual Jakarta: Gramedia, 1985.

Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

LAI, Alkitab, Jakarta, 1992.

Paulus, Paus Yohanes II, , Mulieris Dignitatem (Martabat Kaum Wanita), terj. Kondrad Ujan, Jakarta: Departemen Dokementasi dan Penerangan KWI, 1994.

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought: pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran Feminis Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Utami, Ayu, Si Parasit Lajang, Jakarta: Gagas Media, 2004.

1 komentar:

askkenapa mengatakan...

Berikut konten yang terelasi dengan materi Anda: "Mengacu pada apa yang dipercayai feminisme perihal gender, seperti yang ditulis dalam buku yang berjudul: ‘Iluminasi Kehidupan Sosial’ dan ‘Tubuh yang dikonstruksi Secara Sosial berdasarkan Teori Feminis’ pada dasarnya feminis mengatakan bahwa gender pria dan wanita dibentuk berdasarkan konstruksi sosial, bahwa pria sebagai yang dikatakan maskulin dan wanita yang dikatakan feminin, keduanya dipandang sebagai bentuk dari faktor sosial semata. Feminis tidak menyetujui bahwa kondisi fisik yang amat berbeda secara nyata membentuk sisi maskulin untuk pria dan sisi feminin untuk wanita. Feminis tidak akan melansir pernyataan bahwa pria pada umumnya memiliki kekuatan fisik yang mengungguli wanita." Sumber buku: Awaken The Giant - Bangkitnya Revolusi Sosial Dunia. Sulianta, Feri. 2016. link sampel sumber: http://www.leutikaprio.com/produk/110218/sosial_politik/16121439/awaken_the_giant__bangkitnya_revolusi_sosial_dunia/16117916/feri_sulianta