Minggu, 16 Maret 2008
Otonomi Daerah sebagai Peluang Menuju Otonomi Manusia
Otonomi Daerah sebagai Peluang Menuju Otonomi Manusia
Eddy Suranta S.
Beberapa waktu lalu di milis Komunitas Karo hangat dibicarakan mengenai pembentukan pemerintahan baru di Brastagi. Pembentukan pemerintahan kota merupakan suatu usaha untuk memisahkan diri dari kabupatn karo. Ada berbagai tanggapan yang muncul. Ada yang setuju dan ada yang menolak.
Rencana pembentukan Pemkot Brastagi merupakan satu efek dari euphoria otonomi daerah yang digulirkan sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto. Kita bias melihat banyak wilayah/daerah berlomba-lomba membentuk pemerintahan sendiri, baik kabupten maupun kota.
Saya tidak ingin masuk dalam polemik yang beredar saat ini antara pro dan kontra. Saya hanya ingin menggugah kita melihat sejauh mana hakikat OTDA dari sudut pandang yang berbeda dari apa yang dipersoalkan selama in yakni seputar KEKUASAAN.
Otonomi Daerah: Otonomi Manusia dan Peran Budaya Lokal.
Pembicaraan tentang otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah setua negara ini sendiri. Sejak awal disadari bahwa keanekaragaman budaya dan kemajeukan alam menuntut penyelenggaraan negara yang desentralistis . Namun pembicaraan mengenai desentralisasi ini mulai menghangat sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto.
Hal tentu mengundang keheranan karena sejak awal keanekaragaman itu sudah ada, namun yang dibuat adalah sentralisasi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, bahkan pembangunan. Penyebab munculnya sentralisasi ini adalah adanya pemahaman yang kurang tepat terhadap persatuan dan nasionalisme. Terjadilah penyeragaman (uniformitas) hampir di segala bidang kehidupan. Keanekaragaman dan kemajemukan dipandang secara negatif sehingga selalu dicari persamaan dan pada saat yang sama perbedaan diabaikan. Dalam konsep seperti ini muncullah kelompok yang dominan dan berpotensi menekan yang kelompok yang lebih kecil. Karena itu kita tidak heran setelah pemerintahan otoriter tumbang rakyat jatuh pada euforia kebebasan yang tak terkendali. Orang pun ramai-ramai meminta otonomi yang dipahami dengan kebebasan “yang tak terbatas.”
Kembali ke otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan sesuatu yang netral dan bahkan positif. Persolannya adalah ketika ada kelompok tertentu demi kekuasaan menunggangi otonomi daerah demi kepentinggannya menggapai kekusaan itu. Ia atau kelompok ini mengumbar banyak mimpi-mimpi kepada masyarakat. Dengan propaganda yang hebat dan jargon kebebasan mengatur daerah sendiri maka terbuailah masyarakat akan janji itu.
Karena itu bila kita berbicara mengenai otonomi daerah perlu diperhatikan dua hal berikut yakni: 1) manusia menjadi subjek yang otonom dan 2) peran budaya lokal otonomi daerah.
1. Manusia Menjadi Subjek yang Otonomi Daerah
Manusia menjadi subjek yang otonomi mengandaikan masyarakat mengerti bahwa pertama-tama merekalah yang dimaksudkan menjadi otonom dalam pembentukan otonomi daerah. manusia otonom adalah manusia yang mengerti akan hak dan kewajibannya. Setidaknya mereka mengerti bahwa hak mendasar mereka adalah hak untuk hidup, jauh dari segala bentuk ancaman dan intimidasi termasuk dari para penguasa. Mengerti kewajiban merujuk pada tanggung jawab mereka dalam kehidupan bersama.
Manusia menjadi subjek otonomi daerah mengacu pada semua manusia. Otonomi manusia ini tidak dapat diwakilkan kepada para pejabat atau penguasa. Mereka memang punya peran khusus, tapi mereka tidak pernah bisa mewakili otonomitas seluruh rakyat di daerah itu. Akan menjadi fatal kalau otonomitas manusia in direduksi oleh beberapa orang yang menamakn diri pejabat pemerintahan. Mereka tidak akan pernah mampu untuk mewakili keotonoman manusia di daerahnya karena keotonoman itu hak setiap orang.
Untuk mencapai keotonoman manusia ini perlu langkah-langkah yang baik. Masyarakat harus dipersiapkan menuju otonomi daerah. pendidikan adalah jawabanya. Manusia (baca: masyarakat) harus diberi pendidikan yang memampukan mereka menyadari keotonomannya. Mereka adalah subje-subjek otonomi daerah. mereka bukanlah objek otonomi daerah itu.
2. Peran Budaya Lokal dalam Otonomi Daerah
Sejak lama di negara kita, ada indikasi untuk membangun suatu budaya nasional. Hal ini tentu baik. Tapi persoalannya adalah ketika budaya nasional itu hanya diangkat begitu saja dari budaya lokal. Atau dengan menampilkan satu budaya lokal lalu dianggaplah itu sebagai budaya nasional. Dalam kerangka berpikr seperti ini, seringkali yang muncul adalah chauvinisme, bukan budaya nasional. Dan akibat terburuk adalah munculnya satu budaya lokal sebagai simbol budaya nasional. Kemunculan satu budaya lokal sebagai simbol budaya nasional akan mengeksklusi budaya-budaya lokal lain. Karena itu tidak usah heran kalau banyak budaya lokal yang kehilangan hakekatnya.
Pembicaraan mengenai otonomi daerah mau tidak mau harus menyentuk pembicaraan mengenai budaya lokal. Budaya lokal di sini bukanlah sekedar apa yang tradisional dan menjadi kebiasaan. Budaya lokal adalah segala sesuatu yang mengandung kebijaksanaan atau kearifan dari daerah tersebut.
Dalam konteks ini, budaya lokal mendapat perhatian penting. Disamping, aspek sosial-politik, budaya lokal menjadi salah satu penggerak otonomi daerah karena terbukti bahwa seringkali budaya lokal dengan segala kearifannya mampu memberi jawaban bagi persoalan masyarakat. Bukan hanya itu budaya lokal juga menjadi pemersatu gerak langkah pembangunan suatu daerah.
Dalam menempatkan budaya lokal dalam otonomi daerah, kita membutuhkan sikap otonom. Sikap otonom adalah sikap kritis dan kreatif. Kita perlu mengamati secara kritis budaya kita dan mencari di sana kelompok masyarakat yang dipinggirkan. Dan pada saat yang sama kita diajak untuk menggali kekayaan lama dan menciptakan kemungkinan baru di dalam budaya kita berdasarkan gagasan otonomi daerah.
Suatu Catatan Kritis
Kalau kita berbicara mengenai otonomi daerah, katakanlah otonomi daerah untuk Brastagi, sudahkah Brastagi siap? Apakah masyarakat sudah siap? Bagaimana kesiapan budaya masyarakat di sana? Tanpa mengabaikan aspek ekonomi (kekayaan/sumber daya alam), seringkali kegagalan suatu daerah disebabkan ketidaksiapan masyarakat. Ketidaksiapan masyarakat di sini merujuk pada semua elemen-elemen yang ada di daerah itu, termasuk para pejabatnya. Masyarakat biasa tidak siap karena mereka belum sepenuhnya otonom, belum mengerti hak dan kewajiban. Sedangkan para pejabat belum siap karena mereka juga belumlah menjadi pribadi yang otonom, mereka belum bisa mengatur diri (otonom = kemampuan mengatur diri). Mereka masih dikendalikan oleh apa yang disebut dengan harta (kekayaan), gengsi (kesombongan dan pemaksaan kehendak) dan kekuasaan. Ketiga hal inilah yang seringkali mengatur para pejabat, bukan diri mereka sendiri dalam keberadaannya sebagai manusia yang berakal budi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar