Senin, 02 Maret 2009

Pemikiran Fichte tentang Aku-murni dan Tiga Proposisi Dasar Filsafat

Pemikiran Fichte tentang Aku-murni dan Tiga Proposisi Dasar Filsafat

Eddy Suranta

Pertama-tama Fichte menyebut asas dasariah Filsafat adalah “inteligensi pada dirinya sendiri” yang disebutnya “Aku” atau “Ego”. Yang dimaksudkan oleh Fichte tentang Aku-murni itu adalah suatu “Aku-murni” yang melampaui “aku empiris” seorang ndividu. Yang dimaksud Aku-murni tak lain daripada kesadaran pada dirinya sendiri. Bagaimana memahami ini? Suatu ketika, Fichte menunjukkan adanya Aku-murni ini kepada para mahasiswanya. Katanya, “saudara-saudara, pikirkanlah dinding itu.” Lanjutnya, “pikirkanlah dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding itu.” Dan seterusnya. Dari proses refleksi terus menerus ini, kita lalu akan menemukan adanya sesuatu yang tetap, yaitu sesuatu yang melakukan refleksi atau objektifasi itu. Itulah aku murni! Aku murni inilah asas dasariah filsafat.

Aku murni itu, menurut Fichte, bukanlah sebuah substansi atau sebuah entitas yang melampaui kesadaran, melainkan sebuah kegiatan di dalam kesadaran. Kegiatan ini menjadi dasar seluruh kesadaran diri. Karena itu, menurut Fichte, Aku murni tak bisa dijadikan objek kesadaran, sebab dialah yang memungkinkan objektivasi itu. Dengan kata lain, Aku murni ini adalah suatu”Aku transenfental”. Aku transendental ini bukan sebuah mistik yang penuh rahasia, melainkan kenyataan yang bisa kita ketahui lewat kegiatan refleksi. Aku murni itu, oleh Fichte, pada akhirnya disamakan dengan perbuatan atau kegiatan itu sendiri. Intelegensi pada gilirannya berbuat. Karena intelegensi disamakan dengan :berbuat”, idealisme Fichte dapat disebut “idealisme praktis”.

Tiga proposisi dasar Filsafat sebagai berikut:
Pertama, Fichte membedakan antara kegiatan spontan Aku murni dan refleksi filsuf atas Aku murni itu. Keduanya adalah kesadaran, tetapi kita toh bisa membedakannya. Yang pertama adalah kesadaran yang belum disadari,maka bukan kesadaran “bagi dirinya”. Yang terakhir adalah kesadaran “bagin dirinya”, sebab sudah disadari oleh filsuf lewat intuisi intelektualnya. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa di dalam intuisi intelektual, Aku murni itu menyatakan atau menempatkan dirinya sendiri. Dalam rumusan Fichte “aku murni menempatkan dirinya sendiri”. Ini menjadi proposisi pertama atau tesis idealismenya. Selanjutnya, menempatkan diri disamakan dengan berada. Dengan kata lain, dalam intuisi intelekltual, Aku murni itu mengafirmasi diri.
Kedua, Fichte menjelaskan bahwa kesadaran baru bisa muncul kalau ada sesuatu yang bukan kesadaran. Dengan kata lain, Aku murni baru bisa disadari falam intusi intelektual kalau Aku murni itu dipertentangkan dengan suatu non-Aku, dan Non-Aku ini harus diadakan sendiri olehg Aku murni itu (kalu tidak idealisme ditinggalkan). Karena itu proposisi dasar kedua dari idealisme berbunyi: Aku murni menempatkan suatu non-Aku yang bertentangan dengannya.
Ketiga, Fichte menjelaskan bahwa non-Aku itu sama tak terbatasnya dengan Aku murni. Kalau demikian, tentu keduanya masing-masing akan saling meniadakan, sehingga kesadaran menjadi mustahil. Lalu bagaimana bisa dijelaskan bahwa dalam kenyataan kesadaran itu ternyata ada? Menurut Fichte, kesadaran muncul kalau Aku murni yang yang absolut itu dan non-Aku saling membatasi. Artinya, keduanya harus bisa dibagi-bagi menjadi aku terbatas dan non-Aku terbatas. Aku terbatas dan non-Aku terbatas ini saling berlawanan untuk menghasilkan kesadaran, dan perlawanan ini dihasilkan oleh Aku murni atau Aku absolut itu sendiri. Karena itu, proposisi dasar ketiga berbunyi: Aku murni menempatkan di dalam dirinya suatu ego terbatas yang berlawanan dengan non-ego terbatas. Dengan rumusan ini, Fichte dapat menjelaskan kemungkinan pengalaman kita menurut asas-asas idealisme. “Pohon” yang kita lihat itu “asing” itu bukan objek pada dirinya, melainkan hasil kegiatan Aku murni yang mengadakan ego terbatas (kesadaran terbatas kita tentang pohon) dalam perlawanannya dengan non-ego terbatas (pohon atau alam).

Tidak ada komentar: