Jean Paul Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme
Eddy Suranta
Ajaran sartre tidak bisa lepas dari kontetks zamannya. Awal buku eksitensialisme adalah humanisme merupakan suatu pidaro. Ia menjawab kritikan terhadap eksistensialisme. Kritik tersebut antara lain: pertama, eksistensialisme dianggap pandangan orang yang putus asa lalu manarik diri dari kehidupan sosial; kedua, eksistensialisme dipandang filsafat borjuis karena tidak transformatif sperti marxisme. Tujuan dari tulisan ini adalah, pertama mendefinisikan eksistensialisme dan membedakan antara eksistensialisme ateistik dan eksistensialisme religius (teistik); kedua, menunjukkan bahwa eksistensialisme bukan filsafat orang yang putus asa, menyendiri dan kesepian, tetapi satu jenis humanisme; ketiga, menunjukkan bahwa adalah satu jalan alternatif yang penuh semangat di antara Kekristenan dan marxisme.
Sartre berangkat dari prinsip eksistensi mendahuli esensi. Ia beranjak dari cogito ergo sum. Dari prinsip ini, ia menunjukkan bahwa esensi manusia adalah kebebasannya. Tidak ada esensi seperti digambarkan tradisi agama atau filsafat. Bagi sartre, tidak ada human nature, tidak ada sifat universal. Karena esensi universal tidak ada maka manusia tidak dibebani oleh natropologi esensialis.
Ketika manusia ingin menjadi manusia yang baik, ia sebenarnya mengalami alienasi karena asumsi antropologi yang disusun itu asing bagi manusia. Sartre juga mengatakan bahwa manusia itu adalah apa yang ia produksi setiap hari. Manusia tahu hakikat dirinya ketika ia sudah mati.
Masa depan manusia tergantung dirinya, kebebasan diberikan padanya. Ia tidak dibebani asumsi antropologi. Manusia itu adalah kebebasan. Kebebasan itu bukan karakter manusia di samping karakter lain. Kebebasan itu adalah manusia itu sendiri. Ketika manusia menjatuhkan pilihan, manusia selalu memilih yang terbaik. Ketika ia memilih yang lebih baik bagi dirinya, itu berarti lebih baik bagi manusia. Dari sinilah titik tolak tanggung jawab sosial.
Bagaimana ia merespon celaan bahwa eksistensialisme adalah bentuk pesimisme? Dengan mengetakan bahwa identitas manusia itu adalah apa yang ia produksi. Manusia adalah kebebasan. Tuduhan bahwa eksistensialisme itu pesimisme tidak beralasan, justeru manusia itu orang yang optimis. Masa depan manusia tergantung pada apa yang ia buat. Ini juga bukan sifat orang determinisme karena masa depannya tergantung pada tangannya. Tuduhan bahwa ia mempromosikan sikap pesimis justeru gagal.
Bagaimana ia merespon tuntutan bahwa ia membangun sikap subjektif, jatuh pada diri sendiri? Ketika manusia menyadari dirinya sebagai subjek “ada”, pada saat itu juga ia menyadari eksistensi subjek di luar dirinya. Ketika saya mengatakan “saya berpikir” maka pada saat itu saya menyadari diriku. Pada saat yang sama saya menyadari keberadaan orang lain. Eksistensi itu sifatnya intersubjektifitas, saling mengandaikan. Kalau saya mengklaim saya ada, maka saya juga mengklaim orang lain bahwa ia ada. Sosialitas manusia itu di sini intersbujektifitas.
Bagi sartre—yang tidak percaya human nature—satu-satunya yang universal adalah human condition (kondisi manusia). Manusia itu terlempar ke dalam dunia. Karena terlempar, ia dihukum menjadi bebas. Manusia dikondisikan oleh keterbatasan-keterbatasan. Manusia tahu sebagai budak di dalam masyarakat yang kafir atau menjadi pejabat dalam masyarakat proletarian, tetapi ada satu hal yang selalu mengikat yaitu kebutuhan untuk berada di dalam dunia, keharusan untuk bekerja dan mati. Inilah yang bersifat universal. Yang universal bukan hakekat manusia tetapi kondisi manusia.
Sartre memandang kondisi yang membatasi manusia itu bukan sesuatu yang subjektif atau objektif tetapi sekaligus subjektif dan objektif. Kita bisa menemui kondisi itu di mana-mana. Ini bisa dianggap objektif karena dialami oleh manusia, tetapi juga subjektif karena dialami oleh setiap manusia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
emmmm
Posting Komentar