Jean paul Sartre (1905-1980)
Eddy Suranta
1. Pengantar
Jean Paul Sartre, seorang eksistensialis, mengalami masa kecil yang tidak bahagia. Ia memiliki minat dalam bidang sastra dan melihat sastra sebagai agama baru yang menggantikan kekristenan. Ia bercita-cita menjadi sastrawan besar (misunderstood). Sartre dilahirkan di lingkungan agama (Katolik) tapi kelaurganya skeptis. Mereka suka memisahkan diri dari institsi komuniter. Karena itu sastra dianggap sebagai agama baru karena sastra tidak terikat pada institusi.
2. Kesadaran
kesadaran itu bersifat intensional (seiring dengan fenomenolog), menurut kodratnya terarah pada dunia. Menurut Sartre, kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. ketika kesadaran kita yang intensional hadir, di situ juga kesadaran akan diri muncul. Ketika saya menyadari ada buku, pada saat itu juga saya menyadari diri saya.
kesadaran itu adalah kesadaran diri (self consciousness). Kesadaran (akan) diri tidak sama dengan pengalaman tentang diri; mengambil diri sebagai objek pengenalan. kesadaran diri itu muncul ketika kesadaran diri terarah pada sesuatu; Pada saat itulah kesadaran itu hadir. Cogito bukanlah pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirisecara nontematis.
Kamis, 12 Maret 2009
Senin, 02 Maret 2009
Pemikiran Fichte tentang Aku-murni dan Tiga Proposisi Dasar Filsafat
Pemikiran Fichte tentang Aku-murni dan Tiga Proposisi Dasar Filsafat
Eddy Suranta
Pertama-tama Fichte menyebut asas dasariah Filsafat adalah “inteligensi pada dirinya sendiri” yang disebutnya “Aku” atau “Ego”. Yang dimaksudkan oleh Fichte tentang Aku-murni itu adalah suatu “Aku-murni” yang melampaui “aku empiris” seorang ndividu. Yang dimaksud Aku-murni tak lain daripada kesadaran pada dirinya sendiri. Bagaimana memahami ini? Suatu ketika, Fichte menunjukkan adanya Aku-murni ini kepada para mahasiswanya. Katanya, “saudara-saudara, pikirkanlah dinding itu.” Lanjutnya, “pikirkanlah dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding itu.” Dan seterusnya. Dari proses refleksi terus menerus ini, kita lalu akan menemukan adanya sesuatu yang tetap, yaitu sesuatu yang melakukan refleksi atau objektifasi itu. Itulah aku murni! Aku murni inilah asas dasariah filsafat.
Aku murni itu, menurut Fichte, bukanlah sebuah substansi atau sebuah entitas yang melampaui kesadaran, melainkan sebuah kegiatan di dalam kesadaran. Kegiatan ini menjadi dasar seluruh kesadaran diri. Karena itu, menurut Fichte, Aku murni tak bisa dijadikan objek kesadaran, sebab dialah yang memungkinkan objektivasi itu. Dengan kata lain, Aku murni ini adalah suatu”Aku transenfental”. Aku transendental ini bukan sebuah mistik yang penuh rahasia, melainkan kenyataan yang bisa kita ketahui lewat kegiatan refleksi. Aku murni itu, oleh Fichte, pada akhirnya disamakan dengan perbuatan atau kegiatan itu sendiri. Intelegensi pada gilirannya berbuat. Karena intelegensi disamakan dengan :berbuat”, idealisme Fichte dapat disebut “idealisme praktis”.
Tiga proposisi dasar Filsafat sebagai berikut:
Pertama, Fichte membedakan antara kegiatan spontan Aku murni dan refleksi filsuf atas Aku murni itu. Keduanya adalah kesadaran, tetapi kita toh bisa membedakannya. Yang pertama adalah kesadaran yang belum disadari,maka bukan kesadaran “bagi dirinya”. Yang terakhir adalah kesadaran “bagin dirinya”, sebab sudah disadari oleh filsuf lewat intuisi intelektualnya. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa di dalam intuisi intelektual, Aku murni itu menyatakan atau menempatkan dirinya sendiri. Dalam rumusan Fichte “aku murni menempatkan dirinya sendiri”. Ini menjadi proposisi pertama atau tesis idealismenya. Selanjutnya, menempatkan diri disamakan dengan berada. Dengan kata lain, dalam intuisi intelekltual, Aku murni itu mengafirmasi diri.
Kedua, Fichte menjelaskan bahwa kesadaran baru bisa muncul kalau ada sesuatu yang bukan kesadaran. Dengan kata lain, Aku murni baru bisa disadari falam intusi intelektual kalau Aku murni itu dipertentangkan dengan suatu non-Aku, dan Non-Aku ini harus diadakan sendiri olehg Aku murni itu (kalu tidak idealisme ditinggalkan). Karena itu proposisi dasar kedua dari idealisme berbunyi: Aku murni menempatkan suatu non-Aku yang bertentangan dengannya.
Ketiga, Fichte menjelaskan bahwa non-Aku itu sama tak terbatasnya dengan Aku murni. Kalau demikian, tentu keduanya masing-masing akan saling meniadakan, sehingga kesadaran menjadi mustahil. Lalu bagaimana bisa dijelaskan bahwa dalam kenyataan kesadaran itu ternyata ada? Menurut Fichte, kesadaran muncul kalau Aku murni yang yang absolut itu dan non-Aku saling membatasi. Artinya, keduanya harus bisa dibagi-bagi menjadi aku terbatas dan non-Aku terbatas. Aku terbatas dan non-Aku terbatas ini saling berlawanan untuk menghasilkan kesadaran, dan perlawanan ini dihasilkan oleh Aku murni atau Aku absolut itu sendiri. Karena itu, proposisi dasar ketiga berbunyi: Aku murni menempatkan di dalam dirinya suatu ego terbatas yang berlawanan dengan non-ego terbatas. Dengan rumusan ini, Fichte dapat menjelaskan kemungkinan pengalaman kita menurut asas-asas idealisme. “Pohon” yang kita lihat itu “asing” itu bukan objek pada dirinya, melainkan hasil kegiatan Aku murni yang mengadakan ego terbatas (kesadaran terbatas kita tentang pohon) dalam perlawanannya dengan non-ego terbatas (pohon atau alam).
Eddy Suranta
Pertama-tama Fichte menyebut asas dasariah Filsafat adalah “inteligensi pada dirinya sendiri” yang disebutnya “Aku” atau “Ego”. Yang dimaksudkan oleh Fichte tentang Aku-murni itu adalah suatu “Aku-murni” yang melampaui “aku empiris” seorang ndividu. Yang dimaksud Aku-murni tak lain daripada kesadaran pada dirinya sendiri. Bagaimana memahami ini? Suatu ketika, Fichte menunjukkan adanya Aku-murni ini kepada para mahasiswanya. Katanya, “saudara-saudara, pikirkanlah dinding itu.” Lanjutnya, “pikirkanlah dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding itu.” Dan seterusnya. Dari proses refleksi terus menerus ini, kita lalu akan menemukan adanya sesuatu yang tetap, yaitu sesuatu yang melakukan refleksi atau objektifasi itu. Itulah aku murni! Aku murni inilah asas dasariah filsafat.
Aku murni itu, menurut Fichte, bukanlah sebuah substansi atau sebuah entitas yang melampaui kesadaran, melainkan sebuah kegiatan di dalam kesadaran. Kegiatan ini menjadi dasar seluruh kesadaran diri. Karena itu, menurut Fichte, Aku murni tak bisa dijadikan objek kesadaran, sebab dialah yang memungkinkan objektivasi itu. Dengan kata lain, Aku murni ini adalah suatu”Aku transenfental”. Aku transendental ini bukan sebuah mistik yang penuh rahasia, melainkan kenyataan yang bisa kita ketahui lewat kegiatan refleksi. Aku murni itu, oleh Fichte, pada akhirnya disamakan dengan perbuatan atau kegiatan itu sendiri. Intelegensi pada gilirannya berbuat. Karena intelegensi disamakan dengan :berbuat”, idealisme Fichte dapat disebut “idealisme praktis”.
Tiga proposisi dasar Filsafat sebagai berikut:
Pertama, Fichte membedakan antara kegiatan spontan Aku murni dan refleksi filsuf atas Aku murni itu. Keduanya adalah kesadaran, tetapi kita toh bisa membedakannya. Yang pertama adalah kesadaran yang belum disadari,maka bukan kesadaran “bagi dirinya”. Yang terakhir adalah kesadaran “bagin dirinya”, sebab sudah disadari oleh filsuf lewat intuisi intelektualnya. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwa di dalam intuisi intelektual, Aku murni itu menyatakan atau menempatkan dirinya sendiri. Dalam rumusan Fichte “aku murni menempatkan dirinya sendiri”. Ini menjadi proposisi pertama atau tesis idealismenya. Selanjutnya, menempatkan diri disamakan dengan berada. Dengan kata lain, dalam intuisi intelekltual, Aku murni itu mengafirmasi diri.
Kedua, Fichte menjelaskan bahwa kesadaran baru bisa muncul kalau ada sesuatu yang bukan kesadaran. Dengan kata lain, Aku murni baru bisa disadari falam intusi intelektual kalau Aku murni itu dipertentangkan dengan suatu non-Aku, dan Non-Aku ini harus diadakan sendiri olehg Aku murni itu (kalu tidak idealisme ditinggalkan). Karena itu proposisi dasar kedua dari idealisme berbunyi: Aku murni menempatkan suatu non-Aku yang bertentangan dengannya.
Ketiga, Fichte menjelaskan bahwa non-Aku itu sama tak terbatasnya dengan Aku murni. Kalau demikian, tentu keduanya masing-masing akan saling meniadakan, sehingga kesadaran menjadi mustahil. Lalu bagaimana bisa dijelaskan bahwa dalam kenyataan kesadaran itu ternyata ada? Menurut Fichte, kesadaran muncul kalau Aku murni yang yang absolut itu dan non-Aku saling membatasi. Artinya, keduanya harus bisa dibagi-bagi menjadi aku terbatas dan non-Aku terbatas. Aku terbatas dan non-Aku terbatas ini saling berlawanan untuk menghasilkan kesadaran, dan perlawanan ini dihasilkan oleh Aku murni atau Aku absolut itu sendiri. Karena itu, proposisi dasar ketiga berbunyi: Aku murni menempatkan di dalam dirinya suatu ego terbatas yang berlawanan dengan non-ego terbatas. Dengan rumusan ini, Fichte dapat menjelaskan kemungkinan pengalaman kita menurut asas-asas idealisme. “Pohon” yang kita lihat itu “asing” itu bukan objek pada dirinya, melainkan hasil kegiatan Aku murni yang mengadakan ego terbatas (kesadaran terbatas kita tentang pohon) dalam perlawanannya dengan non-ego terbatas (pohon atau alam).
Pemikiran Filosofis J.J. Rousseau tentang Kebudayaan dan Pendidikan
Pemikiran Filosofis J.J. Rousseau tentang Kebudayaan dan Pendidikan
Eddy Suranta
Rosseau berpendapat bahwa pikiran yang tampil dalam kebudayaan, yaitu: seni, sastra, ilmu hanyalah bunga-bunga yang membuat manusia mencintai situasi perbudakannya. Dengan pendapat ini Rosseau mau menyingkapkan artifisial dari kebudayaan. Segala bentuk tata krama hanyalah selubung untuk tingkah laku yang sia-sia yang mencegah persahabatan sejati dan mebuat kita tidak lagi percaya kepada sesama kita. Segala bentuk seni dan ilmu pengetahuan lahir dari kejahatan-kejahatan kita, maka cenderung pada kejahatan. Astronomi lahir dari takhayul; geometri lahir ketamakan; fisika dari kemalasan, seni debat dari ambisi, etika dari kesombongan. Kritik Rosseau ini membalikkan keyakinan pencerahan. Bagi pencerahan kemajuan teknis sebagai kemerosotan moral. Jadi, sekiranya dia hidup pada zaman kita ini, tanpa keraguan sedikitpun dia akan mengecam ilmu dan teknologi sebagai perangsang militerisme.
Ide tentang sifat artifisial kebudayaan yang membusukkan amnusia itu dilandasi oleh sebuah pengandaian tertentu yang sangat dipuja-puja oleh Rosseau, yaitu “kodrat asali manusia”. Berbeda dari Hobbes, dia menegaskan bahwa dalam keadaan asali manusia hidup damai dan tak dihalangi oleh konvensi-konvensi yangs esat. Dia membayangkan waktu itu manusia mengembara keluar masuk rimba, tanpa industri, tanpa bahasa, tanpa rumah, tanpa keinginan untuk menyakiti makhluk-makhluk lain, dan berkedudukan sama di antara mereka. Perbedaan manusia dan hewan baginya tidak terletak pada rasionya, melainkan pada kemapuan kehendaknya yang mengatasai sifat otomatis, sebab bersifat rohani.
Seperti Hobbes, Rosseau juga membahas bagaimana terjadinya masyarakat secara perlahan-lahan. Masyarakat terjadi dengan ditetapkan hak milik pribadi. Milik pribadi inilah yang menjadi biang keladi ketidaksamaan sosial dan lenyapnya kesederhanaan asali manusia. Miliku dan milikmu adalah dasar masyarakat. Dengan lahirnya masyarakat, menurut Rosseau, munculah perang dan kejahatan-kejahatan. Ketidaksamaan sosial menyebabkan manjusia kehilangan kebebasann alamiahnya. Di sini yang dipersoalkan adalah ketidaksamaan moral dan politis, bukan ketidaksaman alamiah, sebab baginya alam tak bisa dipersalahkan dalam memberi bakat yang berbeda-beda, sedangkan kebudayaan dengan sengaja membuat manusia menderita karena ketidaksamaan ini. Kalaupun kebudayaan menciptakan kesaman, misalnya kesamaan di antara para budak dalam rejim despotis, menurut Rosseau, kesamaan ini adalah hasil korupsi keadaan asali, maka menghasilkan penderitaan belaka.
Selanjutnya, Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang dilaksanakan secara ototritatif, dengan disiplin ketat dan nyaris mekanis, menuntut kepatuhan luar biasa dari siswa. Tujuan akahirnya dalah penyeragaman tingkah laku dan informasi. Pendidikan macam itu tidak disetujui Rosseau. Dalam bukunya Emile, ou L’Education, Rosseau memperahankan kembali tessisnya bahwa manusia itu menurut kofratanya baik, tetapi lalu dibusukkan oleh kebudayaan. Salah satu elemen kebudayaan yang bertanggungjawab atas korupsi moral manusia adalah pendidikan, maka pendidikan harus ditransformasikan. Dia berpendapat bahwa daya dorong alamiah dalam diri manusia adalah cinta diri, yang juga menjadi sumber segala hasrat alamiah lainnya. Cinta diri tidak sama dengan egoisme, sebab egoisme hanya bisa ada dalam masyarakat dan bukan dalam keadaan asali. Cinta diri bersifat primitif dan sesuai dengan tatanan alam, amak baik adanya. Denga asumsi ini lalu dia menyarankan bahwa dalam pendidikan sebaiknya naluri-naluri alamiah dan rasa cinta diri anak dibiarakan berkembang bebas bukannya dibendung. Segala disiplin, khotbah, intelektualisme harus disingkirkan. Semua ini hanya menghambat perkembangan dan menanamkan prasangka ke dalam diri anak. Mendasari saran ini adalah anggapan Rosseau bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik. Katanya, segalanya baik, ketika keluar dari tangan sang Pencipta; segalanya memburuk di tangan manusia. Lagi-lagi yang dikritik di sini adalah institusi-institusi kultural yang cenderung membusukkan kodrat manusia.
Dengan mengikuti gagasan-gagsan Rosseau di atas kita menemukan sebuah gerak balik dari pencerahan. Sebagai optimisme terhadap kemajuan kebudayaan, Rosseau justru mengambil sikap pesimis atasnya. Di dalam hal ini, pemikiran Rosseau memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah filsafat modern, sebab untuk pertama kalinya sejak kemajuan ilmiah terjadi di Barat, dilontarkan sebuah kritik bukan atas dogmatisme religius dan metafisika tradisional, melainkan atas apa yang diyakini sebagai kemajuan.
Eddy Suranta
Rosseau berpendapat bahwa pikiran yang tampil dalam kebudayaan, yaitu: seni, sastra, ilmu hanyalah bunga-bunga yang membuat manusia mencintai situasi perbudakannya. Dengan pendapat ini Rosseau mau menyingkapkan artifisial dari kebudayaan. Segala bentuk tata krama hanyalah selubung untuk tingkah laku yang sia-sia yang mencegah persahabatan sejati dan mebuat kita tidak lagi percaya kepada sesama kita. Segala bentuk seni dan ilmu pengetahuan lahir dari kejahatan-kejahatan kita, maka cenderung pada kejahatan. Astronomi lahir dari takhayul; geometri lahir ketamakan; fisika dari kemalasan, seni debat dari ambisi, etika dari kesombongan. Kritik Rosseau ini membalikkan keyakinan pencerahan. Bagi pencerahan kemajuan teknis sebagai kemerosotan moral. Jadi, sekiranya dia hidup pada zaman kita ini, tanpa keraguan sedikitpun dia akan mengecam ilmu dan teknologi sebagai perangsang militerisme.
Ide tentang sifat artifisial kebudayaan yang membusukkan amnusia itu dilandasi oleh sebuah pengandaian tertentu yang sangat dipuja-puja oleh Rosseau, yaitu “kodrat asali manusia”. Berbeda dari Hobbes, dia menegaskan bahwa dalam keadaan asali manusia hidup damai dan tak dihalangi oleh konvensi-konvensi yangs esat. Dia membayangkan waktu itu manusia mengembara keluar masuk rimba, tanpa industri, tanpa bahasa, tanpa rumah, tanpa keinginan untuk menyakiti makhluk-makhluk lain, dan berkedudukan sama di antara mereka. Perbedaan manusia dan hewan baginya tidak terletak pada rasionya, melainkan pada kemapuan kehendaknya yang mengatasai sifat otomatis, sebab bersifat rohani.
Seperti Hobbes, Rosseau juga membahas bagaimana terjadinya masyarakat secara perlahan-lahan. Masyarakat terjadi dengan ditetapkan hak milik pribadi. Milik pribadi inilah yang menjadi biang keladi ketidaksamaan sosial dan lenyapnya kesederhanaan asali manusia. Miliku dan milikmu adalah dasar masyarakat. Dengan lahirnya masyarakat, menurut Rosseau, munculah perang dan kejahatan-kejahatan. Ketidaksamaan sosial menyebabkan manjusia kehilangan kebebasann alamiahnya. Di sini yang dipersoalkan adalah ketidaksamaan moral dan politis, bukan ketidaksaman alamiah, sebab baginya alam tak bisa dipersalahkan dalam memberi bakat yang berbeda-beda, sedangkan kebudayaan dengan sengaja membuat manusia menderita karena ketidaksamaan ini. Kalaupun kebudayaan menciptakan kesaman, misalnya kesamaan di antara para budak dalam rejim despotis, menurut Rosseau, kesamaan ini adalah hasil korupsi keadaan asali, maka menghasilkan penderitaan belaka.
Selanjutnya, Rosseau berpendapat bahwa pendidikan yang dilaksanakan secara ototritatif, dengan disiplin ketat dan nyaris mekanis, menuntut kepatuhan luar biasa dari siswa. Tujuan akahirnya dalah penyeragaman tingkah laku dan informasi. Pendidikan macam itu tidak disetujui Rosseau. Dalam bukunya Emile, ou L’Education, Rosseau memperahankan kembali tessisnya bahwa manusia itu menurut kofratanya baik, tetapi lalu dibusukkan oleh kebudayaan. Salah satu elemen kebudayaan yang bertanggungjawab atas korupsi moral manusia adalah pendidikan, maka pendidikan harus ditransformasikan. Dia berpendapat bahwa daya dorong alamiah dalam diri manusia adalah cinta diri, yang juga menjadi sumber segala hasrat alamiah lainnya. Cinta diri tidak sama dengan egoisme, sebab egoisme hanya bisa ada dalam masyarakat dan bukan dalam keadaan asali. Cinta diri bersifat primitif dan sesuai dengan tatanan alam, amak baik adanya. Denga asumsi ini lalu dia menyarankan bahwa dalam pendidikan sebaiknya naluri-naluri alamiah dan rasa cinta diri anak dibiarakan berkembang bebas bukannya dibendung. Segala disiplin, khotbah, intelektualisme harus disingkirkan. Semua ini hanya menghambat perkembangan dan menanamkan prasangka ke dalam diri anak. Mendasari saran ini adalah anggapan Rosseau bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik. Katanya, segalanya baik, ketika keluar dari tangan sang Pencipta; segalanya memburuk di tangan manusia. Lagi-lagi yang dikritik di sini adalah institusi-institusi kultural yang cenderung membusukkan kodrat manusia.
Dengan mengikuti gagasan-gagsan Rosseau di atas kita menemukan sebuah gerak balik dari pencerahan. Sebagai optimisme terhadap kemajuan kebudayaan, Rosseau justru mengambil sikap pesimis atasnya. Di dalam hal ini, pemikiran Rosseau memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah filsafat modern, sebab untuk pertama kalinya sejak kemajuan ilmiah terjadi di Barat, dilontarkan sebuah kritik bukan atas dogmatisme religius dan metafisika tradisional, melainkan atas apa yang diyakini sebagai kemajuan.
Langganan:
Postingan (Atom)