kritik David Hume atas Substansi dan kesadaran diri
Eddy Suranta
David hume berpendapat bahwa di dalam rasioanlisme diyakini adanya subtansi material di luar kita. John Locke meskipun mulaimempersoalkan pendekatan rasionalistis, tetap mengandaikan adanya substansi dengan membedakan persepsi dan objek. Hume tidak setuju dengan Locke itu. Katanya yang bisa diketahui pikiran hanyalah persepsi, bukanlah objek. Kita tahu bagaimana kaitan antara persepsi dan objek-objek di luar diri kita. Bukti untuk hal itu juga tidak ditemukan secara empiris.
Selanjutnya Hume nberusaha menjelaskan bagaiman kita berpikir bahwa subansi itu ada. Menurutnya, pikiran mengamati ciri-ciri yang senatiasa ada bersama-sama. Imajinasi lalu membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dan pikiran pun mendapat kesan seolah-olah subtansi itu ada. Misalnya, kita menangkap ciri-ciri hitam, kasar, berat, padat yang selalu ada bersama-sama, sehingga pikiran menyimpulkan bahwa “batu” yang memiliki ciri-ciri tetap macam itu ada. Menurut Hume, kesatuan ciri yang kemudian disebut substansi itu hanyalah fiksi saja, khayal. Substansi hanyalah kumpulan persepsi belaka. Kalau objek di luar kita disangsikan adanya, bagaimana dengan kesadaran diri atau “aku”? Di dalam menjawab ini Hume mengambil sikap yang paling skeptis. Berkeley yang tidak percaya akan adanya objek luar masih percaya adanya substansi rohani adalah aku. Akan teapi, Hume juga mempersoalkan adanya substansi rohani itu. Menurutnya, kita ini selalu menerima kesan, idea, dan persepsi, seperti: panas, dingin, berat, senang, sedih, nikmat, dst-- sampai kita mendapat kesan bahwa ada suatu kesatuan ciri yang senantiasa ada bersama-sama dan kita sebut “diriku”. Semua ini, menurut Hume, hanyalah kumpulan persepsi saja. Jikalau persepsi-persepsi itu disingkirkan, kita segera kehilangan “diriku”. Misalnya sewaktu tidur, katanya “diriku” itu tidak ada. Yang paling pasti adalah setelah mati, sebab dengan kematian segala persepsi betul-betul dihancurkan dan dilenyapkan, sehingga membuat “diriku” ini non-entitas (bukan kenyataan).
Rabu, 25 Februari 2009
Pemikiran politik Thomas Hobbes
Pemikiran politik Thomas Hobbes
Eddy Suranta
Pemikiran politik Thomas Hobbes kiranya dapat kita lihat dari pemikirannya tentang negara. Bagaimana Thomas Hobbes memandang Negara itu? Berdasarkan konsepnya tentang kodrat egoistis dan anti-sosial dari manusia, Thomas Hobbes mengemukakan ajarannya tentang negara dalam Leviathan. Kalu manusia pada dasarnya egois, bagiman kehidupan masyarakat itu menjadi mungkin di antara makhluk-makhluk yang keji, bengis, dan buas ini? Hobbes menjawab bahwa karena pemeliharaan diri m,enajdi kepentingan asasi setiap individu, saling menerkam menjadi tidak rasional, sebab berlawanan dengan kepentingan asasi itu. Karena itu, Hobbes membayangkan keadaan asali, saat manusia-manusia mengadakan kontrak social, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Akan tetapi, karena perjanjian macam ini rapuh, mereka menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah lembaga yang disebut negara. Katanya, perjanjian tanpa pedang adalah omongan saja, dan tak ada kekuatan yang mengamankan manusia. Karena itu, manusia butuh negara yang memonopoli penggunaan kekerasan. Negara ini hanya memiliki hak atas ratyak untuk memaksakan norma-norma dan ketertibannya, dan tidak memiliki kewajiban, maka bersifat absolut. Dengan istilah “Leviathan” dilukiskan negara seperti monster raksasa purbakala yang hidup di lautan. Namun, dalam gambar sampul buku itu dilukiskan bukan sebagai monster purba ala Kitab Suci, melainkan sebagai manusia raksasa yang terdiri atas banyak manusia-manusia kecil. Ini mengingatkan kita akan manusia besar dalam buku Plato.
Apakah peranan agama dalam kehdiupasn social? Hobbes berpendapat bahwa agama turut berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau takhayul. Agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi memperbesar rasa takut itu untuk mernciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini, agama ortodoks, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah ajaran bidaah adalah sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki. Bersama Machiavelli, dia setuju bahwa agama dapat dipakai sebagai instrumen politik.
Ajaran sosial Hobbes tentang absolutisme negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak tas ratyaknya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bias dilakuakan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolute agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori absolutisme Hobbes itu. Banyak negara mengembar-ngemborkan demokrasi dan menolak absolutisme, tapi dalam kenyataan dan prakteknya diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.
Eddy Suranta
Pemikiran politik Thomas Hobbes kiranya dapat kita lihat dari pemikirannya tentang negara. Bagaimana Thomas Hobbes memandang Negara itu? Berdasarkan konsepnya tentang kodrat egoistis dan anti-sosial dari manusia, Thomas Hobbes mengemukakan ajarannya tentang negara dalam Leviathan. Kalu manusia pada dasarnya egois, bagiman kehidupan masyarakat itu menjadi mungkin di antara makhluk-makhluk yang keji, bengis, dan buas ini? Hobbes menjawab bahwa karena pemeliharaan diri m,enajdi kepentingan asasi setiap individu, saling menerkam menjadi tidak rasional, sebab berlawanan dengan kepentingan asasi itu. Karena itu, Hobbes membayangkan keadaan asali, saat manusia-manusia mengadakan kontrak social, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Akan tetapi, karena perjanjian macam ini rapuh, mereka menyerahkan kekuasaan dan hak-hak kodrati mereka semua kepada sebuah lembaga yang disebut negara. Katanya, perjanjian tanpa pedang adalah omongan saja, dan tak ada kekuatan yang mengamankan manusia. Karena itu, manusia butuh negara yang memonopoli penggunaan kekerasan. Negara ini hanya memiliki hak atas ratyak untuk memaksakan norma-norma dan ketertibannya, dan tidak memiliki kewajiban, maka bersifat absolut. Dengan istilah “Leviathan” dilukiskan negara seperti monster raksasa purbakala yang hidup di lautan. Namun, dalam gambar sampul buku itu dilukiskan bukan sebagai monster purba ala Kitab Suci, melainkan sebagai manusia raksasa yang terdiri atas banyak manusia-manusia kecil. Ini mengingatkan kita akan manusia besar dalam buku Plato.
Apakah peranan agama dalam kehdiupasn social? Hobbes berpendapat bahwa agama turut berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau takhayul. Agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi memperbesar rasa takut itu untuk mernciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini, agama ortodoks, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah ajaran bidaah adalah sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki. Bersama Machiavelli, dia setuju bahwa agama dapat dipakai sebagai instrumen politik.
Ajaran sosial Hobbes tentang absolutisme negara dan peran instrumental agama ini mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak tas ratyaknya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bias dilakuakan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolute agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif. Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori absolutisme Hobbes itu. Banyak negara mengembar-ngemborkan demokrasi dan menolak absolutisme, tapi dalam kenyataan dan prakteknya diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.
Pemikiran Leibniz tentang monadologi dan sumbangannya sistem monadologi
Pemikiran Leibniz tentang monadologi dan sumbangannya sistem monadologi
Eddy Suranta
Leibniz berpendapat ada banyak substansi. Substansi itu disebut monad (monos=satu; monad=satu unit). Ada yang terkecil dlam matematika yang disebut titik. Dalam fisiak yang terkecil itu atom. Dalam metafisika yang terkecil itu adalah monad. Kata terkecil hendaknya tidak dipahami sebagai ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan, maka monad itu bukan benda. Monad-monad bukanlah kenyataan jasmaniah, melainkan kenytaaaan mental,yangterdiir daripersepsi fan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebgai forces primitives daya puraba yang tidak material, melinkan spiritual. Dengan kata lain, yang ia maksud sebagai monad adalah kesadaran diri tertutup, sejajar dengan cogito tertutup Decartes. Dalam sebuah pernyataannya ynag kemudian termasyur, dia mengatakan sebagai berikut: Monad-monad tak memiliki jendela tempat tempat sesuatu biss keluar atu masuk. Karena itu, setiap monad memiliki sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya. Di antara monad-monad tak ada interaksi, sebab masing-masing memrupakan kenyataan mental yang sudah cukup diri. Monad adalah sebuah system tertutup yang cukup diri. Setiap monad tak lain daripada cermin hidup alam semesta.
Penjelasan Leibniz bahwa monad-monad sudah cukup diri menimbulkan persoalan. Bagaimana aku mengetahui kenyataan di luar diriku? Jawaban Leibniz adalah sebagai berikut. Setiap monad memiliki sifat-sifat yang jumlahnya tak terhingga, sebab setiap monad mencerminkan seluruh alam semesta dari sudut pandangnya. Dengan kata lain, setiap monad mencerminkan semua monad lainnya. Misalnya, saat aku menyadari selembar daun jatuh di depanku, kesadaranku itu merupakan sebuah keadaan dari monad yang mencerminkan keadaan monad-monad lain yang bersama-sama mengidentifikasikan “daun”, sedemikian rupa sehingga dari sudut pandang kesadaranku yang kacau, daun itu kusadari dalam keadaan “jatuh”.
Kalau dunia dan kesadaran adalah monad-monad yang terisolasi satu sama lain, bagaiman menjelaskan gejala adanya ketertaturan dan hubungan timbal balik. Leibniz menjawab adanya Allah pada saat penciptaan mengadakan keselarasan yang ditetapkan sebelumnya di antara monad-monad. Jadi, meskipun monad-monad memiliki momentumnya sendiri-sendiri, mereka toh cocok satu sama lain,s ehingga menimbulkan ilusi bahewa mereka berinteraksi satu sama lain. Misalnya, air yang ditetapkan di atas api menjadi panas bukan karena api, melainkan monad air, api danpanas bersesuaian satu sama lain. Allah, si tukang arloji itu, telah menetapkan bahwa peristiwa yang terjadi pada monad lain. Jadi, hubungan timbal balik di antara monad-monad hanya kelihatannya ada. Lalu apakah Allah itu? Dalam pemikiran Leibniz Allah juga monad, tetapi bukan sembarang monad, melainkan monad purba yang merupakan aktivitas murni, actus purus.
Sumbangan sistem monadologi adalah penghargaan terhadap bagian-bagian alam semesta ini di mana bagian-bagian ini mempunyai keterkaitan satu sama lain, terutama dalam menciptakan suatu keadaan terhadap realitas alam semesta ini.
Eddy Suranta
Leibniz berpendapat ada banyak substansi. Substansi itu disebut monad (monos=satu; monad=satu unit). Ada yang terkecil dlam matematika yang disebut titik. Dalam fisiak yang terkecil itu atom. Dalam metafisika yang terkecil itu adalah monad. Kata terkecil hendaknya tidak dipahami sebagai ukuran, melainkan sebagai tidak berkeluasan, maka monad itu bukan benda. Monad-monad bukanlah kenyataan jasmaniah, melainkan kenytaaaan mental,yangterdiir daripersepsi fan hasrat. Leibniz membayangkan monad sebgai forces primitives daya puraba yang tidak material, melinkan spiritual. Dengan kata lain, yang ia maksud sebagai monad adalah kesadaran diri tertutup, sejajar dengan cogito tertutup Decartes. Dalam sebuah pernyataannya ynag kemudian termasyur, dia mengatakan sebagai berikut: Monad-monad tak memiliki jendela tempat tempat sesuatu biss keluar atu masuk. Karena itu, setiap monad memiliki sudut pandangnya sendiri dan sudut pandang ini melukiskan kenyataan yang melingkunginya. Di antara monad-monad tak ada interaksi, sebab masing-masing memrupakan kenyataan mental yang sudah cukup diri. Monad adalah sebuah system tertutup yang cukup diri. Setiap monad tak lain daripada cermin hidup alam semesta.
Penjelasan Leibniz bahwa monad-monad sudah cukup diri menimbulkan persoalan. Bagaimana aku mengetahui kenyataan di luar diriku? Jawaban Leibniz adalah sebagai berikut. Setiap monad memiliki sifat-sifat yang jumlahnya tak terhingga, sebab setiap monad mencerminkan seluruh alam semesta dari sudut pandangnya. Dengan kata lain, setiap monad mencerminkan semua monad lainnya. Misalnya, saat aku menyadari selembar daun jatuh di depanku, kesadaranku itu merupakan sebuah keadaan dari monad yang mencerminkan keadaan monad-monad lain yang bersama-sama mengidentifikasikan “daun”, sedemikian rupa sehingga dari sudut pandang kesadaranku yang kacau, daun itu kusadari dalam keadaan “jatuh”.
Kalau dunia dan kesadaran adalah monad-monad yang terisolasi satu sama lain, bagaiman menjelaskan gejala adanya ketertaturan dan hubungan timbal balik. Leibniz menjawab adanya Allah pada saat penciptaan mengadakan keselarasan yang ditetapkan sebelumnya di antara monad-monad. Jadi, meskipun monad-monad memiliki momentumnya sendiri-sendiri, mereka toh cocok satu sama lain,s ehingga menimbulkan ilusi bahewa mereka berinteraksi satu sama lain. Misalnya, air yang ditetapkan di atas api menjadi panas bukan karena api, melainkan monad air, api danpanas bersesuaian satu sama lain. Allah, si tukang arloji itu, telah menetapkan bahwa peristiwa yang terjadi pada monad lain. Jadi, hubungan timbal balik di antara monad-monad hanya kelihatannya ada. Lalu apakah Allah itu? Dalam pemikiran Leibniz Allah juga monad, tetapi bukan sembarang monad, melainkan monad purba yang merupakan aktivitas murni, actus purus.
Sumbangan sistem monadologi adalah penghargaan terhadap bagian-bagian alam semesta ini di mana bagian-bagian ini mempunyai keterkaitan satu sama lain, terutama dalam menciptakan suatu keadaan terhadap realitas alam semesta ini.
Pemikiran Rene Descartes tentang “Cogito Ergo Sum” dan argumentasi pembuktian adanya Tuhan
Pemikiran Rene Descartes tentang “Cogito Ergo Sum” dan argumentasi pembuktian adanya Tuhan
Eddy Suranta
Untuk sampai pada pernyataan Descartes tentang Cogito Ergo Sum, kita harus melewati proses pemikiran Descartes tentang keraguan sebagai titik tolak menemukan titik kepastian. Dia mulai dengan keraguan. Menurut Descartes, sekurang-kurangnya aku ragu bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat meragukan segala sesuatu, kita semakin mengada. Justru keraguann inilah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita ragu, kita akan merasa makin pasti bahwa kita nayat-nyata ada. Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa meragukan itu adalah berpikir. Maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan; “aku berpikir, maka aku ada”.
Yang ditemukan dengan metode keraguan adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah. Cogito itu tidak ditemukan dengan reduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Kedua metode tradisional ini bisa dipakai untuk membenarkan wahyu, padahal yang disebut wahyu itu bisa disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan ketidakpastian. Cogito ditemukan dirinya sendiri., tidak melaui Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka, dst. Kesangsian Descartes sedemikian radikal, tetapi kesangsian ini hanya sebuah metode yang ditemukan baru, dia sebetulnya tertap memiliki minat metafisik. Keraguan ini bersifat metodis dan bukan sebuah skeptisisme seperti dalam pemikiran Hume.
Lebih lanjut Descartes memberikan argumentasi tentang pembutkian adanya Tuhan. Setelah menemukan cogito, yakni subjektivitas, pikiran atau kesadaran melaui kesangsian metodis. Descartes lalu menyebut pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dia mneyebutnya “res cogitans”. Dalam kenyataan, aku ini bukan hanya pikiran, tetapi juga sesuatu yang bisa di raba dan dlihat. Kejasmianku ini bisa saja merupkan kesan yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa kejasmian juga merupakan sebuah ide bawaan. Descartes menyebutnya keluasan atau res extensa. Akhirnya dia juga berpendapat bahwa aku juga memiliki ide tentang sempurna. Lalu, dia mengatakan bahwa bahwa Allah juga merupkaan ide bawaan. Di sinilah ia membuktikan tentang adanya Allah. Tentang keluasan atau kejasmanian, dia berpendapat mustahil Allah yang maha benar itu menipu kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu, materi adalah juga suatu substansi. Akhirnya, Allah sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada. Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah sejalan dengan Anselmus dan Thomas. Lebih dari itu, ia sebetulnya mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.
Eddy Suranta
Untuk sampai pada pernyataan Descartes tentang Cogito Ergo Sum, kita harus melewati proses pemikiran Descartes tentang keraguan sebagai titik tolak menemukan titik kepastian. Dia mulai dengan keraguan. Menurut Descartes, sekurang-kurangnya aku ragu bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat meragukan segala sesuatu, kita semakin mengada. Justru keraguann inilah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita ragu, kita akan merasa makin pasti bahwa kita nayat-nyata ada. Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa meragukan itu adalah berpikir. Maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan; “aku berpikir, maka aku ada”.
Yang ditemukan dengan metode keraguan adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah. Cogito itu tidak ditemukan dengan reduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Kedua metode tradisional ini bisa dipakai untuk membenarkan wahyu, padahal yang disebut wahyu itu bisa disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan ketidakpastian. Cogito ditemukan dirinya sendiri., tidak melaui Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka, dst. Kesangsian Descartes sedemikian radikal, tetapi kesangsian ini hanya sebuah metode yang ditemukan baru, dia sebetulnya tertap memiliki minat metafisik. Keraguan ini bersifat metodis dan bukan sebuah skeptisisme seperti dalam pemikiran Hume.
Lebih lanjut Descartes memberikan argumentasi tentang pembutkian adanya Tuhan. Setelah menemukan cogito, yakni subjektivitas, pikiran atau kesadaran melaui kesangsian metodis. Descartes lalu menyebut pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dia mneyebutnya “res cogitans”. Dalam kenyataan, aku ini bukan hanya pikiran, tetapi juga sesuatu yang bisa di raba dan dlihat. Kejasmianku ini bisa saja merupkan kesan yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa kejasmian juga merupakan sebuah ide bawaan. Descartes menyebutnya keluasan atau res extensa. Akhirnya dia juga berpendapat bahwa aku juga memiliki ide tentang sempurna. Lalu, dia mengatakan bahwa bahwa Allah juga merupkaan ide bawaan. Di sinilah ia membuktikan tentang adanya Allah. Tentang keluasan atau kejasmanian, dia berpendapat mustahil Allah yang maha benar itu menipu kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu, materi adalah juga suatu substansi. Akhirnya, Allah sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada. Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah sejalan dengan Anselmus dan Thomas. Lebih dari itu, ia sebetulnya mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.
Pemikiran Francis Bacon tentang idola-idola dan tunjukkan relevansinya
Pemikiran Francis Bacon tentang idola-idola dan tunjukkan relevansinya
Eddy Suranta
Salah satu gagasan yang termasyur dari Francis Bacon dalam Novum Organum adalah konsep Idola. Konsep ini dikemudian hari dianggap sebagai cikal bakal konsep “ideologi” dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “idola” adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola ini merasuki juga pemikiran kita sehingga menghambat manusia berpikir kritis dan maju karena manusia terkekang pada idola/mitos. Manusia tidak bisa berpikir tentang perubahan.
Ada 4 macam idola.
Pertama: Idola Tribus=Bangsa, adalah semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga orang tak sanggup memandang alam secara objektif. Perkecualian-perkecualian dianggap ajaib, mukjizat atau disingkirkan, tidak dipelajari. Idola macam ini menawan pikiran banyak orang banyak (tribus), menjadi semacam prasangka kolektif.
Kedua: Prasangka Individual atau Idola Cave. Dimaksudkan di sini bahwa pengalaman-pengalaman dan minat-minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia objektif dikaburkan.
Ketiga: Idola Fora (Forum=Pasar) adalah yang paling berbahaya. Yang diacu di sini adalah pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji.
Keempat: idola theatra=panggung. Dengan konsep ini, Bacon mmeperlihatkan sistem-sistem filsafat tradisional adalah kenyataan subjektif para filsufnya. Sistem-sistem ini dipentaskan, lalu tamat, seperti sebuah teater
Relevansinya bahwa dari Idola ini, kita menyaksikan bagaimana Bacon mau membersihkan pengetahuan kita dari macam-macam prasangka yang menghambat kemajuan. Usaha macam ini jelas sejalan dengan cita-cita Renaisance, yakni: tak lain dari objektivisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan tentang objek di luar diri pengamat itu dapa dicapai semaksimal mungkin. Idola bagaikan debu yang mengotori mata untuk melihat objek pada dirinya, maka harus dibersihkan. Organon baru itu dia anggap ampuh untuk membersihkan peralatan observasi kita.
Eddy Suranta
Salah satu gagasan yang termasyur dari Francis Bacon dalam Novum Organum adalah konsep Idola. Konsep ini dikemudian hari dianggap sebagai cikal bakal konsep “ideologi” dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “idola” adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola ini merasuki juga pemikiran kita sehingga menghambat manusia berpikir kritis dan maju karena manusia terkekang pada idola/mitos. Manusia tidak bisa berpikir tentang perubahan.
Ada 4 macam idola.
Pertama: Idola Tribus=Bangsa, adalah semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan-keajekan tatanan alamiah, sehingga orang tak sanggup memandang alam secara objektif. Perkecualian-perkecualian dianggap ajaib, mukjizat atau disingkirkan, tidak dipelajari. Idola macam ini menawan pikiran banyak orang banyak (tribus), menjadi semacam prasangka kolektif.
Kedua: Prasangka Individual atau Idola Cave. Dimaksudkan di sini bahwa pengalaman-pengalaman dan minat-minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia objektif dikaburkan.
Ketiga: Idola Fora (Forum=Pasar) adalah yang paling berbahaya. Yang diacu di sini adalah pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji.
Keempat: idola theatra=panggung. Dengan konsep ini, Bacon mmeperlihatkan sistem-sistem filsafat tradisional adalah kenyataan subjektif para filsufnya. Sistem-sistem ini dipentaskan, lalu tamat, seperti sebuah teater
Relevansinya bahwa dari Idola ini, kita menyaksikan bagaimana Bacon mau membersihkan pengetahuan kita dari macam-macam prasangka yang menghambat kemajuan. Usaha macam ini jelas sejalan dengan cita-cita Renaisance, yakni: tak lain dari objektivisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan tentang objek di luar diri pengamat itu dapa dicapai semaksimal mungkin. Idola bagaikan debu yang mengotori mata untuk melihat objek pada dirinya, maka harus dibersihkan. Organon baru itu dia anggap ampuh untuk membersihkan peralatan observasi kita.
kisi-kisi filsafat islam
KISI-KISI FILSAFAT ISLAM-UAS 2008
1. Jelaskan Masa keemasan Filsafat Islam
• Jaman keemasan filsafat Islam tampak dari para ahli pikir Islam yang memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama terhadap alam dunia dengan bertitik tolak dari daya akal manusia.
• Pada jaman Bani Umayyah, perhatian lebih tertuju kepada kebudayaan Arab sehingga pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Kemudian, pada masa Bani Abbasiah, pengaruh kebudayaan Yunani mulai tampak karena yang bekerja di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia.
• Perhatian terhadap filsafat pada jaman khalifah Al Ma’amun cukup meningkat di mana dia mengirimkan utusan ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian di bawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk menunjuang penterjemahan ini, Al Ma’mun mendirikan Bait al Hakim di Bagdad yang dipimpin oleh Hudain ibn Ishak, yaitu seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah. Selain belajar bahasa Arab dan Yunani, dia juga menguasai bahasa Syria yang pada zaman itu merupakan salah satu bahasa ilmiah.
• Sebagian besar karya-karya Aristoteles dan Plato serta buku-buku Neo Platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Motif penterjemahan ini adalah, mencari ilmu dalam berbagai bidang ilmu Yunani, seperti bidang kedokteran demi kesehatan para khalifah dan rakyatnya dan demi kepentingan ilmu astronomi dan astrologi. Oleh karena filsafat memiliki hubungan yang erat dengan semua ilmu ini, maka filsafat ditempatkan pada urutan pertama.. Selain itu, penterjemahan ini dimaksudkan sebagai polemik dan apologi bagi penganut agama lain seperti Kristen, Budha, dll sebab sejak semula orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang yang secara intelektual memiliki pendidikan yang cukup tinggi.
• Alasan lain adalah: Pertama: kecenderungan al Ma’mun kepada pikiran atau aliran Mu’tazila yang mendorongnya untuk membela dan menguatkan pendiriannya dalam persoalan al Qur’an dengan alasan-alasan rasional. Kedua: karena persoalan al Qur’an sebagai Kalimatullah menyangkut salah satu sifat Tuhan sehingga timbul dugaan atau keyakinan pada diri Al Ma’mun bahwa dalam filsafat ketuhanan Yunani, ada hal-hal yang bisa memberikan keuatan untuk berdebat melawan lawannya karena filsafat berbicara tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Ketiga: kecenderungan Al Ma’mun terhadap kebebasan berpikir seluas-luasnya dan itikad baiknya terhadap filosof-filosof, yaitu sebagai manusia pilihan di mana orang banyak harus mengambil pikiran-pikirannya. Keempat: Al Ma’mun menghendaki adanya terjemahan-terjemahan baru, seperti matematika, astronomi dan lain sebagainya.
2. Al Kindi: riwayat hidup singkat, jasanya dalam filsafat islam dan mengapa kemudian Al Kindi disingkirkan .
Riwayat Hidup:
Al Kindi adalah satu-satunya orang Arab asli di antara para filsuf, sehingga ia diberi gelar Al Faylasuf Al Kindi. Ia lahir pada tahun 185 H / 9 M sekitar satu dasawarsa sebelum Khalifah al Rasyid meninggal. Al Kindi berasal dari kabilah Kindah yang bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Ia berasal dari keluarga Ishag al Sabbah yang menjadi gubernur Kufah selama kekalifan Abbasiyah al Mahdi dan al Rasyid.
Jasa Al Kindi dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
Al Kindi merupakan filsuf Islam pertama yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu filsafat. Karena perhatiannya pada ilmu-ilmu filsafat dan pengetahuan.selain itu, Al Kindi juga menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan bahasa Syiria. Al Kindi mempelajari bahasa Yunani tetapi ia menguasai bahasa Syiria sehingga ia menterjemahkan beberapa karya filsuf. Ia juga memperbaiki beberapa terjemahan bahasa Arab seperti Enneades karangan Plotinus yang diterjemahkan oleh al Himsi.
Beberapa sejarawan Arab memandang Al Kindi sebagai salah satu penterjemah yang ulung. Ia menterjemahkan banyak buku filsafat, kemudian menjelaskan berbagai masalah, menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Al Kindi menterjemahkan 260 buku Yunani dan menujukkan keahliannya dalam bidang ilmu falak, ilmu pasti, kimia, dan astrologi. Ia juga menguasai bidang kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantik, menguasai ilmu ukur, aljabar dan lain sebagainya. Pengetahuan yang luas ini menghantar Al Kindi pada tataran seorang filsuf yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai disiplin ilmu.
Mengapa Al Kindi disingkirkan?
Penolakan terhadap Al Kindi dalam kalangan Islam:
Kejayaan Al Kindi sebagai seorang filsuf pada zaman Al Mutaawa menjadi sasaran kritik dan fitnah dari mereka yang merasa irihati sampai ia dijatuhi hukuman mati oleh Mutawakkil dan perpustakaannya yang terkenal,yaitu Al Kindiyah disita dan kemudian dijadikan milik Al Mutawakkil. Al Kindi sendiri berhaluan Mu’tazilah, tetapi ketika gerakan ini dilarang, Al Kindi juga ikut terlibat dan hal ini menjadi kesempatan bagi musuh-musuhnya untuk menjatuhkan Al Kindi. Al Kindi di dera di depan umum, dipecat dan perpustakaannya di sita.
3. Jelaskan pengaruh Aristoteles dan Plato dalam filsafat Al Kindi
• Pengaruh Aristoteles dalam Filsafat Al Kindi berkaitan dengan pembagian filsafat pada teori dan amalan atau praktek. Sedangkan Plato berkaitan dengan definisi, karena sebelum Al Kindi, Plato mengemukakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan dan mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan.
• Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai kebenaran, mengatur dan mengagungkan kekuatan akal budi dan hati. Apabila hal ini dapat dicapai oleh seseorang, maka ia akan menerima pengetahuan dan dengan pengetahuan ini ia sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan ialah ilmu hisap (aritmetika), handasan (geometri), falak (astronomi), dan jadal (ilmu debat). Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Maka sesuai dengan hal itu, Al Kindi dalam salah satu risalahnya mengatakan bahwa perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan.
4. Jelaskan Metafisika Al-Kindi
Metafisika Al Kindi dilandaskan pada empat pertanyaan pokok yang diajukan untuk memperlihatkan hakekat Tuhan dalam persoalan mengenai eka dan aneka. Bahwa keanekaan yang ada dalam dunia ini tak dapat dipahami terpisah dari deretan dari sebab musabab yang akhirnya dijabarkan dari sebab terakhir yang eka, yang satu, yang maha nyata dan abadi. Dia adalah yang Esa dan besar.
Pertanyaan pokoknya, yaitu:
1. Dari mana (Min ayna), yang selanjutnya dijawab dengan unsur, yakni materi, eksistensi atau penciptaan.
2. Apa (Mada) , yang dijawab dengan forma atau genus.
3. Di mana (Ayna), yang dijawab dengan sebab perbedaan spesifik (partikularis). Mempertanyakan tempat penciptaan.
4. Mengapa (Limada), yang dijawab dengan taman atau tujuan kesempurnaan.
Dari keempat pertanyaan pokok ini Al Kindi menjelaskan tentang asal usul penciptaan dan tentang eksistensi materi dunia ini. Dia mengatakan bahwa dunia, materi dan eksistensinya ini diciptakan dari ketiadaan=creation ex nihilo oleh Allah yang Esa dan besar. Tuhan yang Esa dan Besar ini menjadi sumber dari keanekaragaman eksistensi di dunia ini. Oleh karena itu, persoalan metafisika yang dibicarakan oleh Al Kindi adalah tentang “Filsafat Pertama” dan “Keesaan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Pembicaraan dalam ahal ini meliputi hakekat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Hakekat Tuhan adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujudnya dan tidak ada wujud kecuali dengannya. Untuk membuktikan wujud Tunan, ia menggunakan tiga jalan, yaitu:
1. Baharunya alam
2. keanekan ragaman dalam wujud
3. kerapian alam.
Sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang pada masa Al Kindi, dan dalam hal ini ia mengikuti pendirian golongan Mu’tazila. Di anatara sifat-sifat Tuhan itu ialah keesaan, suatu sifat yang paling khas baginya. Tuan itu satu zat_Nya dan satu dalam hitunagan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “Yang Maha Tahu”, Yang maha Berkuasa” Yang Maha Hidup dan Seterusnya. Al Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa “ia bukan benda , bukan form, tidak mempunyai kuantitas, tidak mempunyai kualitas, tidak berhubungan dengan yang lain. Misalnya sebagai ayah atau sebagai anak; tidak biasa diberi sifat yang ada dalam pikiran, bukan genus, bukan aksidens, tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya maka Tuan adalah keesaan belaka, tidak ada lain keculai keesaan belaka. Karenanya Tuhan bersifat Azali, yaitu Zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah ada, atau pada permulaannya ada, melinkan Zat yang ada dan wujudnya tidak tergantung dari ada sebab yang menyebabkan Dia ada, maka ia bukan “subjek atau predikat”
Kesimpulan ialah Tuhan adalah sebab pertama di mana wujudNya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan tetapi bukan disempurnakan.
5. Jelaskan Etika Al-Kindi
Al Kindi berpendapat bahwa filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksaanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles) melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi dia digoda oleh hawa nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan. Manusia harus menjauhan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Sokrates dipuji sebagai contoh zahid (asket). Al Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Dalam etikanya ia mengutamaan kaidah Stoa dan Sokrates.
12. Jelaskan Kenabian dan Al Qur’an menurut Al Kindi?
Al Kindi menjelaskan teori kenabian lewat dua kemungkinan memperoleh ilmu, yakni Ilmu Ilahi dan Ilmu Insani. Ilmu Ilahi adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada para Nabi_Nya. Inilah derajat pengetahuan yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh manusia. Seorang nabi dapat mencapai tingkatan itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan melalui jalan intiusi (wahyu) serta melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.
Ilmu insan adalah filsafat dan ilmu-ilmu lain yang bias dipelajari oleh semua manusia. Di antara kedua jenis ilmu tersebut terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian filsafat dan ilmu-ilmu wajib sejalan dengan wahyu.
Mengenai Al Qu’ran, Al Kindi sedependapat dengan kaum Mu’tazila. Bahwa Qu’rann itu tidak abadi bersama Allah. Namun demikian, kebenaran Al Qu’ran masih jauh lebih baik untuk diyakini jika dibandingkan dengan kebenaran-kebenaran hasil refleksi filosofis.
6. Al Farabi: riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat kenegaraan menurut Al Farabi (bentuk, pejabat, tujuan dan jenis negara)
Riwayat Hidup
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu al Nashr Muhamad bin Muhamad bin Tharchan. Sebutan Al Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat dia dilahirkan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang Iran dan ibunya wanita Turkistan. Kemudian ia menjadi perwira Turkestan, karena itu Al Farabi dikatkan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan keturnan Iran.
Filsafat kenegaraan
Al Farabi membentangkan filsafat negara terutama dala, Al-Syat al Madaniyah dan kitab al-mabadi’ara al-madinat al-fadilah (pendapat-pendapat asasi dari penduduk utama. Kedua buku tersebut membicarakan akhlak dan tatanegara. Menurut dia manusia adalah makhluk sosial dan tak dapat berkembang secara moril kecuali dalam ikatan negara. Karena itu Al Farabi tidak menyusun seuatu etika tersendiri. Sumber filsafat negaranya berasal dari karya Plato: Politeia dan Nomoi (undang-undang).
Bentuk Negara
Ia mencita-citakan berdirinya sebuah negara sempurna (al madinat al-fhatilat). Yang dimaksud dengan negara sempuirna adalah suatu pemerintahan otokrasi dengan seorang raja (malik atau Rais Awal) yang berkuasa mutlak dalam mengatur negara. Hubungan antar dunia dengan Tuhan hendaknya menjadi teladan atau model panutan bagi hubungan masyarakat dengan raja. Di dalam negara yang terpenting harus dipilah sari antara warga yang paling sempurna, karena sebuah negara yang sesat (dalal) sama dengan orang sakit.
Pejabat Negara
Al Farabi membedakan tiga golongan pejabat negara, yaitu:
1. pemimpin pada tingakt teratas. Pada puncak kekuasaan terdapat raja (malik) atau Ra’is Awal. Ia adalah filsuf, yang merenungkan kebenaran abadi, menerima pengetahuan benar langsung dari penyinaran aqal fa’al. Berdasarkan ini, dia memerintah secara absolut, tidak usah berunding dengan bawahan yang hanya menyambut perintahnya.
2. pemimpin pada tingkat menengah. Pada tingkat menengah terdapat petugas-petugas yang dikontrol oleh penguasa di atasnya, teapi berhak memerintah bawahannya.
3. pemimpin pada tingkat terbawah. Mereka yang menempati tinkat terbawah wajib melaksanakan perintah, tidak berhak memberi perintah. Bawahan tidak diharapkan memberi nasehat atau usul.
Kepala negara harus serba sempurna secara moril, intelektual dan fisisk. Ia harus mencintai kebenaran dan keadilan, berani mengambil keputusan yang tepat, tak tergoda oleh emas,perak dan milik duniawi. Ia juga harus berbakat menjadi panglima perang. Ia harus memiliki hubungan jiwa secara erat dengan aqal falal.
Jenis Negara
Af Farabi berpendapat tidak semua negara dapat mewujudkan cita-cita negara sempurna. Negara-negara yang tidak baik itu ada beberapa macam di antaranya:
1. negara Imoril (faqiq) yaitu negara yang pernah mengenal kebenaran mengenai Tuhan, akhirat dan kebahagiaan sejati tetapi tidak sesuai dengannya.
2. Negara menyeleweng (mubaddah) di sini orang merubah cita-cita asli.
3. negara sesat (dallah) di sini kepala dan rakyat tidak mengetahui kebenaran, hanya mempunyai nabi palsu yang mencari kepentingan sendiri.
4. negara massa (madina al-jamayyah), di sini setiap warga negara bebas dan bisa berbuat sesuka hatinya. Semua penduduk sama rasa sama rata. Rakyat memutuskan, apa yang dikerjakan oleh pemimpin mereka. Dalam negara semacam ini rakyat tidak perlu menati undang-undang. Negara semacam ini pasti menjurus anarkis.
7. Jelaskan “teori emanasi” menurut Al Farabi
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang muklim (alam makhluk) dari zat wajibul wujud (zat yang mesti ada, Tuhan). Teori emansi ini juga disebut dengan “teori urut-uruta wujud.
Menurut Al-Farabi Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan) sehingga tidak bisa dikatakan hakikat yang sebenarnya.
Al-Farabi telah menguraikannya secara ilmiah di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu ke luar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadinya ilmunya menjadi sebab bagi wujud yang diketahuinya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian, keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (mkhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan.
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu esa. Karena itu yang keluar daripadaNya juga satu wujud saja, sebab emanasi tadi timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Tuhan itu terbilang maka zat Tuhan pun terbilang pula. Dasar adanya emanasi adalah karena pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal tersebut terdapat kekuatan-kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam sendiri apabila kita memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau terwujdnya. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama (al aql-al-awwal).
a. Dari Akal Pertama timbul Akal Kedua, yang memantulkan falak aqsa
b. Dari Akal Kedua timbul Akal Ketiga yang memantulkan bintang tetap
c. Dari Akal Ketiga timbul Akal Keempat dan planet saturnus (zuhl)
d. Dari Akal Keempat timbul Akal Kelima dan Yupiter (Mushtari)
e. Dari Akal Kelima timbul Akal Keenam dan planet Mars (marish)
f. Dari Akal Keenam timbul Akal Ketujuh dan matahari (Shams)
g. Dari Akal Ketujuh timbul Akal Kedelapan dan palnet Venus (Zuhrah)
h. Dari Akal Kedelapan timbul Akal Kesembilan dan planet Mercurius (Utharid)
i. Dari Akal Kesembilan timbul Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar)
j. Dari Akal Kesepuluh, sesuai dengan dua seginyanya yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mungkin maka keluarlah empat unsur dengan perrantaan benda-benda langit.
Jumlah sepuluh disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan di mana unutk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet dari ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujh. Kemudia Al Farabi menambah dua lagi yaitu benda langit yang terjauh (al falak al aqsa) dan bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) yang diambil dari Ptolomeus, yang hidup pada pertengahan abad kedua masehi.
Masing-masing akal bersifat sempurna dalam jenisnya, berkehidupan dan selalu bi’l-fi’l (in actu) sedang bintang-bintang dan planet digerakkan akal yang karena tergabung dengan materi, tidak sempurna dan berpotensi.
8. Ibn Sina: Riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat Ibn Sina dalam bukunya “Hayy ibn Yaqdhan”
Cerita Hayy Ibn Yaqdhan
Cerita tersebut berawal dari seorang anak (oleh Ibn Thufail diberi nama Hayy ibn Yaqzhan), yang dilahirkan secara spontan atau dalam versi lain merupakan hasil hubungan gelap antara seorang pangeran dan kekasihnya, yang kemudian dibuang kesebuah pulau yang tak berpenghuni dan terpencil tanpa pemeliharaan. Di pulau tersebut, Hayy hidup dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya dan sudi untuk menyusuinya sampai Hayy bisa mempertahankan diri dari serangan binatang buas yang hidup disekitar situ. Hayy dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Di masa hidupnya, Hayy selalu berpikir, memperhatikan, mengamati serta merenungkan segala yang ada disekitarnya. Dia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya.
Kehidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu (pakaian alami) dan masing-masing mempunyai alat pertahanan untuk melindungi diri, sedang ia sendiri telanjang dan tidak bersenjata. Lalu ditirunya, diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat, serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri.
Pada suatu hari, terlihat oleh Hayy api yang membakar hutan di pulau tersebut. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya api itu terus menerus. Dengan api tersebut dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya kelezatan burung itu. Dia mulai berburu hewan untuk dimakan. Dipeliharanya anjing untuk menemaninya berburu. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari yang berikutnya.
Dengan kekuatan akalnya, Hayy sudah mampu mengenal kebutuhan-kebutuhan hidupnya, mulai dari menutup dirinya, memiliki alat pertahanan, cara memakai api, membangun tempat berteduh dan lain-lain.
Hari berikutnya, tiba-tiba saja, rusa yang mengasuhnya sejak kecil sudah mati. Kenapa mati? Diapun heran dan ini menimbulkan 1000 pertanyaan bagi Hayy, sebab belum pernah dia mendapati ataupun melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuh. Hayy lalu memikirkan, mengapa ada peristiwa kematian itu. Ibn Thufail yang juga ahli anatomi, menguraikan bagaimana anak itu (Hayy) membedah tubuh rusa itu, mencari-cari apa yang membuatnya tak bernyawa, padahal tubuh tersebut masih utuh, masih lengkap. Diapun merenung, dan akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya itu. Lalu diapun bertanya-tanya, siapakah yang berkuasa di luar badannya itu?
Sementara itu, di pulau lain, yang tak jauh dari pulau yang didiami oleh Hayy, terdapat masyarakat yang mendapat atau telah menerima seruan Nabi. Di antara pemukanya adalah Asal dan Salaman. Dalam menjalankan syari’at Nabi, mereka berbeda pendekatan. Asal lebih tertarik kepada aspek bathin syari’at dan cenderung mentakwilkan secara filosofis dan sufistik, sedangkan Salaman memahami syari’at secara lahiriyah dan tekstual, dan itu didukung oleh masyarakat banyak di pulau itu. Karena adanya perbedaan pendekatan tersebut, merekapun berpisah.
Asal lalu pergi ke pulau lain untuk beruzlah (menyendiri). Tetapi pulau yang di datanginya itu ternyata tempat tinggal Hayy. Setelah keduanya bertemu dan berkomunikasi, Hayy pun dilajarinya bahasa dan merekapun saling berbagi pengalaman. Asal menceritakan kebenaran-kebenaran yang ia peroleh dari wahyu, Sedangkan Hayy menceritakan penemuan akalnya sendiri. Akhirnya, kedua orang tersebut dapat saling menerima penjelasan-penjelasan itu dan memperkuat ajaran agama. Lalu keduanya sepakat untuk pergi ke pulau yang di diami oleh Salaman untuk mengajarkan rahasia kehidupan sejati kepada penduduknya.
Kedatangan Hayy dan Asal mula-mula mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Namun, ketika mereka mendakwahkan keyakinan suci mereka, penduduk menolaknya dan menganggapnya sesat, karena telah mapan dengan pemahaman zahir nash wahyu. Dengan berat hati merekapun kembali lagi ke pulau yang dulu dihuni oleh Hayy. Disana keduanya melanjutkan kontemplasi terhadap Tuhan dengan cara masing-masing sampai datang kematian menjemput mereka.
Filsafat Ibn Sina
Dari ringkasan isi cerita tersebut dan penggunaan rumusan-rumusan di baliknya, sebenarnya ada beberapa hal menarik, yang dicoba ingin disampaikan oleh Ibn Thufail dan juga ini dapat kita sebut sebagai gambaran umum tentang filsafatnya.
1. Pertama, bahwa filsafat (akal) dapat berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang sudah maju.
2. Dengan filsafat, manusia juga mampu untuk sampai kepada Tuhan. Walaupun begitu jalan yang ditempuh agama sebenarnya lebih praktis dan ekonomis untuk menuntun secara langsung keselamatan manusia dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai untuk makrifat akan Allah. Namun untuk amal kehidupan manusia sendiri, filsafat itu terlalu ideal dan teoritis.
3. Agama pada asasnya sesuai dengan alam pikiran atau melalui jalan filsafat. Dengan akalnya (filsafat), manusia juga akan dapat menyelami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan agama.
Cerita ini mampu memecahkan problem yang ditimbulkan oleh pertentangan antara filsafat dan agama, akal dan iman, serta mencoba menyesuaikan antara kedua pertentangan tersebut, sekaligus –– seperti halnya Hayy –– menyadari bahwa kebenaran memiliki dua wajah, yakni internal dan eksternal.
1. Jelaskan Masa keemasan Filsafat Islam
• Jaman keemasan filsafat Islam tampak dari para ahli pikir Islam yang memikirkan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dan sesama terhadap alam dunia dengan bertitik tolak dari daya akal manusia.
• Pada jaman Bani Umayyah, perhatian lebih tertuju kepada kebudayaan Arab sehingga pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Kemudian, pada masa Bani Abbasiah, pengaruh kebudayaan Yunani mulai tampak karena yang bekerja di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia.
• Perhatian terhadap filsafat pada jaman khalifah Al Ma’amun cukup meningkat di mana dia mengirimkan utusan ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian di bawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk menunjuang penterjemahan ini, Al Ma’mun mendirikan Bait al Hakim di Bagdad yang dipimpin oleh Hudain ibn Ishak, yaitu seorang penganut agama Kristen yang berasal dari Hirah. Selain belajar bahasa Arab dan Yunani, dia juga menguasai bahasa Syria yang pada zaman itu merupakan salah satu bahasa ilmiah.
• Sebagian besar karya-karya Aristoteles dan Plato serta buku-buku Neo Platonisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Motif penterjemahan ini adalah, mencari ilmu dalam berbagai bidang ilmu Yunani, seperti bidang kedokteran demi kesehatan para khalifah dan rakyatnya dan demi kepentingan ilmu astronomi dan astrologi. Oleh karena filsafat memiliki hubungan yang erat dengan semua ilmu ini, maka filsafat ditempatkan pada urutan pertama.. Selain itu, penterjemahan ini dimaksudkan sebagai polemik dan apologi bagi penganut agama lain seperti Kristen, Budha, dll sebab sejak semula orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang yang secara intelektual memiliki pendidikan yang cukup tinggi.
• Alasan lain adalah: Pertama: kecenderungan al Ma’mun kepada pikiran atau aliran Mu’tazila yang mendorongnya untuk membela dan menguatkan pendiriannya dalam persoalan al Qur’an dengan alasan-alasan rasional. Kedua: karena persoalan al Qur’an sebagai Kalimatullah menyangkut salah satu sifat Tuhan sehingga timbul dugaan atau keyakinan pada diri Al Ma’mun bahwa dalam filsafat ketuhanan Yunani, ada hal-hal yang bisa memberikan keuatan untuk berdebat melawan lawannya karena filsafat berbicara tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Ketiga: kecenderungan Al Ma’mun terhadap kebebasan berpikir seluas-luasnya dan itikad baiknya terhadap filosof-filosof, yaitu sebagai manusia pilihan di mana orang banyak harus mengambil pikiran-pikirannya. Keempat: Al Ma’mun menghendaki adanya terjemahan-terjemahan baru, seperti matematika, astronomi dan lain sebagainya.
2. Al Kindi: riwayat hidup singkat, jasanya dalam filsafat islam dan mengapa kemudian Al Kindi disingkirkan .
Riwayat Hidup:
Al Kindi adalah satu-satunya orang Arab asli di antara para filsuf, sehingga ia diberi gelar Al Faylasuf Al Kindi. Ia lahir pada tahun 185 H / 9 M sekitar satu dasawarsa sebelum Khalifah al Rasyid meninggal. Al Kindi berasal dari kabilah Kindah yang bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Ia berasal dari keluarga Ishag al Sabbah yang menjadi gubernur Kufah selama kekalifan Abbasiyah al Mahdi dan al Rasyid.
Jasa Al Kindi dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
Al Kindi merupakan filsuf Islam pertama yang mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu filsafat. Karena perhatiannya pada ilmu-ilmu filsafat dan pengetahuan.selain itu, Al Kindi juga menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Yunani dan bahasa Syiria. Al Kindi mempelajari bahasa Yunani tetapi ia menguasai bahasa Syiria sehingga ia menterjemahkan beberapa karya filsuf. Ia juga memperbaiki beberapa terjemahan bahasa Arab seperti Enneades karangan Plotinus yang diterjemahkan oleh al Himsi.
Beberapa sejarawan Arab memandang Al Kindi sebagai salah satu penterjemah yang ulung. Ia menterjemahkan banyak buku filsafat, kemudian menjelaskan berbagai masalah, menyimpulkan berbagai problem yang sulit dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Al Kindi menterjemahkan 260 buku Yunani dan menujukkan keahliannya dalam bidang ilmu falak, ilmu pasti, kimia, dan astrologi. Ia juga menguasai bidang kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantik, menguasai ilmu ukur, aljabar dan lain sebagainya. Pengetahuan yang luas ini menghantar Al Kindi pada tataran seorang filsuf yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai disiplin ilmu.
Mengapa Al Kindi disingkirkan?
Penolakan terhadap Al Kindi dalam kalangan Islam:
Kejayaan Al Kindi sebagai seorang filsuf pada zaman Al Mutaawa menjadi sasaran kritik dan fitnah dari mereka yang merasa irihati sampai ia dijatuhi hukuman mati oleh Mutawakkil dan perpustakaannya yang terkenal,yaitu Al Kindiyah disita dan kemudian dijadikan milik Al Mutawakkil. Al Kindi sendiri berhaluan Mu’tazilah, tetapi ketika gerakan ini dilarang, Al Kindi juga ikut terlibat dan hal ini menjadi kesempatan bagi musuh-musuhnya untuk menjatuhkan Al Kindi. Al Kindi di dera di depan umum, dipecat dan perpustakaannya di sita.
3. Jelaskan pengaruh Aristoteles dan Plato dalam filsafat Al Kindi
• Pengaruh Aristoteles dalam Filsafat Al Kindi berkaitan dengan pembagian filsafat pada teori dan amalan atau praktek. Sedangkan Plato berkaitan dengan definisi, karena sebelum Al Kindi, Plato mengemukakan bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan dan mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan.
• Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai kebenaran, mengatur dan mengagungkan kekuatan akal budi dan hati. Apabila hal ini dapat dicapai oleh seseorang, maka ia akan menerima pengetahuan dan dengan pengetahuan ini ia sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan ialah ilmu hisap (aritmetika), handasan (geometri), falak (astronomi), dan jadal (ilmu debat). Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Maka sesuai dengan hal itu, Al Kindi dalam salah satu risalahnya mengatakan bahwa perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan.
4. Jelaskan Metafisika Al-Kindi
Metafisika Al Kindi dilandaskan pada empat pertanyaan pokok yang diajukan untuk memperlihatkan hakekat Tuhan dalam persoalan mengenai eka dan aneka. Bahwa keanekaan yang ada dalam dunia ini tak dapat dipahami terpisah dari deretan dari sebab musabab yang akhirnya dijabarkan dari sebab terakhir yang eka, yang satu, yang maha nyata dan abadi. Dia adalah yang Esa dan besar.
Pertanyaan pokoknya, yaitu:
1. Dari mana (Min ayna), yang selanjutnya dijawab dengan unsur, yakni materi, eksistensi atau penciptaan.
2. Apa (Mada) , yang dijawab dengan forma atau genus.
3. Di mana (Ayna), yang dijawab dengan sebab perbedaan spesifik (partikularis). Mempertanyakan tempat penciptaan.
4. Mengapa (Limada), yang dijawab dengan taman atau tujuan kesempurnaan.
Dari keempat pertanyaan pokok ini Al Kindi menjelaskan tentang asal usul penciptaan dan tentang eksistensi materi dunia ini. Dia mengatakan bahwa dunia, materi dan eksistensinya ini diciptakan dari ketiadaan=creation ex nihilo oleh Allah yang Esa dan besar. Tuhan yang Esa dan Besar ini menjadi sumber dari keanekaragaman eksistensi di dunia ini. Oleh karena itu, persoalan metafisika yang dibicarakan oleh Al Kindi adalah tentang “Filsafat Pertama” dan “Keesaan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Pembicaraan dalam ahal ini meliputi hakekat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Hakekat Tuhan adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujudnya dan tidak ada wujud kecuali dengannya. Untuk membuktikan wujud Tunan, ia menggunakan tiga jalan, yaitu:
1. Baharunya alam
2. keanekan ragaman dalam wujud
3. kerapian alam.
Sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang pada masa Al Kindi, dan dalam hal ini ia mengikuti pendirian golongan Mu’tazila. Di anatara sifat-sifat Tuhan itu ialah keesaan, suatu sifat yang paling khas baginya. Tuan itu satu zat_Nya dan satu dalam hitunagan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “Yang Maha Tahu”, Yang maha Berkuasa” Yang Maha Hidup dan Seterusnya. Al Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa “ia bukan benda , bukan form, tidak mempunyai kuantitas, tidak mempunyai kualitas, tidak berhubungan dengan yang lain. Misalnya sebagai ayah atau sebagai anak; tidak biasa diberi sifat yang ada dalam pikiran, bukan genus, bukan aksidens, tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya maka Tuan adalah keesaan belaka, tidak ada lain keculai keesaan belaka. Karenanya Tuhan bersifat Azali, yaitu Zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah ada, atau pada permulaannya ada, melinkan Zat yang ada dan wujudnya tidak tergantung dari ada sebab yang menyebabkan Dia ada, maka ia bukan “subjek atau predikat”
Kesimpulan ialah Tuhan adalah sebab pertama di mana wujudNya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan tetapi bukan disempurnakan.
5. Jelaskan Etika Al-Kindi
Al Kindi berpendapat bahwa filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksaanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles) melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi dia digoda oleh hawa nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan. Manusia harus menjauhan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa. Sokrates dipuji sebagai contoh zahid (asket). Al Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Dalam etikanya ia mengutamaan kaidah Stoa dan Sokrates.
12. Jelaskan Kenabian dan Al Qur’an menurut Al Kindi?
Al Kindi menjelaskan teori kenabian lewat dua kemungkinan memperoleh ilmu, yakni Ilmu Ilahi dan Ilmu Insani. Ilmu Ilahi adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada para Nabi_Nya. Inilah derajat pengetahuan yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh manusia. Seorang nabi dapat mencapai tingkatan itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan melalui jalan intiusi (wahyu) serta melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.
Ilmu insan adalah filsafat dan ilmu-ilmu lain yang bias dipelajari oleh semua manusia. Di antara kedua jenis ilmu tersebut terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian filsafat dan ilmu-ilmu wajib sejalan dengan wahyu.
Mengenai Al Qu’ran, Al Kindi sedependapat dengan kaum Mu’tazila. Bahwa Qu’rann itu tidak abadi bersama Allah. Namun demikian, kebenaran Al Qu’ran masih jauh lebih baik untuk diyakini jika dibandingkan dengan kebenaran-kebenaran hasil refleksi filosofis.
6. Al Farabi: riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat kenegaraan menurut Al Farabi (bentuk, pejabat, tujuan dan jenis negara)
Riwayat Hidup
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu al Nashr Muhamad bin Muhamad bin Tharchan. Sebutan Al Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat dia dilahirkan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang Iran dan ibunya wanita Turkistan. Kemudian ia menjadi perwira Turkestan, karena itu Al Farabi dikatkan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan keturnan Iran.
Filsafat kenegaraan
Al Farabi membentangkan filsafat negara terutama dala, Al-Syat al Madaniyah dan kitab al-mabadi’ara al-madinat al-fadilah (pendapat-pendapat asasi dari penduduk utama. Kedua buku tersebut membicarakan akhlak dan tatanegara. Menurut dia manusia adalah makhluk sosial dan tak dapat berkembang secara moril kecuali dalam ikatan negara. Karena itu Al Farabi tidak menyusun seuatu etika tersendiri. Sumber filsafat negaranya berasal dari karya Plato: Politeia dan Nomoi (undang-undang).
Bentuk Negara
Ia mencita-citakan berdirinya sebuah negara sempurna (al madinat al-fhatilat). Yang dimaksud dengan negara sempuirna adalah suatu pemerintahan otokrasi dengan seorang raja (malik atau Rais Awal) yang berkuasa mutlak dalam mengatur negara. Hubungan antar dunia dengan Tuhan hendaknya menjadi teladan atau model panutan bagi hubungan masyarakat dengan raja. Di dalam negara yang terpenting harus dipilah sari antara warga yang paling sempurna, karena sebuah negara yang sesat (dalal) sama dengan orang sakit.
Pejabat Negara
Al Farabi membedakan tiga golongan pejabat negara, yaitu:
1. pemimpin pada tingakt teratas. Pada puncak kekuasaan terdapat raja (malik) atau Ra’is Awal. Ia adalah filsuf, yang merenungkan kebenaran abadi, menerima pengetahuan benar langsung dari penyinaran aqal fa’al. Berdasarkan ini, dia memerintah secara absolut, tidak usah berunding dengan bawahan yang hanya menyambut perintahnya.
2. pemimpin pada tingkat menengah. Pada tingkat menengah terdapat petugas-petugas yang dikontrol oleh penguasa di atasnya, teapi berhak memerintah bawahannya.
3. pemimpin pada tingkat terbawah. Mereka yang menempati tinkat terbawah wajib melaksanakan perintah, tidak berhak memberi perintah. Bawahan tidak diharapkan memberi nasehat atau usul.
Kepala negara harus serba sempurna secara moril, intelektual dan fisisk. Ia harus mencintai kebenaran dan keadilan, berani mengambil keputusan yang tepat, tak tergoda oleh emas,perak dan milik duniawi. Ia juga harus berbakat menjadi panglima perang. Ia harus memiliki hubungan jiwa secara erat dengan aqal falal.
Jenis Negara
Af Farabi berpendapat tidak semua negara dapat mewujudkan cita-cita negara sempurna. Negara-negara yang tidak baik itu ada beberapa macam di antaranya:
1. negara Imoril (faqiq) yaitu negara yang pernah mengenal kebenaran mengenai Tuhan, akhirat dan kebahagiaan sejati tetapi tidak sesuai dengannya.
2. Negara menyeleweng (mubaddah) di sini orang merubah cita-cita asli.
3. negara sesat (dallah) di sini kepala dan rakyat tidak mengetahui kebenaran, hanya mempunyai nabi palsu yang mencari kepentingan sendiri.
4. negara massa (madina al-jamayyah), di sini setiap warga negara bebas dan bisa berbuat sesuka hatinya. Semua penduduk sama rasa sama rata. Rakyat memutuskan, apa yang dikerjakan oleh pemimpin mereka. Dalam negara semacam ini rakyat tidak perlu menati undang-undang. Negara semacam ini pasti menjurus anarkis.
7. Jelaskan “teori emanasi” menurut Al Farabi
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang muklim (alam makhluk) dari zat wajibul wujud (zat yang mesti ada, Tuhan). Teori emansi ini juga disebut dengan “teori urut-uruta wujud.
Menurut Al-Farabi Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo-Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan) sehingga tidak bisa dikatakan hakikat yang sebenarnya.
Al-Farabi telah menguraikannya secara ilmiah di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu ke luar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Jadinya ilmunya menjadi sebab bagi wujud yang diketahuinya. Bagi Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian, keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan tanpa gerak atau alat, karena emanasi adalah pekerjaan akal semata-mata. Akan tetapi wujud alam (mkhluk) tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan karena Tuhan tidak membutuhkan.
Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan itu esa. Karena itu yang keluar daripadaNya juga satu wujud saja, sebab emanasi tadi timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar dari Tuhan itu terbilang maka zat Tuhan pun terbilang pula. Dasar adanya emanasi adalah karena pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal tersebut terdapat kekuatan-kekuatan emanasi dan penciptaan.
Dalam alam sendiri apabila kita memikirkan sesuatu maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau terwujdnya. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal pertama (al aql-al-awwal).
a. Dari Akal Pertama timbul Akal Kedua, yang memantulkan falak aqsa
b. Dari Akal Kedua timbul Akal Ketiga yang memantulkan bintang tetap
c. Dari Akal Ketiga timbul Akal Keempat dan planet saturnus (zuhl)
d. Dari Akal Keempat timbul Akal Kelima dan Yupiter (Mushtari)
e. Dari Akal Kelima timbul Akal Keenam dan planet Mars (marish)
f. Dari Akal Keenam timbul Akal Ketujuh dan matahari (Shams)
g. Dari Akal Ketujuh timbul Akal Kedelapan dan palnet Venus (Zuhrah)
h. Dari Akal Kedelapan timbul Akal Kesembilan dan planet Mercurius (Utharid)
i. Dari Akal Kesembilan timbul Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar)
j. Dari Akal Kesepuluh, sesuai dengan dua seginyanya yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mungkin maka keluarlah empat unsur dengan perrantaan benda-benda langit.
Jumlah sepuluh disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan di mana unutk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet dari ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada sembilan? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujh. Kemudia Al Farabi menambah dua lagi yaitu benda langit yang terjauh (al falak al aqsa) dan bintang tetap (al-kawakib al-tsabitah) yang diambil dari Ptolomeus, yang hidup pada pertengahan abad kedua masehi.
Masing-masing akal bersifat sempurna dalam jenisnya, berkehidupan dan selalu bi’l-fi’l (in actu) sedang bintang-bintang dan planet digerakkan akal yang karena tergabung dengan materi, tidak sempurna dan berpotensi.
8. Ibn Sina: Riwayat hidup singkat; jelaskan filsafat Ibn Sina dalam bukunya “Hayy ibn Yaqdhan”
Cerita Hayy Ibn Yaqdhan
Cerita tersebut berawal dari seorang anak (oleh Ibn Thufail diberi nama Hayy ibn Yaqzhan), yang dilahirkan secara spontan atau dalam versi lain merupakan hasil hubungan gelap antara seorang pangeran dan kekasihnya, yang kemudian dibuang kesebuah pulau yang tak berpenghuni dan terpencil tanpa pemeliharaan. Di pulau tersebut, Hayy hidup dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya dan sudi untuk menyusuinya sampai Hayy bisa mempertahankan diri dari serangan binatang buas yang hidup disekitar situ. Hayy dikaruniai Allah kecerdasan yang luar biasa. Di masa hidupnya, Hayy selalu berpikir, memperhatikan, mengamati serta merenungkan segala yang ada disekitarnya. Dia mempunyai hasrat yang sangat besar untuk mengetahui dan menyelidiki tentang sesuatu yang tidak dapat dimengerti olehnya.
Kehidupan Hayy kemudian berkembang mengikuti masyarakat yang amat primitif itu dari langkahnya yang pertama. Dilihatnya semua hewan tertutup auratnya dengan kulit dan bulu (pakaian alami) dan masing-masing mempunyai alat pertahanan untuk melindungi diri, sedang ia sendiri telanjang dan tidak bersenjata. Lalu ditirunya, diambilnya bulu-bulu burung dan daun-daun kayu guna menutup aurat, serta memakai tongkat sebagai alat pertahanan diri.
Pada suatu hari, terlihat oleh Hayy api yang membakar hutan di pulau tersebut. Api itu diambilnya, lalu dinyalakannya api itu terus menerus. Dengan api tersebut dicobanya membakar burung, lalu terasalah baginya kelezatan burung itu. Dia mulai berburu hewan untuk dimakan. Dipeliharanya anjing untuk menemaninya berburu. Makanan yang berlebih disimpan untuk hari yang berikutnya.
Dengan kekuatan akalnya, Hayy sudah mampu mengenal kebutuhan-kebutuhan hidupnya, mulai dari menutup dirinya, memiliki alat pertahanan, cara memakai api, membangun tempat berteduh dan lain-lain.
Hari berikutnya, tiba-tiba saja, rusa yang mengasuhnya sejak kecil sudah mati. Kenapa mati? Diapun heran dan ini menimbulkan 1000 pertanyaan bagi Hayy, sebab belum pernah dia mendapati ataupun melihat seekor hewan mati dengan sendirinya tanpa ada yang membunuh. Hayy lalu memikirkan, mengapa ada peristiwa kematian itu. Ibn Thufail yang juga ahli anatomi, menguraikan bagaimana anak itu (Hayy) membedah tubuh rusa itu, mencari-cari apa yang membuatnya tak bernyawa, padahal tubuh tersebut masih utuh, masih lengkap. Diapun merenung, dan akhirnya Hayy mengerti bahwa sebab kematian itu berada di luar badannya itu. Lalu diapun bertanya-tanya, siapakah yang berkuasa di luar badannya itu?
Sementara itu, di pulau lain, yang tak jauh dari pulau yang didiami oleh Hayy, terdapat masyarakat yang mendapat atau telah menerima seruan Nabi. Di antara pemukanya adalah Asal dan Salaman. Dalam menjalankan syari’at Nabi, mereka berbeda pendekatan. Asal lebih tertarik kepada aspek bathin syari’at dan cenderung mentakwilkan secara filosofis dan sufistik, sedangkan Salaman memahami syari’at secara lahiriyah dan tekstual, dan itu didukung oleh masyarakat banyak di pulau itu. Karena adanya perbedaan pendekatan tersebut, merekapun berpisah.
Asal lalu pergi ke pulau lain untuk beruzlah (menyendiri). Tetapi pulau yang di datanginya itu ternyata tempat tinggal Hayy. Setelah keduanya bertemu dan berkomunikasi, Hayy pun dilajarinya bahasa dan merekapun saling berbagi pengalaman. Asal menceritakan kebenaran-kebenaran yang ia peroleh dari wahyu, Sedangkan Hayy menceritakan penemuan akalnya sendiri. Akhirnya, kedua orang tersebut dapat saling menerima penjelasan-penjelasan itu dan memperkuat ajaran agama. Lalu keduanya sepakat untuk pergi ke pulau yang di diami oleh Salaman untuk mengajarkan rahasia kehidupan sejati kepada penduduknya.
Kedatangan Hayy dan Asal mula-mula mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Namun, ketika mereka mendakwahkan keyakinan suci mereka, penduduk menolaknya dan menganggapnya sesat, karena telah mapan dengan pemahaman zahir nash wahyu. Dengan berat hati merekapun kembali lagi ke pulau yang dulu dihuni oleh Hayy. Disana keduanya melanjutkan kontemplasi terhadap Tuhan dengan cara masing-masing sampai datang kematian menjemput mereka.
Filsafat Ibn Sina
Dari ringkasan isi cerita tersebut dan penggunaan rumusan-rumusan di baliknya, sebenarnya ada beberapa hal menarik, yang dicoba ingin disampaikan oleh Ibn Thufail dan juga ini dapat kita sebut sebagai gambaran umum tentang filsafatnya.
1. Pertama, bahwa filsafat (akal) dapat berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang sudah maju.
2. Dengan filsafat, manusia juga mampu untuk sampai kepada Tuhan. Walaupun begitu jalan yang ditempuh agama sebenarnya lebih praktis dan ekonomis untuk menuntun secara langsung keselamatan manusia dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai untuk makrifat akan Allah. Namun untuk amal kehidupan manusia sendiri, filsafat itu terlalu ideal dan teoritis.
3. Agama pada asasnya sesuai dengan alam pikiran atau melalui jalan filsafat. Dengan akalnya (filsafat), manusia juga akan dapat menyelami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan agama.
Cerita ini mampu memecahkan problem yang ditimbulkan oleh pertentangan antara filsafat dan agama, akal dan iman, serta mencoba menyesuaikan antara kedua pertentangan tersebut, sekaligus –– seperti halnya Hayy –– menyadari bahwa kebenaran memiliki dua wajah, yakni internal dan eksternal.
Langganan:
Postingan (Atom)